Archive for the ‘Foto’ Category

Foto (Pra)Nikah

Posted: 30 Juni 2010 in Foto
Tag:

Eksplorasi kreatifitas dalam dunia fotografi memang secara terus menerus berlangsung –bukan hanya karena kebutuhan menyalurkan ide dari tuntutan kreatifitas kepala, tapi juga karena adanya perkembangan akan teknologi fotografi dari waktu ke waktu dan kebutuhan akan konsumsi dari fotografi ini.

Untuk teknologi, kita menyadari bahwa perubahan elemen bahan baku dasar fotografi dari film (roll) menuju digital telah memungkinkan setiap orang mampu menjadi seorang “fotografer”. Hal inilah kemudian yang menuntut setiap orang itu (fotografer dalam tanda kutip ataupun fotografer dalam arti sebenarnya) berlomba untuk menciptakan sifat-sifat pembeda dalam proses menerima kehadiran efek digital tersebut.

Begitupun dalam hal konsumsi fotografi. Dalam hasil akhirnya, format foto konvensional yang dahulu kita kenal hanya dalam bentuk media kertas ukuran-ukuran baku (3R, 4R, 5R, 10R dan sebagainya), saat ini bisa diproyeksikan dalam berbagai ukuran dan berbagai media. Inilah satu contoh konsep kreatifitas dalam dunia fotografi yang akhirnya membawa fotografi masuk dalam kebutuhan mendasar setiap orang bagi dokumentasi visualnya.

Saat ini dikenal istilah pre wedding photography (foto menjelang pernikahan). Foto model ini sekarang menjadi semacam “keharusan” bagi siapa saja yang akan melangsungkan pernikahan. Fungsinya bukan hanya untuk dipajang dalam undangan tapi juga buat dipajang di galeri pesta pernikahan. Akhirnya, perjalanan fotografi sampai saat ini bukan hanya menempatkan foto sebagai sifat dokumentatif semata, tapi telah membentuk sebuah “nilai baru” bagi setiap orang, nilai yang sangat performatif.

Sejarah fotografi mencatat nama Al Hazen, seorang pelajar berkebangsaan Arab yang menulis bahwa citra dapat dibentuk dari cahaya yang melewati sebuah lubang kecil pada tahun 1000 M. 400 tahun kemudian, Leonardo da Vinci, juga menulis mengenai fenomena yang sama. Namun, Battista Delta Porta, juga menulis hal tersebut, sehingga dia yang dianggap sebagai penemu prinsip kerja kamera melalui bukunya, Camera Obscura. Awal abad 17, Ilmuwan Italia, Angelo Sala menemukan bahwa bila serbuk perak nitrat dikenai cahaya, warnanya akan berubah menjadi hitam. Bahkan saat itu, dengan komponen kimia tersebut, ia telah berhasil merekam gambar-gambar (walaupun penampakan gambarnya tak bertahan lama). Pada 1727, Johann Heinrich Schuize, profesor farmasi dari Universitas di Jerman, juga menemukan hal yang sama pada percobaan yang tak berhubungan dengan fotografi.

Sekitar tahun 1800, Thomas Wedgwood, seorang Inggris, bereksperimen untuk merekam gambar positif dari citra yang telah melalui lensa pada kamera obscura yang sekarang ini disebut kamera dengan membuat gambar-gambar negatif, pada kulit atau kertas putih yang telah disaputi komponen perak dan menggunakan cahaya matahari sebagai penyinaran.

Tahun 1824, setelah melalui berbagai proses penyempurnaan oleh berbagai orang dengan berbagai jenis pekerjaan dari berbagai negara. Akhirnya Joseph Nicephore Niepce, seorang litograf berhasil membuat gambar permanen pertama yang dapat disebut “foto” dengan tidak menggunakan kamera, melalui proses yang disebutnya heliogravure atau proses kerjanya mirip litograf dengan menggunakan sejenis aspal yang disebutnya bitumen of judea, sebagai bahan kimia dasarnya. Kemudian dicobanya menggunakan kamera, namun ada sumber yang menyebutkan Niepce sebagai orang pertama yang menggunakan lensa pada camera obscura. Pada masa itu lazimnya camera obscura hanya berlubang kecil. Pada tahun 1826 Niepce menghasilkan sebuah foto yang kemudian dikenal sebagai foto pertama dalam sejarah manusia berjudul View from Window at Gras, yang kini disimpan di University of Texas di Austin, AS.

