Mengarsipkan Film : Proses Menjelajah dalam Ruang Semu (Menengok Sinematek Indonesia)

Posted: 3 November 2011 in Budaya, Film

Pengarsipan film ? Pertanyaan yang tentu saja mengandung jawaban beragam, terutama dalam konteks negara kita yang pesimis, tentu akan menggiring jawaban tentang pengarsipan ini pada bentuk-bentuk semangat yang marjinal.
Pengertian lembaga pengarsipan film berarti kepada proses penyimpanan, pemeliharaan dan perawatan film untuk dijadikan bahan referensi –genahnya sebagai lembaga pengarsipan serta pusat studi dan penelitian. Penyebutan nama-nama lembaga pengarsipan di berbagai negara juga sangat beragam dengan material ”film” sebagai substansinya. Menyebutnya dengan nama antara lain Sinematek, Cinematheque, Filmmuseum, Kinemateca, Film Archive dan sebagainya. Material film dan unsur pendukungnya (poster, skenario, data pembuat(an), review film, literatur teks dsb) akan diperlakukan sebagai materi utama bagi sebuah pengarsipan film.

Pembuka
Begitu banyak institusi pengarsipan film yang ada di bumi nusantara ini (mestinya memang banyak karena pekerjaan mengarsipkan film tentu bukan hanya dilakukan oleh institusi bersyarat dan berizin resmi saja –institusi bernama manusia yang belajar film saja tentu memiliki konsep mengarsipkan film bagi kepentingan studi filmnya). Namun dalam wacana sinema Indonesia, Sinematek Indonesia (SI) tentu saja mendapat tempat paling tinggi dalam konteks proyek pengerjaan pengarsipan film (SI juga memiliki perpustakaan buku-buku literatur. Dalam hal ini hanya akan dilihat pengarsipan filmnya saja).
Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan mengapa SI layak dicermati. Dalam analisa sejarah berdirinya SI dengan nama awalnya Pusat Dokumentasi Film, meskipun pada awal berdirinya pada Januari 1971 diniatkan sebagai proyek untuk pendokumentasian bagi akademi Sinematografi LPKJ (sekarang Fakultas Film dan Televisi IKJ) untuk mempersiapkan bahan perkuliahan sejarah film Indonesia yang motifnya hanya sekedar menyimpan dokumen-dokumen untuk kepentingan penulisan sejarah film Indonesia itu, namun secara esensial para pembuat film Indonesia merasa perlu untuk ”menyelamatkan” film-film yang dibuatnya. Pertimbangannya adalah harus ada proyeksi yang jelas kemana film-film itu bermuara setelah berputar-putar dalam lintasan produksi, distribusi dan eksebisi. Begitu pula halnya dengan para ”pejuang pengarsipan film Indonesia” semacam H. Misbach Yusa Biran dan SM Ardan (rasanya kok mereka berdua layak dinobatkan sebagai Bapak Pengarsipan Film Indonesia!) yang merasa ”berkewajiban” menyelamatkan film-film Indonesia dan memperlakukan film-film itu sebagai penopang bukti-bukti otentik perjalanan sejarah perfilman Indonesia (saya juga setuju jika Bapak Katalog Film Indonesia, JB Kristanto bisa menjadi bagian dari pengarsipan film Indonesia). Dari sinilah kemudian orientasi bahwa arsip film Indonesia harus ada, dimana film bukan hanya sekedar disimpan tapi harus bisa menjadi pusat studi dan penelitian. SI lahir untuk mengakomodir kebutuhan itu.
Alasan lainnya, dimulai ketika SI menjadi arisp film pertama di Asia Tenggara yang akhirnya pada tahun 1978 diterima bergabung dalam FIAF (Federation Internasionale des Archives du Film), sampai saat inipun SI masih mendapat tempat dan kepercayaan dari para pembuat film Indonesia. Rasanya hanya ada satu kata ”penyelamatan” yang dikenal dan ada di kepala para pembuat film (produser) untuk menempatkan filmnya dalam arungan pelayaran terakhirnya, Sinematek Indonesia!. Dan, bahwa sampai saat ini SI masih menjadi lembaga alternatif utama bagi siapapun yang ingin menyimpan karya filmnya, pun bagi yang ingin mendapatkan kisah-kisah ”perjalanan” perfilman Indonesia dalam bentuk gambar (audio visual) maupun tulisan (teks skenario dan teks lainnya) –meskipun kelengkapan koleksinya masih dalam bentuk relatif.
