MENGURAI (ULANG) KELAHIRAN PERFILMAN NASIONAL (INDONESIA)

Posted: 3 November 2011 in Film
Tag:, , ,

Cikal Bakal Film “Nasional” Indonesia

Membicarakan kelahiran perfilman di Indonesia, akan selalu terbawa pada film karya Usmar Ismail yang berjudul Darah dan Do’a/Long March of Siliwangi (1950). Film ini dianggap pelopor bagi perfilman (nasional) Indonesia. Hari pertama pengambilan gambar untuk produksi film ini dilakukan tepat pada tanggal 30 Maret tahun 1950. Tanggal ini kemudian menjadi hari istimewa bagi perfilman Indonesia dengan ditetapkannya sebagai Hari Film Nasional[1]. Dasar pertimbanganya, seperti yang tertera dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia adalah karena untuk pertama kalinya film cerita dibuat oleh orang dan perusahaan Indonesia. Selain itu juga dalam butir keputusannya dinyatakan bahwa penetapan Hari Film Nasional ini sebagai upaya meningkatkan kepercayaan diri, motivasi para insan film Indonesia serta untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat film Indonesia secara regional, nasional dan internasional. Jarak yang cukup jauh antara tahun pembuatan film ini -1950 dengan ketetapan pemerintah -1999, sekitar 49 tahun memperlihatkan betapa pengakuan negara terhadap perfilman nasional dilakukan melalui proses panjang, hampir setengah abad!

10428577_479881715508563_2384140198813493435_n.jpg

Materi ini pernah diseminarkan di IKJ

Misbach Yusa Biran (MYB) dalam bukunya Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa menyebutkan bahwa film-film sebelum karya Usmar ini lahir disebutnya belum memiliki kesadaran nasional. Misbach mengutip hasil wawancaranya dengan Usmar Ismail bahwa ia (Usmar Ismail -penulis) akan membuat film yang bisa mencerminkan national personality, kepribadian bangsa. Lainnya, dalam kumpulan tulisannya Mengupas Film, Usmar Ismail juga  menyatakan bahwa film Darah dan Do’a ini merupakan film yang pertama kalinya menceritakan tentang kejadian-kejadian yang nasional sifatnya. Dan tidaklah mengherankan ketika akhirnya film ini mendapatkan kehormatan untuk diputar di tempat kediaman Bung Karno (Soekarno –Presiden Indonesia Pertama) yang baru, pertengahan tahun 1950[2].

Mengenai pembuatnya, H. Rosihan Anwar (meninggal dunia pada hari kamis, 14 April 2011 –ketika naskah ini sedang dibuat) dalam makalah pengantar pada pertunjukan film retrospektif Usmar Ismail di Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986 menuturkan bahwa sifat-sifat utama dan nilai-nilai yang dianutnya ialah patriotisme atau cinta tanah air, nasionalisme yang tinggi dan idealisme yang menyala-nyala atau hidup dengan bercita-cita. Usmar memang pernah tercatat sebagai tentara Indonesia antara tahun 1945 sampai 1949 dengan pangkat Mayor TNI di Yogyakarta. Apakah latar ini berhubungan langsung, tentu perlu dikaji lebih jauh karena hal ini pula yang pernah menjadi perdebatan antara Usmar Ismail dan teman-temannya. Usmar dianggap kurang nasionalis karena pernah bekerja dengan perusahaan film Belanda SPFC (South Pacific Film Corp.). Meskipun dibantah oleh Usmar melalui beberapa alasan bahwa ia menerima pinangan dari SPFC karena merupakan persyaratan yang harus dijalaninya ketika ia dilepaskan dari penjara. Selain itu ia juga memang ingin mempraktekkan teori-teori yang diperolehnya dari masa pendudukan Jepang, dan kursus-kursus film selama di Yogyakarta (1946-1947). Yang paling utama adalah pernyataan Usmar sendiri bahwa ia dijanjikan untuk bisa bekerja secara merdeka di SPFC, meskipun akhirnya menimbulkan pertikaian antara Usmar dan produser SPFC yang akhirnya membuatnya meninggalkan SPFC.