Agustus 1827, Niepce berjumpa dengan Louis Daguerre, pria Perancis dengan beragam keterampilan tapi dikenal sebagai pelukis. Mereka merencanakan kerjasama untuk menghasilkan foto melalui penggunaan kamera. Tapi Niepce meninggal dunia pada tahun 1833. Dan tanggal 7 Januari 1839, dengan bantuan seorang ilmuwan untuk memaparkan secara ilmiah, Daguerre mengumumkan hasil penelitian. Penelitiannya selama ini kepada Akademi Ilmu Pengetahuan Perancis. Hasil kerjanya yang berupa foto-foto yang permanen itu disebut DAGUERRETYPE, yang tak dapat diperbanyak atau reprint atau repro.

Saat itu Daguerre telah memiliki foto studio komersil dan Daguerretype tertua yang masih ada hingga kini diciptakannya tahun 1837. Tanggal 25 Januari 1839, William Henry Fox Talbot, seorang ilmuwan Inggris, memaparkan hasil penemuannya berupa proses fotografi modern kepada Institut Kerajaan Inggris. Berbeda dengan Daguerre, ia menemukan sistem negatif-positif (bahan dasar: perak nitrat, diatas kertas). Walau telah menggunakan kamera, sistem itu masih sederhana seperti apa yang sekarang kita istilahkan: contactprint (print yang dibuat tanpa pembesaran atau pengecilan).

Juni 1840, Talbot memperkenalkan calotype, perbaikan dari sistem sebelumnya, juga menghasilkan negatif diatas kertas. Dan pada Oktober 1847. Abel Niepee de St Victor, keponakan Niepce, memperkenalkan pengunaan kaca sebagai base negatif menggantikan kertas. Pada Januari 1850, seorang ahli kimia Inggris, Robert Bingham, memperkenalkan penggunaan collodion sebagai emulsi foto, yang saat itu cukup populer dengan sebutan WET-PLATE Photography.

Objek, lighting, dan komposisinya jelas sekali diperhitungkan dengan masak saat pemotretan. Perbedaan yang dapat dilihat dengan jelas adalah sebagian besar foto terekam beku. Jika memotret manusia, maka si model diwajibkan diam beberapa saat. Hal ini dapat dimaklumi karena teknologi fotografi saat itu masih sederhana, badan kamera berukuran besar, sedangkan filmnya masih dalam bentuk lembaran (bukan roll), bahkan bahan dasarnya kaca atau seluloid, dengan kepekaan (ASA) yang masih rendah. Mekanisme pada lensa juga sangat sederhana, bahkan banyak lensa yang mempunyai satu bukaan diafragma dan tidak disertai lembaran daun diafragma, sehingga pemotretan dilakukan dengan cara membuka dan menutup lensa

Setelah berbagai perkembangan dan penyempurnaan, penggunaan roll film mulai dikenal. Juni 1888, George Eastman, seorang Amerika, menciptakan revolusi fotografi dunia hasil penelitiannya sejak 1877. Ia menjual produk baru dengan merek KODAK berupa sebuah kamera box kecil dan ringan, yang telah berisi roll film (dengan bahan kimia perak bromida) untuk 100 eksposur. Bila seluruh film digunakan, kamera yang diisi film dikirim ke perusahaan Eastman untuk diproses.

Setelah itu kamera dikirimkan kembali dan telah berisi roll film yang baru. Berbeda dengan kamera masa itu yang besar dan kurang praktis, produk baru tersebut memungkinkan siapa saja dapat memotret dengan leluasa. Hingga kini perkembangan fotografi terus mengalami perkembangan dan berevolusi menjadi film-film digital yang mutakhir tanpa menggunakan roll film.

