LOETOENG KASAROENG : WIRANATAKUSUMAH V PELETAK DASAR FILM TRANS-NASIONAL

Posted: 29 September 2016 in Budaya, Film

Dikerjakan bersama : Arda Muhlisiun dan RB Armantono

 

 

Abstrak

 

Kata kunci : Loetoeng Kasaroeng, Wiranatakusumah V, film trans-nasional

Keyword: Loetoeng Kasaroeng, Wiranatakusumah V,trans-national film

 

Dalam sejarah lahirnya perfilman di Indonesia (Hindia Belanda kala itu), ada beberapa tonggak peristiwa penting yang bisa menjadi dasar bagi perkembangan perfilman Indonesia sampai saat sekarang ini. Yang pertama adalah tahun 1900 ketika untuk pertama kalinya orang-orang di Hindia Belanda diperkenalkan pada sebuah tontonan barubernama ‘film’ – gambar idoep. Disinilah apresiasi menonton film bagi masyarakat mulai terbentuk. Melalui sebuah iklan dari De Nederlandsche Bioscope Maatschappij yang tertera dalam surat kabar Bintang Betawi (4 Desember 1900) yang tertulis, “…besok hari Rebo 5 Desember PERTOENDJOEKAN BESAR JANG PERTAMA di dalam satoe roemah di Tanah Abang Kebondjae (MANEGE) moelain poekoel TOEDJOE malem…”, masyarakat (khususnya yang berada di Batavia – Betawi) dipertontonkan sajian film “dokumenter” tentang gambaran kehidupan di Eropa dan Afrika Selatan. Juga ditampilkan gambar Sri Baginda Maharatu Belanda bersamaYang Mulia Hertog Henrik ketika memasuki kota Den Haag.

loetoeng iklan e.jpg

Sumber : Sinematek Indonesia

Peristiwa yang kedua adalah tahun 1926 ketika film cerita pertama kali dibuat di Indonesia yang berjudul Loetoeng Kasaroeng. Yang ketiga adalah film Darah dan Doa (the Long March of Siliwangi) (1950) karya Usmar Ismail, sebagai film yang dianggap sebagai gagasan awal film nasional. Tanggal pengambilan gambar (syuting) hari pertama dalam film ini (bertempat di Subang Jawa Barat) pada tanggal 30 Maret 1950 akhirnya ditetapkan sebagai Hari Film Nasional sehubungan dengan ditandatanganinya UU Perfilman oleh Presiden Soeharto pada 30 Maret 1992. Kemudian diperkuat oleh Keppres No.25, yang dikeluarkan BJ Habibie pada 29 Maret 1999.

Awal film dipertunjukkan di Indonesia (Batavia) tahun 1900 tidak dilakukan pada gedung khusus yang dipersiapkan untuk menonton film (bioskop) karena memang waktu itu belum ada gedung bioskop yang dibangun. Sajiannya adalah film-film dokumenter yang dibuat oleh orang-orang Belanda maupun Eropa, dengan harga tiket yang lumayan mahal. Bahkan penontonnya juga lebih banyak dari kalangan orang Eropa tersebut. Film menjadi semacam “barang baru” yang sangat menarik minat khalayak luas untuk melihatnya. Akan tetapi, kekaguman  orang-orang Belanda kelas atas, yang  mampu membeli karcis mahal itu lama kelamaan cepat menjadi bosan karena film-film yang diputar hanyalah film-film dokumeter yang sering diulang-ulang. Akibatnya jumlah penonton mulai. Akhirnya, pada tahun 1905 diusahakanlah  pertunjukkan film di lapangan terbuka, yang dipungut dari penonton umum dengan harga karcis jauh lebih murah.