Namun ada pernyataan nampaknya menjadi ambigu perihal “nasionalisme” ketika Usmar sendiri menyebutkan bahwa kesadaran nasional justru telah mulai ada dalam filmnya yang berjudul Tjitra (yang merupakan nama pahlawan perempuan Indonesia). Gayus Siagian dalam bukunya Sejarah Film Indonesia (FFTV-IKJ Press, 2010) memberikan sebuah penilaian yang cukup menarik dan patut dipertimbangkan. Ia menyatakan bahwa film ini (Darah dan Do’a) diberi predikat nasional karena berbeda dengan film-film sebelumnya, modal untuk film ini adalah modal nasional. Perusahaan ini dipimpin oleh orang-orang Indonesia sejati, produksinya dipimpin oleh Usmar Ismail sendiri, demikian juga penyutradaraan, ceritanya adalah cerita Indonesia, artis-artisnya juga orang-orang Indonesia, juru kamera, penulis skenario, editor dan lain-lain orang Indonesia.

10628342_480350992128302_9029892248982895401_n

Suasana Seminar

Dalam semangat “nasionalisme”, dalam poster filmnya[3], banyak sekali kalimat-kalimat penggugah semangat bagi nasionalisme : “Film jang mesti dilihat oleh semua pentjinta bangsa!” dan juga kalimat “Perdjuangan bangsa Indonesia hidup kembali dalam : THE LONG MARCH Darah dan Do’a”, seperti ketinggalan langkah dalam upaya mengedepankan semangat nasionalisme ini –dalam konteks film Tjitra yang menurutnya (Usmar) sebenarnya sudah mulai “nasional”.

Ini barangkali bisa menjadi sebuah pertimbangan baru untuk mengurai kembali pengertian perfilman nasional Indonesia, karena bukan tidak mungkin legitimisi yang terus menerus terhadap film Darah dan Do’a ini hanya merupakan konstruksi saja, atau barangkali ini tidak lebih atas dasar penilaian “subyektif” belaka atas sosok Usmar Ismail saja dalam membuat film, yang sarat atau tanpa tendensi “kesadaran nasional” yang sering digaungkan tersebut. Bisa disimak apa yang disampaikan Usmar dalam bukunya itu :

Meskipun “Tjitra” mendapat sambutan yang baik dari pihak pers, terus terang film itu terlalu banyak mengingatkan saya kepada ikatan-ikatan yang saya rasakan sebagai pengekangan terhadap daya kreasi saya. Karena itu saya lebih senang menganggap “Darah dan Do’a” sebagai film saya yang pertama, yang seratus persen saya kerjakan dengan tanggung jawab sendiri.

 

Saya mencoba mengutip pernyataan dari Chairil Gibran Ramadhan, yang dalam artikelnya Belanda, Tionghoa, dan Film Lama di Batavia (Moviegoers, edisi 003/April/2011) juga memperlihatkan nada serupa :

Karena ketika 30 Maret diingat sebagai Hari Film Nasional, sesungguhnya masyarakat utamanya insane film, tidak hanya mengingat nama dan karya yang kini berjaya tetapi juga yang telah lama tenggelam oleh waktu (tepatnya sengaja ditenggelamkan manusia), padahal merekalah perintis perfilman nasional lewat peran besarnya –namun kerap dianggap sebagai penjajah dan tamu : Orang Belanda dan orang Tionghoa.

 

***

 

Cerita film Darah dan Do’a[4] ini berdasarkan kisah nyata yang ditulis Sitor Situmorang tentang perjalanan panjang prajurit RI (long march) yang diperintahkan kembali, dari Yogyakarta ke Jawa Barat, selain tentunya inspirasinya terhadap Tentara Merah Tiongkok “The Long March”. Dalam film ini rombongan hijrah yang terdiri dari prajurit dan para keluarganya itu dipimpin Kapten Sudarto (Del Juzar). Ada ketegangan yang terjadi sepanjang perjalanan hijrah tersebut. Tentang penderitaan, ketakutan akan perang, pengkhianatan dan kehidupan manusia lainnya. Film ini disutradarai oleh Usmar Ismail dan merangkap sebagai penulis skenario, yang ceritanya berdasarkan karya Sitor Situmorang. Perusahaan pembuatnya adalah Perfini. Tim produksinya antara lain Max Tera (kameramen dan editor), Basuki Resobowo (artistik) dan GRW Sinsu (penata musik). Pemain-pemainya antara lain Del Juzar, Farida, Aedy Moward, Sutjipto, Awal, Johanna, Suzzana, Rd Ismail, Muradi dan sebagainya.