Berdampingan dengan beberapa organisasi perfilman dan pertelevisian Indonesia, SI menempati dua lantai (lantai 4 dan 5 –sebenarnya lantai bawah juga merupakan bagian SI karena disana terdapat ruang khusus penyimpanan film-film, terutama format seluloid) di sebuah gedung berlantai lima bernama Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) yang lumayan menggugah, terutama posisi geografisnya di kawasan ”kinclong”, jalan HR Rasuna Said Kuningan. Dengan demikian lantas kita bisa menyebut SI itu telah layak dimapankan (dalam artian bahwa simbol-simbl yang dikandung SI sama dengan simbol-simbol yang dikandung dan disyaratkan kawasan Kuningan juga) kalau hanya kita memposisikan diri sebagai ”pemandang” ?
Disini saya akan mencoba menjawab pertanyaan saya sendiri : mengapa pengarsipan film harus ada dan bagaimana posisi pengarsipan film Indonesia dalam peta masyarakat film Indonesia, berada dalam posisi marjinalkah?
Dalam kapasitasnya sebagai lembaga pengarsipan, SI tentu saja membutuhkan materi-materi dalam melengkapi legitimasinya sebagai sebuah lembaga pengarsipan –ada sesuatu yang disimpan. Ada tuntutan yang jelas, materi tersebut adalah materi valid yang diperoleh melalui kerjasama terstruktur dengan penyedia materi tersebut. Disini dibutuhkan pertalian yang benar dan jelas dengan pihak penyedia materi tersebut tanpa sekat-sekat pembatas yang akan membuat SI kehilangan eksistensinya sebagai lembaga pengarsipan film yang ”paling dicari”. Ini tentu saja harus dilakukan karena dalam konteks pengarsipan film Indonesia, SI tentu saja sangat dominan. Hasil nyata praktek-praktek dominannya tersebut tentu saja berbentuk materi-materi yang berasal dari sumber aslinya, bukan jiplakan –apalagi kalau merekam film dari media lain, televisi misalnya (sekali-sekali kita bisa melupakan sejenak kedigdayaan teknologi yang selalu saja motifnya ingin memudahkan segalanya). Kekeliruan dalam mengadopsi pengertian pengarsipan tentu saja akan meruntuhkan rintisan SI sebagai lembaga pengarsipan film yang arsip-arsipnya berasal dari sumber yang tepat. Kekeliruan itu justru akan membawa SI hanya sebagai lembaga pengarsipan film ”saja”, yang semua orang tentu bisa lakukan –malah tak ada bedanya dengan mahasiswa yang belajar film?!, atau bahkan akan mengembalikan SI sebagai Pusat Dokumentasi Film-nya era LPKJ dahulu. Justru SI harus membedakan diri dengan lainnya karena adanya legitimasi yang diberikan masyarakat pada SI, bahwa SI merupakan bagian dari lingkaran perfilman Indonesia sehingga SI lebih otentik ketimbang lainnya baik secara kualitas maupun kuantitas.
Pendekatan humanis dan pendekatan teknologi dalam proses pengarsipan film adalah dua hal yang bisa dilakukan. Namun memang kedua hal tersebut kadang memiliki prinsipnya tersendiri. Mencampuradukkan fungsi-fungsi humanis dengan fungsi-fungsi teknologi dalam proses pengadaan materi tentu akan mendapati tuntutan pertanyaan lebih jauh, menjadi bukan hanya : materi apa yang tersedia?!, tapi : bagaimana materi itu bisa tersedia?!. Kesalahan dalam mengaplikasikan tuntutan ini bisa diduga akan menjauhkan SI dari harapan-harapan sebagai lembaga orisinal -yang memiliki materi orisinal (kemampuan meng-orisinal-kan materi ini sekaligus bisa membuktikan bahwa SI memang merupakan bagian dari lingkaran besar perfilman Indonesia).