Kamera digital adalah teknologi yang terkait langsung dan berkembang dari teknologi yang sama seperti ketika berfungsi untuk merekam gambar pada televisi. Pada tahun 1951, untuk pertama kalinya video tape recorder (VTR) mengambil gambar dari kamera televisi, kemudian mengkonversi informasi tersebut menjadi suatu impuls listrik (digital) dan menyimpan informasi tersebut ke dalam tape magnetis.

Bing Crosby Laboratorium (tim peneliti yang didanai oleh seorang insinyur bernama Vrosby dan dipimpin oleh John Mullin) membuat versi awal dari VTR. Pada tahun 1956, teknologi VTR telah disempurnakan (VR1000 yang dibuat oleh Charles P. Ginsburg dan Ampex Corporation) dan umum dipakai oleh industri televisi. Antara televisi/kamera video dan kamera digital yang menggunakan CCD (Charged Couple Device)untuk mengatur warna dan intensitas cahaya. Pada saat itu pula era kamera digital telah dimulai dengan sangat pesat.

Pada tahun 1981, Sony memperkenalkan kamera elektronik komersil pertama mereka yang disebut Mavica. Gambar yang direkam ke mini disc dan kemudian dimasukkan ke dalam video reader yang terhubung ke monitor atau televisi warna. Walaupun Mavica belum dapat dikatakan kamera digital, itu sebenarnya merupakan modifikasi kamera video yang mengambil foto secara spontan.

Sejak pertengahan tahun 1970-an, Kodak memiliki beberapa penemuan tentang solid-state/kejernihan untuk sensor gambar yaitu mengubah cahaya ke gambar digital untuk penggunaan pada tingkat profesional dan konsumen rumah tangga. Pada tahun 1886, ilmuwan Kodak untuk pertama kalinya di dunia mengenalkan sensor megapixel, dimana sensor ini mampu merekam 1,4 juta pixel yang dapat menghasilkan 5×7 inci foto digital cetak berkualitas baik pada saat itu. Pada tahun 1987, Kodak merilis tujuh produk untuk merekam, menyimpan, memanipulasi, transmisi elektronik, dan mencetak sesuatu seperti gambar suatu objek.

Pada tahun 1990, Kodak mengembangkan sistem foto CD dan mengusulkan pertama kalinya di seluruh dunia untuk menetapkan standar warna digital dalam lingkungan komputer dan peripheral komputer. Pada tahun 1991, Kodak merilis pertama kalinya untuk para profesional, suatu sistem dalam pemotretan yanitu Digital Camera System (DCS), yang bertujuan untuk photo journalist. Kamera tersebut adalah Nikon F-# yang dilengkapi dengan sensor 1.3 Megapixels.

Kamera digital yang pertama untuk tingkat konsumen pasar yang bekerja dengan komputer rumah melalui USB (Unit serial Bus) adalah kamera QuickTake 100 Aplle (17 Februari 1994), kamera Kodak DC40 (28 maret 1995), Casio QV-11 (dengan monitor LCD, akhir 1995), dan Sony Cyber-Shot Digital Still Camera (1996). Namun, kodak memasuki era tersebut dengan agresif kampanye pemasaran untuk memajukan DC40 dan membantu memperkenalkan gagasan digital fotografi kepada masyarakat. Kinko’s dan Microsoft bekerja sama dengan Kodak Digital untuk membuat gambar digital yang menggunakan software di berbagai tempat kerja dan kios foto, dimana para pelanggan diizinkan untuk memproduksi CD foto, gambar digital, dan kemudian dapat menambahkan ke dokumen komputer mereka. IBM bekerja sama dengan Kodak membuat internet berbasis jaringan pertukaran gambar.

Hewlett-Packard (HP) adalah perusahaan pertama dalam hal membuat warna di produk mereka yaitu Inkjet Printer, sehingga melengkapi sistem pewarnaan untuk gambar yang dicetak dari kamera digital. Maka dimulailah perubahan kamera digital dengan bentuk yang baru. Kamera digital seperti kamera konvesional, tersedia model Point-And-Shot dan lensa refleks tunggal digital atau Digital Single Lens Reflector (DSLR)[1].

Sejarah perkembangan fotografi sampai saat ini telah membawa dunia fotografi masuk dalam kreatifitas yang melewati area dokumentatif lagi. Tapi dengan perkembangan fotografi, terutama era digital telah menjadikan karya-karya foto bisa menciptakan gambar secara imajinatif dan diterjemahkan dalam bentuk foto-foto yang menarik.