Sejarah Awal Produksi Film di Indonesia –Peran Orang Indonesia

Semenjak kehadiran pertunjukan film di dunia tahun 1890-an terdapat jangka waktu yang panjang sejak ditetapkannya ”film nasional” Indonesia tahun 1950. Namun sebenarnya publik Indonesia jauh hari telah diperkenalkan secara langsung oleh pertunjukan film, terutama bagi orang-orang di Batavia (Jakarta). Bahkan melintas jauh kebelakang, prinsip-prinsip film justru sudah amat dikenal oleh orang di Indonesia melalui pertunjukan wayang kulit. Melalui wayang kulit ini Gayus Siagian dalam buku menyebutkan :

“Benda-benda berupa gambar orang dari kulit diprojektir pada sehelai kelir (layar) ditempat gelap didepan penonton. Suara diberikan oleh seorang dalam menceritakan kejadian berupa dialog. Penonton melihat bayangan-bayangan hitam putih. Skenario biasanya diambil dari Mahabrata dan Ramayana; dan tokoh-tokohnya pun sudah dikenal publik”.

Bisa diduga, kehadiran pertunjukan film (moving picture) pertama di bumi Indonesia, terutama dalam konsep cerita secara visual sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi sebagian orang di Indonesia. Proses pencerapan cerita secara visual itu akan menjadi lebih mudah diterima karena kebiasaan-kebiasaan yang dihadapinya.

Seiring dengan dimulainya pertunjukan film pertama kali di Indonesia pada tanggal 5 Desember 1900, bermunculan pula bioskop. dalam peng-kelas-an bioskop. Sebut saja bioskop Decca Park di Jakarta dan Concordia di Bandung yang khusus diperuntukkan bagi orang Eropa. Ada juga bioskop Kramat yang diperuntukan bagi kelas menengah. Untuk kelas bawah tersedia bioskop Rialto[5].

Pembagian lebih rinci kelas-kelas bioskop itu dapat dijabarkan dalam buku HM Johan Tjasmadi, 100 tahun Bioskop di Indonesia 1900-2000 sebagai berikut :

Masyarakat Eropa (golongan orang-orang Belanda dan ras kulit putih yang datang dari Eropa –disebut warga kelas satu), masyarakat Timur Asing (terdiri atas pendatang dari India, Jepang Tionghoa –disebut warga kelas dua), masyarakat Indo-Belanda (struktur masyarakat yang bisa permohonannya persamaannya telah disetujui untuk mendapatkan perlakuan seperti warga kelas satu –disebut sebagai warga kelas tiga) dan masyarakat pribumi (disebut warga kelas empat).

Kondisi ini bisa dijelaskan juga dari sekelumit kalimat yang penulis temukan dalam buku Dutch Culture Overseas (Frances Gouda, 2007) yang berbunyi :

Dalam latar Hindia Belanda, definisi kewarganegaarn yang paling komunitarian di Belanda sendiri diubah menjadi pemilahan yang kaku antara orang Eropa dan Pribumi (inlanders), yang mengasingkan berjuta-juta orang Indonesia ke dalam wilayah buram di ujung pemilahan kolonial yang berlawanan, tempat mereka bisa digambarkan dengan berbagai bentuk keliyaan (otherness).

Sampai tahun 1936 saja tercatat sudah ada sekitar 225 gedung bioskop yang berdiri di hampir seluruh walayah Indonesia[6]. Bahkan dalam catatan Khrisna Sen pada pertengahan tahun 1920 terdapat setidaknya 13 gedung bioskop yang berdiri di Jakarta.

Perkembangan bioskop di Indonesia bisa dikatakan naik-turun. Kemerosotan pengelolaan bioskop timbul karena adanya kebosanan dari penonton umum (pribumi) di Indonesia dengan sajian tontonan yang dianggapnya terlalu monoton. Ditambah juga dengan munculnya Ordonansi tahun 1926 yang memberikan beban pajak amat berat pada bioskop, terutama bioskop-bioskop kecil. Perkembangan dan pertumbuhan bioskop awal tidak sedikitpun menyinggung tentang partisipasi yang aktif dari orang-orang pribumi Indonesia. Dalam hal ini hampir semuanya dikelola dan dijalankan oleh orang-orang non-pribumi. Dalam konteks kehadiran film di Indonesia, keberadaan orang-orang Indonesia masih bersifat pasif, mereka hanya berperan sebagai penonton saja, tidak terkecuali para pribumi yang terpelajar. MYB pun mencatat, “semenjak film diperkenalkan di Indonesia, maka yang memegang peranan utama dalam hal-hal perfilman adalah selalu orang asing”. Sejarah awal ini pun memperlihatkan bahwa orang-orang Indonesia lebih suka menonton film yang bersumber dari luar negeri.