Kadangkala memang pendekatan yang lebih bersifat humanis seringkali bisa lebih manis. Semisal kerjasama langsung dengan produsen film bisa menjadikan Sinematek Indonesia selain sebagai pusat pengarsipan film Indonesia, juga bisa berperan sebagai pusat informasi film (baik film-film yang telah ada maupun film-film yang akan diproduksi). Lembaga terpercaya karena koleksi materinya ”sahih”. Pencapaian kesahihannya tentu akan meninjau ulang posisi yang diharapkan SI untuk menempatkan dan ditempatkan bukan pada posisi belakangan dalam jagad produksi film. Posisi yang rasanya bisa ditinjau kembali. Untuk itulah perjuangan yang harus dilakukan SI adalah menjadi salah satu institusi formal dalam struktur perfilman Indonesia yang memiliki kekuatan hukum dalam mengambil keputusan yang diperlukan dalam semua kegiatan perfilman Indonesia.
Namun tuntutan yang dialamatkan pada SI memang juga harus dipertimbangkan secara lebih objektif. Karena SI juga merupakan bagian dari sistem produksi, maka tentu dalam proses produksinya dibutuhkan fasilitas-fasilitas yang menunjang proses pelaksanaannya. Biaya menjadi kata kunci dalam perburuan materi-materi termaksud. Sejak diresmikan dengan nama Lembaga Arsip Film Sinematek Indonesia pada 20 Oktober 1975 berbarengan dengan didirikannya gedung PPHUI, Pemerintah DKI Jakarta yang saat itu memberikan subsidi terhadap SI, terhitung hanya sekitar 3 (tiga) tahun saja terlibat dalam proses kerjasama pmbiayaannya karena sejak tahun 1978 subsidi tersebut dicabut. Waktu yang telah dijalaninya sejak tahun terakhir subsidi diberikan sampai dengan saat ini boleh dikata bahwa SI benar-benar berjibaku dalam keberadaannya. Beberapa sumber pendanaan operasionalnya akhirnya bersumber dari hasil penyewaan gedung PPHUI dan juga subsidi dari Yayasan PPHUI dan bantuan dari berbagai pihak yang memang nyatanya masih jauh dari kebutuhan biaya operasional, terutama biaya perawatan film-film seluloid yang cukup besar. Kondisi yang sangat miris mengingat film sebenarnya telah menjadi industri yang cukup menjanjikan saat ini. Satu hal yang juga cukup disayangkan adalah sejak tahun 1998 SI keluar dari keanggotaan FIAF dengan alasan : tidak bisa membayar iurannya ! Padahal, Arsip Film Fukuoka Jepang saja belum bisa diterima masuk karena memang untuk masuk menjadi anggota FIAF ini sangat sulit. Lalu pertanyaannya, bagaimana menjelajah dalam ruang yang lebih luas ?
Kita ketahui bahwa produksi film-film Indonesia sudah dimulai tahun 1920-an (kala itu memang produksi film banyak dilakukan oleh orang-orang Belanda yang bercerita tentang Indonesia dan produksi filmnya dilakukan di Indonesia). Dan seperti diketahui juga bahwa perusahaan film, maupun pembuat film tersebut sudah tercerai dan menguap dalam bayangannya yang hampir tidak terjamah lagi (”ketidakberadaan” film Loetoeng Kasaroeng bisa membuktikan itu!). Berbanding dengan didirikannya SI (sekitar pertengahan tahun 1970-an melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta), bisa dibayangkan betapa sulitnya dalam rentang waktu mundur sekitar setengah abad SI harus menjelajah dalam ruang yang sulit untuk menelusuri keberadaan film-film awal tersebut. Meski terkesan mustahil, namun sebagai lembaga pengarsipan tentu komitmennya adalah melacak keberadaan film-film tersebut (paling tidak proses penelusuran itu sebagai upaya menjawab ”tantangan” yang ada dalam buku Katalog Film Indonesia-nya JB Kristanto yang dengan fasih menyebutkan judul-judul film Indonesia). SI yang hakikat sebenarnya mewakili masyarakat film Indonesia tentunya harus bisa menuntaskan tugasnya perihal kepemilikan film-film tersebut secara konkrit, bukan hanya judul-judul film dalam catatan saja.
