Hierarki Ilmu

Posted: 29 September 2016 in Budaya
Tag:

Dalam sistem pendidikan kita, ada penciptaan “struktur” hierarki mata pelajaran yang tanpa disadari telah menciptakan sebuah paradigma besar yang terjadi atas manusia-manusia yang dihasilkan di bumi Indonesia ini. Dalam mata pelajaran disekolah (ini sesungguhnya dimulai di tingkat sekolah menengah atas), diciptakan klas-klas yang memungkinkan setiap orang berpikir bahwa mereka berada dalam trikotomi “pandai-biasa saja-kurang pandai”.

Klas paling atas (pandai) diisi oleh mata pelajaran “keras” seperti matematika dan/atau IPA dan sejenisnya (ilmu eksakta). Klas dibawahnya berisi mata pelajaran dalam rumpun sosial, bahasa, sastra. Klas paling akhir diisi oleh mata pelajaran berjenis seni, olahraga dan keterampilan lainnya. Ini menjadi tolok ukur ketika seorang siswa dianggap pandai jika ia mampu mengatasi persoalan pada klas paling atas. Begitupun sebaliknya ketika seseorang tidak mampu lolos dalam pemahaman pada persoalan klas atas tersebut ia secara sosial akan diberi predikat “biasa saja” atau bahkan dianggap seorang yang “kurang pandai”.

Tidaklah mengherankan kemudian banyak orang tua yang berfikir jika kelak ingin menyekolahkan anaknya pada tingkat lanjut maka masukkanlah anak pada kampus-kampus yang memiliki jurusan mata kuliah pada klas atas (eksakta). Kesuksesan berupa pekerjaan mumpuni pasti akan tercapai, yang secara mumpuni terkait pula pada taraf ekonominya. Dan lihatlah, paradigma besar ini juga berdampak pada rasio (perbandingan jumlah) perguruan tinggi yang membuka jurusan IPA, IPS, Bahasa, Sastra, Seni, Olahraga.

Paradigma besar sebenarnya ini bisa diubah sehingga manusia Indonesia tidak lagi berfikir bahwa ilmu itu memiliki klas-klas secara hierarkis, yang berdampak pada stereotipe bahwa jurusan IPA lebih pandai daripada jurusan IPS atau Bahasa/Sastra, termasuk tentang penghasilan ekonomi. Jika tidak juga berubah, jika ilmu tidak didudukkan secara sejajar, sungguh tragis!!! Pemerintah punya kuasa atas semua ini, termasuk tetek bengek tanggungjawab moralnya pada generasi-generasi yang sudah melampaui era klas mata pelajaran. Tidaklah mengherankan jika seniman atau olahragawan atau sastrawan atau bahasawan seringkali jarang/tidak mendapat tempat dalam birokrasi –seberapa cerdasnya dia, ketimbang teknokrat, ekonom, fisikawan, biologiawan yang banyak duduk dalam struktur birokrasi di Indonesia –seberapapun “bejat”nya dia. Wagub Banten Rano Karno? Wagub Jabar Dedy Mizwar? Wagub Jabar Dede Yusuf? Mereka bukan mewakili kesenimanan dalam birokrasi yang dijalaninya. Tidaklah mengherankan juga jika PSSI sampai saat ini tidak pernah dipimpin oleh olahragawan itu sendiri –karena dianggap “tidak mampu”, sehingga orang-orang dengan atar belakang militer, teknokrat, ataupun politikus yang lebih dipercaya untuk mengurusnya. Jangan-jangan memang benar, Indonesia sudah dikuasai paradigma besar. Sekali lagi, pemerintah punya kuasa, sekaligus memiliki “dosa besar” menciptakan klas-klas dalam ilmu pengetahuan, karena kenyataannya Indonesia sudah sedemikian demikian adanya. -Arda-

 

Tinggalkan komentar