Produksi film cerita paling awal di Indonesia dilakukan oleh seorang Jerman bernama G. Kruger yang bersama dengan orang Belanda Heuveldop membuat film Loetoeng Kasaroeng, yang menampilkan cerita tentang legenda terkenal di Jawa Barat, Indonesia[7]. Film ini bisa dikatakan sebagai film nasional-transnasional pertama di Indonesia karena ada kerjasama antara orang-orang Indonesia dengan orang asing. Pemain-pemainnya juga berasal dari Indonesia, diantaranya Martoana dan Oemar. Bahkan Bupati Bandung Wiranatakusumah V menjadi pemodalnya dengan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk memproduksi film tersebut. Produksi ini juga melibatkan orang-orang Indo-Bandung sebagai penghubung komunikasi antara orang-orang asing dan orang Indonesia. Ada juga Raden Kartabrata yang diserahkan untuk memimpin para pemain, khususnya dari golongan priyayi. Lokasi pengambilan gambarnya berada di wilayah Bukit Karang, dua kilometer dari Kota Pandeglang, Jawa Barat.

Semenjak film Loetoeng Kasaroeng ini dibuat, maka selanjutnya produksi kerjasama Indonesia-Belanda semakin banyak dilakukan. Salah satunya Eulis Atjih (1927). Menurut MYB ada hal menarik di film ini bahwa kata “Indonesia” sudah digunakan pada kesempatan ini. Namun penulis juga melihat bahwa ada hal lain yang cukup patut untuk diperhatikan yakni iklan film tersebut[8]. Dalam iklan itu tertulis : “Liat bagaimana bangsa Indonesia tjoekoep pinter maen di dalem film, tida koerang dari laen matjem film dari Europa atawa Amerika” (Lihat bagaimana bangsa Indonesia cukup pintar main di dalam film, tidak kurang dari lain macam film dari Eropa atau Amerika). Ada kesan yang ingin dibawa oleh film ini bahwa orang Indonesia nyatanya dalam waktu relatif singkat (jika mengawalinya pada film Loetoeng Kasaroeng) telah bisa berdiri sejajar dengan orang asing dalam konteks film –menciptakan sebuah kenyataan palsu.

Dari keterangan yang ada di buku Katalog Film Indonesia tercatat film-film lain hasil kerjasama Indonesia-Belanda ini, diantaranya De Stem Des Bloed/Njai Siti (1930), Karnadi Anemer Bangkong (1930), Atma De Vischer (1931), Karina’s Zelfopoffering (1932) dan sebagainya. Kerjasama kemudian juga terjadi antara Indonesia-Cina. Beberapa film yang akhirnya berhasil dibuat adalah Lily van Java (1928), Njai Dasima (1929), Rampok Preanger (1929), Si Tjonat (1929), Lari Ka Arab (1930), Melati van Agam I dan II (1930), Njai dasima II (1930), Nancy Bikin Pembalasan/Njai Dasima III (1930), Si Ronda (1930), Boenga Roos dari Tjikembang (1931), Indonesia Malaise (1931), Sam Pek Eng Tay (1931) dan sebagainya.

Lalu bagaimana menggambarkan posisi “Indonesia”? Dalam film-film kerjasama Indonesia-Belanda ataupun Indonesia-Cina -yang berarti juga film-film awal yang diproduksi di Indonesia- nampak jelas bahwa orang-orang Indonesia hanya diposisikan sebagai penonton, ataupun mengambil kisah-kisahnya yang kemudian mengangkatnya dalam cerita-cerita yang ada dalam sub masyarakat Indonesia. Seperti Kruger yang memilih cerita dalam film-filmnya berdasarkan sesuatu yang dekat dengan orang-orang pribumi (Indonesia), menitikberatkan pada pengungkapan segi etnografik. Oleh karenanya dalam filmnya itu dimasukkan rekaman upacara adat daerah di Indonesia. Begitupun bagi pembuat film Cina yang mengejar potensi penonton pribumi. Tan Koen Yauw (Tan’s Film, yang mulai berproduksi tahun 1929) mengatakan bahwa tujuan perusahaannya bukan untuk membuat film agar disukai penonton Cina atau Eropa, melainkan untuk bisa menarik perhatian penonton-penonton Boemiputera dari klas moerah (murah). Bahkan para pembuat film asing itu kerap hanya menempatkan Indonesia dalam posisi eksploitasi, benar-benar memperlakukannya sebagai tanah jajahannya. Kwee Tek Hoay, seorang penulis, mengatakan bahwa film-film buatan Belanda yang dibuatkan teksnya dalam bahasa Belanda memang sebenarnya bukan untuk dimengerti penonton Indonesia ataupun Cina karena film ini justru untuk pasar penonton Eropa ataupun Amerika. Hal inilah yang menimbulkan dugaan bahwa potensi-potensi kultural di Indonesia menjadi bagian eksploitasi semata bagi upaya para pembuat film Belanda membawa film-filmnya dalam level internasional.