Selain tentang biaya, sosok pemerintah menjadi kata kunci lainnya sebagai pendukung bagi penjelajahan film-film kita tersebut. Kalau boleh menentukan, Departemen Luar Negeri (Deplu) dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) adalah sosok yang paling diharapkan untuk menuntaskan harapan masyarakat perfilman Indonesia. Salah satu upaya SI menjalin kerjasama dengan Perpustakaan Nasional RI memang sudah memberi angin yang cukup baik bagi tindakan pelestarian data secara tepat. Namun dalam konteks birokrasi dimana tindakan-tindakan eksekusi, badan-badan eksekutif menjadi begitu penting. Alasannya sederhana, dalam proses penjelajahan tersebut tentu dibutuhkan ”nego-nego” dengan pihak lain agar bisa membuka pintu bagi SI dalam proyek kerjanya. Dugaan kita tentu saja (mengandaikan bahwa film tersebut masih ada di muka bumi ini, namun damparannya belum benar-benar terlacak) mengarah pada museum-museum, lembaga pengarsipan film lain di belahan dunia manapun, kolektor-kolektor dan lain sebagainya sebagai institusi-institusi yang menyemayamkan film-film tersebut. Peran pemerintah sangat diharapkan agar bisa memfasilitasi penjelajahan tersebut untuk memuluskan ”buka” pintu-pintu birokrasi yang menutupinya.
Saat ini harus diakui bahwa betapa sulitnya mengelola lembaga pengarsipan film di Indonesia. Lembaga pengarsipan semacam SI memang seperti terkatung dalam kesendiriannya. Perannya seperti dimarjinalkan dalam peta film Indonesia, seperti tidak berayah-beribu –menjadi yatim piatu yang mengais sejumput harapan dalam gegap gempitanya perputaran ekonomi perfilman Indonesia, terutama produksi-produksi film yang semakin kedepan semakin menampakkan gejala-gejala peningkatan menuju target-target produksinya yang semakin memikat. Tentu kita tidak harus menangisi keadaan tersebut, seperti kita sering menangis ketika melihat dalam film betapa anak yatim piatu seringkali digambarkan dalam kenestapaan. Seharusnya SI bisa menjadi Oliver Twist yang tegar dalam kesendirianya –sosok anak tak berayah-beribu pada sebuah film karya Roman Polanski. Sudah sepatutnya jika saat ini SI mulai mencari payung yang bisa menaunginya dan kendaraan yang bisa membawanya menuju tempat-tempat yang dikehendaki, bisa pemerintah ataupun non-pemerintah. Kondisinya saat ini SI hanya menghimpun apa saja yang kebetulan bisa dijamahnya, bukan menjelajah dalam kehendaknya karena segala sesuatunya memang serba membatasinya. Keterkatungannya juga seperti mengisyaratkan bahwa SI seperti terlempar-lempar dalam ketidakpastian. SI yang didirikan oleh pemerintah (Pemda DKI) justru kini di”kelola” secara informal oleh lembaga-lembaga non-pemerintah. Bandingkan dengan lembaga arsip lain di dunia yang begitu mendapatkan tempat dan perhatian secara pasti, seperti Belanda dengan Nederlandsch Filmmuseum yang dianungi oleh yayasan dan Ned. Audiovisual Archive sebagai badan pemerintah. Di Perancis, Cinematheque Francaise yang sangat termashyur nyatanya bisa dikelola dengan baik oleh lembaga non-pemerintah.