Jika dahulu kita mengenal fotografi hanya dalam tingkat pengertian “mendokumentasikan peristiwa” saja –aktual maupun factual- seperti sejarah awal fotografi dari Niepce yang berjudul View from Window at Gras, maka kini dokumentasi semakin luas terjemahannya, bisa juga diartikan sebagai media konsumtif. Ada satu kenyataan lagi bahwa perkembangan fotografi modern di Indonesia terkonsentrasi di kota-kota besar, di mana media cetak, publikasi dan pusat-pusat kebudayaan asing berada. Di kota-kota besar ini jugalah infrastuktur penunjang pertumbuhan dan apresiasi pada fotografi terus menerus meningkat, seperti pertumbuhan minat orang akan fotografi, baik karena kemudahan segala akses maupun karena banyak pilihan untuk menggambarkan suasana yang diperlukan (modern ataupun tradisional –building environment dan natural environment).

Jika dahulu fotografi hanya mengenal 3 (wilayah) besar dalam art photography, journalistic photography dan product photography, saat ini dalam jagad fotografi dikenal sebuah subgenre baru dengan sebutan pre wedding photography. Konsep foto ini adalah “menambah unsur dekoratif pada saat resepsi”, sekaligus bisa juga sebagai pembentukan citra bagi sang pengantin. Atas dasar itulah maka bisnis foto pre wedding menjadi salah satu lahan yang mulai digarap oleh para fotografer. Dengan kata lain bahwa fotografi telah menjadi konsumsi massal –pop culture, sebutan fotografer telah merambah pengertiannya sebagai orang yang mampu menghasilkan sebuah foto. Hal ini tidak lepas dari peranan kehadiran kamera digital saku dan akses fotografi lainnya (cetak foto tidak melulu harus dihasilkan msin berharga jutaan rupiah, tapi kini bisa menggunakan alat print dari komputer).

Untuk bisa menghasilkan foto pre wedding yang baik tidaklah cukup kalau hanya mengandalkan kemampuan dan kecanggihan kamera. Namun juga harus dipertimbangkan faktor-faktor lain yang nantinya akan dihasilkan dalam gambar-gambar foto yakni lokasi pemotretan. Faktor lokasi akan sangat penting bagi pembentukan citra tadi karena setiap orang (pengantin) tentunya akan menampilkan apapun bagi momen yang akan dilangsungkannya tersebut (ideal beauty) –ideologi dominan yang selalu menjadi keinginan bagi setiap manusia. Dari sinilah kemudian lahir tema-tema dalam prosesnya. Biasanya berkisar antara tema klasik, modern, atau religius. Tema-tema tersebut bisa dijabarkan lagi berdasarkan hobi dan minat, profesi, kenangan masa lalu, lokasi favorit,

Dari sumber www.kaskus.us, ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk memenuhi tema-tema yang diangkat : 

  1. LOKASI PEMOTRETAN: pilihan tema, jalan menuju lokasi, fasilitas –berpengaruh pada peralatan yang akan dibawa.
  2. MATERIAL : bahan baku pemotretan, baju ganti, make up, makanan, hasil cetakan foto
  3. SDM : fotografer, klien –persiapan mental, psikologis,