Dalam buku Usmar Ismail, Mengupas Film tertulis :

Saerun, seorang wartawan yang terkemuka pada saat itu adalah orang pertama dalam pembikinan cerita film. Kemudian datang Anjar Asmara yang pada waktu itu juga wartawan dan telah meninggalkan dunia sandiwara. Lalu berturut-turut Arifin, Suska, Inu Perbatasari, ketiga-tiganya wartawan tetapi tidak asing lagi di atas panggung sandiwara Dapat dikatakan dengan masuknya tokoh-tokoh ini ke dalam dunia film, orang Indonesia mulai turut memegang peranan dalam proses pembuatan film, meskipun perusahaan-perusahaan seuruhnya masih di tangan bangsa Tionghoa (Siahaan, 1983:55)

Andjar yang dahulunya dikenal sebagai pemimpin majalah Doenia Film dan kemudian bergabung dalam pertunjukan panggung, tepatnya sebagai pengarang cerita pertunjukan, pada kelompok Darnadella pimpinan A. Piedro pada November 1930. Keputusannya untuk hijrah, mengikuti eksodus besar-besaran orang panggung pertunjukan ke dunia pembuatan film, karena terjadi fenomena sukses film melalui film Terang Boelan (1938). Pengetahuannya dalam film konon karena ia seringkali mengunjungi teman-temannya yang duduk dalam organisasi Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan). Karena itulah ia bersama dengan H.B. Jasin dan juga Rosihan Anwar dengan leluasa bisa masuk ke perpustakaan yang banyak mengoleksi buku-buku film hasil rampasan dari Belanda. Keuntungan ini nantinya sangat berguna, termasuk menjadi bahan dalam bertukar pikiran dalam diskusi-diskusi yang dilakukan di rumah Usmar. Di film ini Andjar berhasil melahirkan “citra” baru dalam tontonan film di Indonesia yakni diperkenalkannya pasangan pemain Rd. Mochtar dan Roekiah. Gayus Siagiaan menyebutnya sebagai love team layar putih. Bisa jadi “sistem kebintangan –star system” sedang dilahirkan disini.

Konon komposisi duet ini merupakan resep sukses film Terang Boelan, yang dikemudian hari banyak bermunculan film-film menggunakan resep duet serupa seperti film Alang-Alang (1939) yang memasangkan Moh. Mochtar dan Hadidjah. Menurut sutradara Terang Boelan –Albert Balink- bahwa Rd. Mochtar merupakan orang pribumi yang layak menjadi bintang film, dengan prasyaratnya yang sudah terpenuhi, tinggi besar(?!). Sungguh sangat paradoks bahwa keadaan ini tidak membantu sama sekali posisi pemain-pemain pribumi secara baik dalam perfilman di Indonesia kala itu karena pernyataan tersebut jelas-jelas hanya menjadi semacam upaya personifikasi fisik “Eropa” melalui sosok Rd. Mochtar. Termasuk sosok Roekiah yang disebutkan sangat identik dengan bintang Hollywood –Dorothy Lamour –glamour girl.

Kehadiran Anjar dan teman-temannya di film ternyata juga masih menyisakan keraguan akan peran orang Indonesia dalam pembuatan film di Indonesia. Kehadiran mereka ternyata tidak serta merta menjadikan penentu kreatif terhadap film-film yang dibuatnya. Mengenai film-film yang dibuat oleh orang Indonesia seperti Air Mata Mengalir di Tjitarum (Rustam St Palindih-1948) dan Andjar Asmara, Djauh di Mata (1948), Usmar Ismail menulis (yang tercantum dalam buku Salim Said, Profil Indonesia, 1989) :

Sebenarnya baik Rustam maupun Andjar adalah adalah dari satu sekolah, tjuma pada Roestam tampak lebih njata pengaruh Tionghoa, sedang Andjar tidak bebas karena pengaruh produser Belanda.

Dalam buku yang sama, dicatat oleh Armijn Pane :

Djuga Andjar Asmara pada realitetnja hanja mendjadi memegang pimpinan permainannja sadja, sedang regie sebenernja dipegang oleh pihak djuru kamera, merangkap pimpinan produksi, jaitu orang Belanda

Artinya bahwa masuknya orang-orang Indonesia ini dalam dunia film pada tahun 1940-an memang belum sepenuhnya bisa dikatakan sebagai penentu atau pengambil keputusan secara kreatif artistik  terhadap film yang akan dibuat.