Untuk SI, jika SI berkeinginan agar pemerintah (atau siapapun) menjadi payungnya dan berkenan memasukkan SI sebagai bagian dari wilayah kerjanya untuk kemudian menempatkan agenda-agenda SI dalam salah satu prioritas yang harus ditindaklanjuti, tentunya banyak faktor-faktor penting yang harus dilakukan. Yang terutama adalah meyakinkan pihak lain bahwa SI –tentunya proses mengarsipkan film adalah penting! Seringkali jargon-jargon usang masih berkeliaran dalam berbagai bentuknya yang menyatakan bahwa ”film adalah salah satu aset yang harus dipertahankan dalam menjaga nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang sarat dengan nilai sejarah berupa potret kemanusiaan yang disampaikan lewat film Indonesia, untuk itulah harus diarsipkan”. Pengungkapan semacam ini kadangkala akan menempatkan proses mengarsipkan film dalam tawar posisi yang membingungkan, penting yang tidak penting. Bahwa SI (pengarsipan film) seakan menjadi seperti wajah yang timbul tenggelam dalam peringkat-peringkat kebutuhan manusia. Rasanya jargonnya memang sudah harus dirubah, barangkali jangan terlalu menggiring pandangan yang terlalu normatif sehingga pengarsipan film akan selalu berada dalam pertarungan ”penting-tidak penting” yang ujung-ujungnya seringkali berakhir pada saran yang diplomatis, dipertimbangkan. Yang harus dilakukan tentu lebih pada penekanan aspek konkritnya sehingga siapapun akan melihat SI sebagai sesuatu yang memang penting dan memang harus ada karena banyak bertaburan aspek kebutuhan dan kepentingan bagi siapapun disana. Dengan kata lain bahwa setiap orang yang datang ke SI memang karena sebuah kebutuhan, bukan sekedar berwisata bagi romantisme film Indonesia lewat poster-poster dan foto-foto adegan film yang tergantung maupun film-film yang tersusun dalam rak-raknya.
Meyakinkan bahwa sesuatu itu ”ada” dalam bentuk yang abstrak memang terasa seperti penjual obat di pasar malam yang terus membujuk orang yang melintas didepannya bahwa obatnya bisa menyembuhkan dalam waktu singkat (kita teringat salah satu film Indonesia Tamu Agung tentang seorang penjual obat yang sangat meyakinkan justru bukan kemujaraban obatnya, tapi omongannya!). Kondisi inilah yang justru harus dilakukan oleh SI, meyakinkan bahwa SI memang sebuah kebutuhan dan benar-benar dibutuhkan siapapun tidak terkecuali bagi masyarakat non-film.
Tercatat disini ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh SI jika ada target-target yang ingin dicapai. Publikasi adalah salah satu faktor penting yang menyertakan pernyataan dengan tegas bahwa SI itu ”ada” dan meng-”ada” karena masyarakat meng-”ada”-kannya. Penjelasannya, bahwa SI sebenarnya memiliki keberadaan yang jelas : ber-tempat, ber-kegiatan, ber-struktur, ber-materi, ber-staf, dan sebagainya. Namun meyakinkan dunia luar bahwa segala ber- itu adalah sebuah kebenaran tentu pekerjaan yang sulit. Meng-ada-kan segalanya bukan sekedar yang tergambar lewat mata lahir saja. Dalam narasi-narasi yang berkeliaran dimana-mana seharusnya SI tetap hadir ketika perfilman Indonesia terucapkan. Untuk itulah publikasi menjadi penting, terutama untuk publikasi yang tidak tergambarkan (satu hal bahwa memiliki gedung, menyimpan koleksi film, memiliki karyawan dalam struktur pimpinan-bawahan seringkali belum menjadi publikasi yang meyakinkan). Dalam artian bahwa kecenderungan keberadaan yang sifatnya abstrak (menjadi tempat yang paling representatif dalam mendapatkan film-film yang diperlukan) kadang sudah menjadi publikasi sendiri yang tak disadari, namun memang seringkali kandas dalam hegemoni bentuk (fisikal). Ketimbang menjadi representatif, yang sering terjadi adalah berhamburannya selebaran-selebaran buletin (Newsletter) Sinematek Indonesia ditempat-tempat yang sangat terbatas dan kadang sangat narsistik -beredar dalam ”rumahnya” sendiri.
Untuk itulah harus ada keseimbangan antara publikasi substansi dan publikasi bentuk, sehingga ketika masyarakat yang ”pernah mengetahui” dan yang ”merasa pernah mengetahui” SI, telah meng-ada-kan SI sebagai tempatnya eksistensi film-film Indonesia, maka SI harus bisa menjawab kepercayaan masyarakat dengan benar-benar menjadi ”ada”, melalui publikasi tersadar maupun yang tak tersadarkan.