 Kondisi ini hanya bisa dipenuhi jika segala sesuatunya tersedia secara mudah, cepat dan praktis. Ketersediaan ini hanya memungkinkan jika kita berada di kota besar (Jakarta) karena disana memang telah terjadi proses ekonomi yang paling besar, sehingga ketersediaan seluruh kelengkapan itu bisa terpenuhi. Akhirnya “Kota Besar” –dalam hal ini Jakarta menjadi kata kunci dalam pemenuhan kebutuhan itu. Akses jalan dan pilihan yang banyak dan takterbatas akan lokasi pemotretan memang paling mudah ditemui di kota-kota besar. Sebuah kota menjadi besar karena memang segala kegiatan dan sarana penunjang kegiatan tersebut sudah memadai. Artinya, pilihan lokasi pun tersedia dalam jumlah dan kondisi yang begitu banyak. Begitupun dalam hal ketersediaan materi dan peralatan penunjang kegiatan fotografi. Faktor kota menjadi prioritas utama dalam kemudahan mendapatkan kebutuhan akan peralatan tersebut –dimana kegiatan ekonomi paling besar berputar melalui barang-barang yag dijajakan, mulai dari kamera dengan segala bentuk dan fungsi, kostum dengan segala model, tempat cetak foto dalam berbagai hasil dan sebagainya. Begitu pula perkembangan kreatifitas dari seorang fotografer memang paling mudah dikembangkan dalam kota yang menyediakan fasilitas bagi pengemangannya. Tempat-tempat kursus, tempat penjualan asesoris kebutuhan penunjang fotografi, toko-toko buku. Dan satu yang paling kentara bahwa dalam persaingan bebas zona modern, ketika kesuksesan dan nilai banyak direkonstruksi menjadi berbgai bentuknya, maka akhirnya nilai “gengsi” banyak dijual-beli di kota-kota besar.

            Lokasi-lokasi yang banyak direkomendasikan untuk pre wedding photography di Jakarta antara lain : Pelabuhan sunda kelapa, kawasan Kota Tua (museum Fatahillah), Taman Prasasti (kuburan belanda, cocok buat foto dengan tema gothic dan horor), Ancol (jembatan melengkung ke tengah laut. Ada juga kuburan Belanda/Inggris yang tertata rapi), Pantai Indah Kapuk (biasa motret di kapal-kapal yang sedang parkir disana), TMII (foto dalam anjungan untuk beberapa konsep daerah), Studio Alam Depok (biasanya untuk tema hutan dan nature), Pulau Bidadari, VOC Galangan, Museum Arsip Nasional dan sebagainya.

            Untuk fase produksi fotografi, kini rasio pemotretan hampir takterbatas ketimbang fotografi masih mengenal penggunaan roll film, semua serba dihitung secara cermat (objek, pencahayaan dan komposisi). Dengan dimulainya era penggunaan kamera digital, setiap gambar bisa dihasilkan dalam jumlah banyak dengan lebih maksimal dan sesuai keinginan –baik keinginan fotografer maupun klien, karena setiap momen yang terekam bisa segera diketahui kekurangan dan kelebihannya.

            Untuk penyelesaian akhirnya juga kini pencetakan tidak terikat pada kertas-kertas foto lagi. Bahkan proyeksinya kini bisa dalam berbagai media dan ukuran (besar dan bentuknya) –banner, kanvas, kaca, dan tidak terikat lagi pada ukuran-ukuran yang konvensional ; 2R, 3R, 4R, 10R dan seterusnya. Pengemasannya sebelum masuk tahap pencetakan pun kini bisa direkonstruksi (retouching) dengan fasilitas-fasilitas yang tersedia dalam teknologi komuter modern. Seperti halnya kita mengenal sebuah program Adobe Photoshop, dimana terang-gelap, tajam-buram, komposisi, desain dan sebagainya, bisa direkayasa dengan sangat mudah.

            Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa fotografi telah merambah pada proyeksi yang semakin luas –tidak hanya terkungkung pada paradigma dokumentatif semata. Faktor kota besar membuat perkembangan fotografi semakin cepat bergerak karena infrastruktur dan sarana penunjang cukup tersedia disini. Satu jenis kegiatan fotografi yang saat ini menjadi favorit adalah pre wedding photography. Model fotografi ini tidak bisa pula dilepaskan pada konsep modernitas yang lahir di kota-kota dengan berbagai hasratnya. Hasrat yang paling utama adalah bagi setiap orang ingin menciptakan konstruksi identitas dirinya dalam dinamika kota besar yang menuntut setiap orang untuk tampil secara sempurna –dengan kata lain bahwa setiap orang memiliki keinginan untuk tampil secara “layak” sebagai warga kota yang berhasil dalam mengenal “ke-kota-annya”.

-Tulisan ini mengutip dari berbagai sumber, yang ada di file pribadi saya. Sementara itu ini foto Haji Abdul Syarif & Istri (Arda-Cilangkap)-