Namun peran besar Andjar adalah mengkonstuksi pandangan akan posisi-posisi orang Indonesia yang menjadi sama pentingnya dengan pembuat film dari luar. Dalam iklan film Njai Dasima tercantum kalimat : Semoa (semua –penulis) Rol Dipegang oleh Bangsa Indonesia Sendiri. Terlihat bahwa pada masa-masa ini lebih kepada upaya meyakinkan orang-orang akan peran Indonesia dalam film melalui upaya komunikasi media –Andjar, melalui teks di iklan film maupun tulisannya di media yang banyak sekali menulis tentang perusahaan film Tan’s Film yang mulai disebutnya banyak memanfaatkan peran-peran orang Indonesia.

Usmar Ismail, yang mulai masuk dunia film melalui dunia teater (panggung) yang selama ini ia geluti juga banyak berhutang jasa pada Andjar Asmara. Bersama teman-temannya ia mendirikan grup sandiwara bernama Maya. Dalam daftar Riwayat Hidup yang ditandatanganinya sendiri, Usmar Ismail juga tercatat sebagai tentara berpangkat Mayor TNI. Kemudian ia mendirikan koran Patriot. Dan tahun 1947 ia terpilih sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.

Bermula dari diskusi-diskusi tentang film yang dilakukan di rumah Usmar, jalan Sumbing No.5 Yogyakarta dan juga kekagumannya pada orang-orang Jepang (yang datang ke Indonesia tahun 1942 dengan misi “membebaskan” negara-negara asia dari penjajahan Barat) yang paham betul bagaimana memanfaatkan media film sebagai perangkat propaganda, maka ketertarikan Usmar pada dunia film dimulai. Bahkan Jepang punya peran besar dalam tumbuhnya kegiatan kesenian (film) dengan dibentuknya Pusat Kebudayaan (dalam bahasa Jepang dinamakan Keimin Bunka Sidhoso –Pusat Pendidikan Populer dan Pengembangan Kebudayaan) di Jakarta April tahun 1943, yang beberapa tugasnya adalah mengembangkan kebudayaan tradisi Indonesia dan mendidik dan melatih seniman Indonesia. Profesor Kenichi Goto, Guru Besar Universitas Waseda, yang dikutip oleh Rosihan Anwar bahkan melukiskan hubungan Indonesia-Jepang ini sebagai :

Hoeboengan antara Djepang-Indonesia pada periode 1942-1945 ibarat doea orang sahabat jang begitu intim tidoer satu randjang, dan bermimpi tentang doea hal jang sangat berbeda.

 

Usmar mengawali kegiatannya di dunia film sebagai asisten sutradara Andjar Asmara di SPFC. Selanjutnya ia dipercaya penuh untuk menjadi sutradara pada perusahaan yang sama. Dari tangannya lahir 2 (dua) film, Harta Karun (1949) dan Tjitra (1949), sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membuat film dari perusahaan sendiri (baca : Indonesia), karena alasan yang sudah dijelaskan pada tulisan diatas.

***

Kalau mau mengacu pada sebuah teori (Jinhee Choi) dalam artikelnya National Cinema, the Very Idea, maka ada paradoks terhadap klaim terhadap kelahiran perfilman Indonesia. Pendekatan yang digunakan Choi akan memperlihatkan banyak yang bisa dipertimbangkan.

Film Darah dan Do’a menjadi satu pertimbangan penting ketika dengan jelas menyajikan “Indonesia” secara utuh –pemain, orang pembuat, perusahaan (Perfini), kisah, latarbelakang tempat dan sebagainya. Pertimbangan “teritori” ala Choi bisa dikatakan terpenuhi, sehingga kemudian klaim akan perfilman nasional dimulai disini juga akhirnya terpenuhi juga. Namun klaim itu juga dengan mudahnya akan pudar ketika film itu digali lebih jauh. Konsep neorealisme[9] yang diusung Usmar Ismail sebenarnya serta-merta mendekatkan filmnya dari “koreksi ulang” sebagai tonggak perfilman nasional. Bisa disimak ketika ia menginginkan muka-muka baru (dalam film ini -penulis) dengan bakat-bakat yang segar. Mengenai konsep neorealisme ini juga diakui oleh D. Djajakusuma bahwa Usmar Ismail memang sangat terinspirasi oleh kelompok neorealisme yang lahir setelah perang dunia II. Apa yang dilakukannya (konsep neorealisme) ternyata tidak lebih berbeda dengan konsep-konsep film yang sudah ada sebelumnya. Sama halnya seperti “gelar” sutradara Andjar Asmara dimana jabatannya itu tidak lebih berkuasa atas film yang dibuat itu. Ini menjadi sebuah pertanyaan besar akan konsep perfilman nasional yang terhubungkan dengan auteurs. Identitas “nasional” seperti apa, karena nyatanya Usmar sesungguhnya tidaklah khas sebagai pembuat –tidak menawarkan sesuatu yang baru, dalam arti bahwa “karakter” yang dianut dalam film itu tenyata tidak membedakan.