Mempublikasikan SI pada setiap orang tentu dibutuhkan peran-peran kehumasan, sebuah perangkat yang membawa SI pada tempat-tempat yang ingin dicapai. Kehumasan memang tidak mesti diartikan bahwa ada peran tertentu yang diberikan tanggungjawab untuk mengetuk setiap pintu. Kehumasan akan lebih efektif ketika ada kemampuan dalam melihat kesempatan dimana SI bisa dipresentasikan disana. Satu nukilan yang bisa dicermati. Posisi gedung (PPHUI) yang berada disalah satu jalan utama Jakarta kawasan Kuningan tempat pusat aktifitas tinggi memang telah meng-humas-kan dirinya sendiri (logo SI rasanya tidak terpampang disana?!). Namun seberapa efektifnya tentu belum bisa dibuktikan sebelum dibongkarnya beberapa persyaratan kehumasannya.
Salah satu persyaratan saja. Kalau dianalisa dalam posisi geografisnya, jalan yang melintasi depan gedung PPHUI akan dilalui oleh ragam orang dengan volume yang cukup padat adalah ketika jam pulang kerja (office hour) dari pusat Jakarta menuju arah beberapa pinggiran kota Jakarta. Ini berarti bahwa ada kecenderungan tingkat kepengamatan yang tinggi orang yang melintas pada jam-jam tersebut terhadap gedung PPHUI tentu tanpa kepentingan apapun, selain ingin segera beranjak kembali kerumah. Kecenderungan ini tentu tidak sepenuhnya bisa disimpulkan bahwa PPHUI lepas dari pandangan. Namun kalau melihat gejala (yang katanya) konsumtif yang kini dianut oleh hampir semua orang di Jakarta, hampir dipastikan bahwa di waktu ”prime time” kendaraan tersebut, pandangan para pengguna jalan telah habis dicurahkan untuk memalingkan mukanya ke kawasan pasar belanja Pasar Festival yang terletak disamping gedung PPHUI. Ada sesuatu yang lebih menarik karena banyak item-item yang lebih mempesona, menggugah dan sangat berwarna. Kawasan ini juga seakan menjadi shelter (penulis mengartikannya menjadi pemberhentian sementara gerak) sehingga orang akan lebih mudah mengontrol pandangannya untuk menyapu segalanya yang berada disekelilingnya. Bandingkan ketika kendaraan sudah memasuki kawasan gedung PPHUI dimana kecepatan gerak semakin meningkat. Tinggallah PPHUI dalam gambar yang mengabur. Shelter (dalam arti sebenarnya) yang berada tepat didepan gedung PPHUI seperti tidak mengartikan apapun selain sebagai besi-besi berkarat dipinggir jalan –tidak fungsional. SI, utamanya PPHUI memang harus berstrategi-ria agar pemberhentian gerak kendaraan juga bisa diperpanjang sampai muka gedungnya. Syukur-syukur orang yang seringkali membaca simbol-simbol dan kode-kode yang ditampilkan bisa diajak sekedar bernegosiasi –pencapaian idealnya tentu saja menjadi terdominasi.
Dalam bahasa gambar kita mengenal istilah komposisi melalui pembagian tiga bidang gambar secara vertikal dan horizontal dengan garis-garis. Titik pertemuan garis yang membagi bidang tersebut diyakini sebagai titik yang paling mungkin menjadi pusat perhatian (focus of attention). Simbol dan kode jelas juga efektif untuk mempengaruhi orang lain. Intinya adalah bagaimana SI bisa memanfaatkan simbol dan kode sehingga menjadi fokus perhatian bagi pembacaan, tanpa harus terlibat pada teori-teori komposisi bentuk yang memusingkan (karena di dunia ini bentuk tidak pernah ada yang tetap). Yang harus dilakukan adalah mengendalikan bentuk-bentuk itu dalam komposisi, yang sebenarnya bisa sangat kompromis. Tidak ada cara selain mempublikasikan SI dalam berbagai tanda yang mudah dipahami dan disepakati orang banyak. SI sebagai tempat pengarsipan film, tentunya juga tidak harus menyibukkan diri dalam pekerjaan yang seterusnya berurusan dengan kerja mengarsipkan dalam kungkungan ruang kerja. Simbol dan kode yang dipublikasikan tentang SI bisa disampaikan besar-besar dalam bentuk yang sangat beragam.
Mengambil contoh konkrit tentang Pasar Festival, simbol dan kode tentang warna dan teks-teks yang menghibur bisa disampaikan berdasarkan selera manusia, semacam : food court, fasilitas olahraga ditengah kota, makanan cepat saji, akses tangga langsung dari jalan raya menuju pintu masuk utama, kenyamanan, promo produk baru, harga spesial barang, wanita-wanita manis yang melintas disepanjang muka, sarana transportasi yang setia menunggu (meski seringkali membuat kemacetan bagi kendaraan lain dibelakangnya!) dan sebagainya. Untuk SI yang paling mungkin dilakukan adalah tetap mengabarkan pada orang lain bahwa keberadaan SI memang harus ada dan tetap ada, yang dibuktikan bukan melalui kegiatan-kegiatan ”di dalam” –kegiatan mengarsipkan saja, namun bisa membagi dengan orang banyak melalui kode dan tanda yang dilakukan demi menjaga perhatian dari kepengamatan orang lain. Membuat spanduk-spanduk kegiatan dan program rutin yang bisa melibatkan orang banyak dengan ”warna” yang menggoda dan ada ”faktor menguntungkan” bagi yang terlibat (pasif ataupun aktif) juga salah satu strategi agar SI menjadi tidak terabaikan dalam pandangan orang.
Dalam prakteknya, SI harus konsisten menggelar program-program (bulanan atau tahunan) yang secara reguler diadakan dengan mengusung aroma khusus sinema Indonesia baik berupa pemutaran film Indonesia, peluncuran perdana (premiere) film Indonesia, diskusi film Indonesia, workshop film Indonesia ataupun kompetisi-kompetisi seperti kompetisi pembuatan film dan kompetisi penulisan kritik film Indonesia, baik sebagai pelaksana ataupun sebagai fasilitator. Tepatlah kiranya agar SI bukan lagi semata memproses film-film untuk diarsipkan, tapi menjadi media info bagi yang ingin mengetahui perfilman Indonesia. Hal ini akan menempatkan SI bukan lagi sebagai pihak yang berada dipinggir lingkaran sinema Indonesia, tapi sebagai salah satu tiang penyangga yang menopang lingkaran itu agar tetap berdiri dan berputar.
Menengok sejenak kedalam SI. Dalam struktur kerja dimanapun, pasti ada tenaga-tenaga yang terlibat didalam struktur tersebut yang selanjutnya akan menggerakkan sebuah sistem kerja. Struktur sebenarnya sesuatu yang statis, berbeda dengan sistem yang lebih dinamis dan bergerak ketika bagian-bagian dalam struktur itu bergerak. Begitupula tentunya yang terjadi pada SI. Dalam konteks pengarsipan ini struktur itu akan menjadi proses pendelegasian, dari bagian yang satu mengalirkan pada bagian yang lainnya. Urutan umumnya : materi (film) yang diterima-dicari akan diserahkan pada bagian pendataan. Bagian pendataan akan memproses materi tersebut untuk kemudian dibuatkan alur distribusi pada bagian penggandaan materi dan bagian penyimpanan. Selanjutnya materi tersebut bisa disirkulasikan dalam berbagai bentuk. Dengan kata lain bahwa bagian sirkulasi ini akan berhubungan dengan stake holder.
Mengikuti urutan yang paling awal, disinilah pertama kali SI bisa membuktikan dirinya sebagai lembaga yang menawarkan ke-otentik-an, bagaimana materi itu diperoleh dan bentuknya menyerupai apa. Pada tahap awal inilah sebenarnya perjuangan dimulai dengan membawa beban nama ”pengarsipan”. Masyarakat akan menilai sendiri, SI sebagai pengarsipan film atau pengarsipan film ”saja”. Semua itu tergantung pada sikap SI sendiri dalam menentukan nilai yang ingin disematkan padanya. Inilah perjuangan sebenarnya dalam gelanggang pengarsipan demi sebuah eksistensi.