Jika Belanda, yang disebut sebagai “penjajah”, ataupun Cina/Tionghoa, yang disebut sebagai “tamu” hampir tidak mendapat tempat dalam penobatan sinema nasional Indonesia, maka Loetoeng Kasaroeng sebenarnya patut menjadi perhatian juga. Dalam upaya menunjukkan tentang identitas nasional, maka film ini kentara akan penunjukkan itu, paling tidak identitas suku bangsa Sunda –yang secara teritori berada dalam batas wilayah Indonesia. Memang syarat-syarat teritori yang diajukan Choi disatu sisi tidak terpenuhi, tapi upaya menunjukkan fungsinya, -dalam sisi lainnya- sebagai identitas (khas) yang dikandung bangsa Indonesia, rasanya masih bisa diterima –minimal sebagai konsep yang bisa diolah untuk memahami tentang perfilman nasional. Begitu pula dengan model kerjasama nasional-transnasional. Dalam pengertian Choi, bahwa konsep perfilman nasional bukan lagi membicarakan antara apakah film yang “nasional” atau apakah film yang “transnasional”, tapi bagaimana secara tekstual film itu menawarkan identitas nasionalnya. Mengenali konsep perfilman nasional justru melebihi sekedar label-label yang tertempel pada sistem produksinya –nasional atau transnasional-, tapi bagaimana relasi atau hubungan antara film yang dibuat dengan sejarah nasionalnya, yang tentunya bisa-tidak menunjukkan identitas nasionalnya. Model kerjasama ini bisa menjadi satu contoh penggambaran bagaimana negara memandang sesuatu yang bernama “film Indonesia” melalui jabarannya pada pedoman kegiatan festival di Indonesia, yang akan dijabarkan pada tulisan ini kemudian, yang ternyata telah menghilangkan batas-batas nasional – bukan nasional, bagi sahnya cap film nasional (Indonesia). Bahkan apa yang dilakukan oleh Andjar terhadap wacana “nasional” lewat tulisan-tulisan filmnya semestinya patut dipertimbangkan pula perannya akan tergagasnya sinema nasional.

Namun kegigihan Usmar Ismail-lah yang terus menerus mengusung semangat kelahiran “perfilman Indonesia” –selain legitimasi yang diterimanya, seakan menariknya menjadi bagian takterpisahkan dari kelahiran perfilman nasional, termasuk mendirikan Perusahaan Film orang Indonesia untuk kali pertama, bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) yang menjadi perusahaan film bagi pembuatan Darah dan Do’a.

***

Ada hal yang harus disampaikan, bahwa konsep perfilman nasional yang terus menerus digulirkan, dilegitimasi, dikonstruksi semenjak hulu sampai hilir sejarah perjalanan perfilman Indonesia, lambat laun ternyata menjadi pudar. Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Festival Film Indonesia 2010 –yang dibuat oleh negara (penting untuk menegaskan kata Indonesia), dalam Bab II Pasal 1 tentang Persyaratan Pendaftaran Film Peserta, angka 1 menyebutkan :

Diproduksi oleh Perusahaan Film Indonesia atau Badan Hukum Indonesia lainnya, secara sendiri atau bekerjasama antar Perusahaan/Badan Hukum Indonesia, atau bekerjasama dengan Perusahaan/Badan Hukum asing ;

dan angka 3 yang menyebutkan :

Disutradarai oleh warga negara Indonesia, yang dibuktikan dengan melampirkan salinan KTP/SIM/Paspor/Kartu identitas resmi lainnya seperti Kartu Pelajar untuk peserta yang masih duduk di sekolah menengah.

Memang dalam Undang-Undang, antara setiap Bab, Pasal, Ayat saling terkait dan saling menjelaskan untuk menguatkan. Namun kita bisa menarik sebuah kalimat bahwa melalui campur tangan negara justru pengertian perfilman nasional (Indonesia) saat ini tidak semakin menjelaskan konsepnya, malahan semakin merancukannya. Hal ini tanpa disadari bahwa upaya pelegitimasian yang terus menerus itu, atas nama perintis perfilman nasional, bisa menjadi semakin tergugat.

Begitu juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman. Dalam Pasal l0 ayat 2 tertulis :

Pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib mengutamakan penggunaan sumber daya dalam negeri secara optimal.

 

Dalam penjelasan pasal demi pasal tertulis :

Yang dimaksud dengan “sumber daya dalam negeri” meliputi insan perfilman, alam, bahan dan/atau produk, jasa, peralatan, fasilitas, dan kekayaan budaya bangsa yang tersedia di Indonesia.

 

Kenyataan ini memperlihatkan betapa pemerintah pun tidak sanggup untuk menerapkan, bahkan mendefinisikan konsep perfilman nasional secara tepat. Pengertian tersedia (di Indonesia) akhirnya menjadi sangat luas penafsirannya karena prinsip-prinsip perfilman nasional yang didasarkan pada hukum teritori semakin terlanggar karena yang terjadi justru setiap orang (insan perfilman) yang berada di Indonesia juga menjadi bagian dari sumber daya tersebut, tanpa terbedakan lagi atas status kewarganegaraannya lagi. Padahal ini menjadi satu hal yang begitu diagungkan pada film Usmar Ismail, Darah dan Do’a sebagai tonggak perfilman nasional. Sepotong kalimat dalam undang-undang ini seakan membuka wacana baru akan konsep perfilman nasional Indonesia, yang bisa menjadi klaim baru bagi film-film yang lahir sebelum film Usmar, seperti Loetoeng Kasaroeng misalnya.

Terlihatlah betapa sulit merumuskan konsep perfilman nasional Indonesia, sesulit menjaga legitimasi akan konsep perfilman nasional itu yang sudah terlanjur terusung –bahwa semuanya harus “Indonesia”.


[1] Tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999, yang kala itu dijabat oleh Presiden BJ. Habibie. Tepatnya ditandatangani tanggal 29 Maret 1999 di Jakarta. Jauh sebelumnya, rapat kerja Dewan Film Nasional dengan organisasi-organisasi perfilman tanggal 11 Oktober 1962 telah menetapkan hari syuting dalam permbuatan film nasional yang pertama Darah dan Do’a (the Long March) sebagai Hari Film Indonesia.

[2] Disebutkan bahwa tempat putar yang dimaksud adalah Istana Merdeka yang baru beberapa bulan ditempatinya (JE. Siahaan, H. Usmar Ismail Mengupas Film, Jakarta : Sinar Harapan, 1983), Hal.164.

[3] Termuat di Majalah Aneka N0.13 Th.I, 1 September 1950, Hal.16

[4] Sebagian mengutip dari buku Katalog Film Indonesia 1926-2007 (Kristanto, 2007:15)

[5] Sumber diambil dari buku Taufik Abdullah dkk, Film Indonesia Bagian I (Jakarta : DFN, 1993), Hal.50

[6] Sumber data : HM Johan Tjasmadi, 100 tahun bioskop di Indonesia 1900-2000 (Bandung : MTS, 2008).

[7] Berdasarkan buku Gayus Siagian (Sejarah Film Indonesia, 2010:20-24) bahkan disebutkan juga bahwa pembuatan film ini kemungkinan melibatkan F. Carli, yang dibuat tahun 1928. Bahkan menurut Armyn Pane, film itu dibuat tahun 1927. Sementara menurut R.M. Soetarto F. Carli justru disebutkan sebagai pembuatnya (yang termuat dalam Almanac Pers “Antara” 1976).

[8] Potongan selebaran iklan itu bisa dilihat di dalam buku Sejarah Film 1900-1950 (Biran, 2009:74).

[9] Dalam buku Understanding Movies, 7th edition (Louis Giannetti, 1996:513), konsep neorealisme (yang dilakukan Usmar) disebutnya dengan pengertian nonprofessional actors.

Kabar lain juga menyebutkan bahwa pemilihan pemain di film Darah dan Do’a itu didasarkan pada keterbatasan dana, termasuk dengan hanya menggunakan 5 kru saja (Sumber : Berkas Memperingati Perfini Sewindu 1950-1958).

 

(Dimuat dalam Majalah Moviegoers edisi 005/2011 dan pernah diseminarkan di IKJ pada Mei 2015)

Tinggalkan komentar