Proses selanjutnya akan lebih mudah karena menyerupai proses-proses kerja pada umumnya. Kesulitan berikutnya akan dihadapi oleh bagian sirkulasi yang direpresentasikan dalam bentuk publikasi dan kehumasan yang akan membawa materi-materi tersebut menjadi berarti dan bermakna. Ke-berarti-an dan ke-bermakna-an ini tentu akan menjadi milik SI seutuhnya, sembari berharap kualitas SI akan terbangun.
Bagian dalam struktur itu tentu saja kita kenal dengan nama ”karyawan”, ”pegawai”, ”staf” dan sebagainya -dengan kata lain disebut sumber daya manusia (SDM). Melibatkan SDM dalam wilayah-wilayah praktik intelektual tentu menjadi prioritas utama bagi SI sehingga dalam dunia sinema yang aktif, SDM SI yang pada hakikatnya juga merupakan komunitas sinema Indonesia harus bergerak dalam keaktifan, bukan hanya menjadi penunggu setia ruang-ruang dimana artefak-artefak film bermukim. Sepeninggal almarhum SM Ardan, melibatkan insan sinema dalam SI juga bisa menjadi nilai berarti, karena (sekali lagi saya coba sebutkan) dalam dunia sinema yang aktif kita tentu tidak bisa berharap banyak bagi model kerja nine to five. Seyogyanya SI bisa memperluas cakrawalanya dan menggerakkan sistem menjadi lebih dinamis dengan pembagian beban kerja yang seimbang.

Penutup
Menyimpulkan sekaligus menjawab dua pertanyaan besar yang ada di paragraf awal, bahwa SI adalah penting dalam konteks perfilman Indonesia karena disanalah segala info tentang film Indonesia secara periodik berlangsung bisa diharapkan. Untuk itulah SI harus diterima sebagai bagian dari sinema Indonesia.
Bagi SI pembuktiannya bisa dilakukan dengan menjaga keberlangsungannya melalui proses kerja yang dinamis dan selalu menghasilkan sesuatu yang memang dibutuhkan oleh para penggunanya, tidak selalu menyibukkan diri dalam kerja yang statis dan lebih bersifat sesaat karena dunia ini selalu berubah mengikuti perkembangan pemikiran yang diaplikasikan melalui praktik-praktiknya. Dalam hal ini SI harus bisa bersikap situasional dan menjalin kerjasama dengan lebih banyak institusi yang kontekstual, salah satu contoh seperti yang pernah dilakukan dengan pemerintah Jepang pada tahun 1994 berupa pengadaan peralatan editing dan peralatan pembersih film (film cleaning machine), dimana untuk proses kerja yang disebut terakhir ini paling besar menghabiskan biaya –karena harus dilakukan secara reguler dan tidak bisa ditunda! Karena dampak dari pengabaian proses ini adalah film menjadi berjamur dan lengket. Jika ini yang terjadi maka SI mungkin hanya nama dengan koleksi citra-citra dalam frame seluloid yang sudah tidak bisa menjelaskan apapun.
Yang paling utama dalam menggerakkan semuanya adalah adanya peran aktif pemerintah (atau institusi apapun) untuk turut membantu menjaga eksistensi SI sebagai lembaga pengarsipan film Indonesia dalam menembus labirin birokrasi dan administrasi yang masih dominan dalam membentengi institusi dunia. Besar pengaruhnya bagi SI untuk mengesahkan identitas yang selama ini mengelabuinya, karena saat ini posisinya seakan berada diantara titik marjinal dan dominan dalam jagad sinema Indonesia. Berbarengan pula karena rendahnya kesadaran pengarsipan (out of archive minded). Tepatlah kiranya jika memang mengarsipkan film (Indonesia) seperti proses menjelajah dalam ruang semu.

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Basuki, Sulistyo, Pengantar Dokumentasi, Bandung : Rekayasa Sains, 2004
Chandler, Daniel, Semiotic : the basic, 2nd edition, New York : Routledge, 2007
Situs :
http:/www.pnri.go.id
http:/www.fpfi.org
http:/www.phpbb.com
http:/www.antara.co.id

(Dimuat dalam Jurnal Pohon Hayat IKJ Vol.2-No.1 Juli 2008)

Tinggalkan komentar