Inilah titik tolak dibangunnya gedung bioskop The Royal Bioscope pada tahun 1903, yang pada awalnya lebih ditujukan untuk memenuhi selera dan cita rasa tinggi kalangan elit penduduk Hindia Belanda di Batavia. Peristiwa pecahnya Perang Dunia Pertama di Eropa pada tahun 1911-1914 akhirnya berdampak pada perekonomian di Hindia Belanda masa itu. Selama Perang Dunia Pertama berkecamuk, banyak gedung bioskop  yang telah  dibangun di kota-kota besar Hindia Belanda, yang sebagian besar dimiliki oleh orang-orang Eropa, menjadi gulung tikar. Kondisi ini sebetulnya juga diperparah dengan mulai adanya pajak impor film sejak 1926, serta tuntutan dilengkapinya perangkat sound system yang baru (karena waktu itu film-film yang beredar sudah dilengkapi dengan suara). Banyak operator bioskop Eropa kemudian yang bangkrut karena tak mampu membayar pajak impor dan membeli peralatan sound system yang memadai. Ketika para pengusaha bioskop Eropa semakin lesu, para pengusaha Cina justru mulai merambah ke dalam bisnis film.  Mereka mengambil alih bisnis distribusi dan eksibisi film dengan memutar film-film produksi Shanghai.

Alasan orang-orang Cina kaya mendirikan bisokop tersebut adalah demi membangun citra dan gengsi sebagai orang terpandang di lingkungannya dan demi kepentingan lain yang lebih menguntungkan. Terbukti bahwa banyak undangan gratis dari pengusaha bioskop Cina itu untuk para relasi bisnisnya yang merupakan orang-orang pejabat tinggi yang memiliki pengaruh penting di Batavia.

Lambat laun perkembangan bioskop semakin besar. Sekedar catatan, pada tahun 1936 telah berdiri 222 gedung bioskop di seluruh wilayah Hindia Belanda, dimana sebanyak 17 gedung biokop berada di Kota Batavia. Film yang diputar juga sudah lebih variatif, antara lain film India, film Jerman dan film Amerika (Hollywood).

Ketika minat penonton sudah terbentuk terhadap film, maka para pengusaha film Hindia Belanda mulai berminat untuk memproduksi film cerita yang ditujukan bagi penonton kelas menengah dan kelas bawah. Maka pada tahun 1926 dibuatlah film Loetoeng Kasaroeng, sebuah cerita yang diangkat dari legenda rakyat Jawa Barat, yaitu cerita lutung kasarung. Produksi ini bekerjasama dengan Bupati Bandung bernama Wiranatakusumah V, terutama dalam dukungan biaya produksi.

Berbicara gagasan film Indonesia, film Loetoeng Kasaroeng sebenarnya juga patut mendapatkan perhatian dalam meneropong kerangka identitas film nasional. Kehadiran orang “Indonesia” dalam film itu mulai berada dalam posisi yang “aktif” –karena sebelumnya orang-orang Indonesia hanya ditempatkan sebagai penonton maupun sebagai “barang tontonan” dalam film, terutama film-film dokumenter yang dibuat oleh orang-orang Belanda.

Mengikuti sejarahnya, sampai tahun 1926, seluruh film yang dipertunjukkan di Indonesia hanyalah film-film yang diimpor dari luar negeri. Keadaan itu membuat seorang Indo-Belanda G. Kruger (Batavia) bersama dengan L. Heuveldorp (Bandung) membuat film Loetoeng Kasaroeng, yang mencoba menampilkan film cerita tentang legenda terkenal di Jawa Barat, Indonesia. Kruger bertugas menangani bidang kamera dan proses pencucian film. Sementara Heuveldorp merupakan direktur perusahaan bernama Java Film Company. Konon disebutkan bahwa dia telah bertahun-tahun memiliki pengalaman di Amerika dalam penyutradaraan film. Memang banyak kontroversi terhadap film ini, seputar siapa pembuatnya dan tahun produksinya. Yang pasti film ini bisa dikatakan sebagai film kerjasama model trans-nasional pertama di Indonesia karena didalamnya terjalin kerjasama antara orang-orang Indonesia dengan orang asing (Belanda). Pemain-pemainnya juga berasal dari Indonesia, diantaranya Martonana dan Oemar.

Posisi aktif orang Indonesia dalam produksi film terutama direpresentasikan melalui peran Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah V yang memberi dukungan dengan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk memproduksi film tersebut. Dalam produksi ini juga melibatkan orang-orang Indo-Bandung sebagai penghubung komunikasi antara orang-orang asing dan orang Indonesia. Ada juga Raden Kartabrata yang diserahkan untuk memimpin para pemain, khususnya dari golongan priyayi. Lokasi pengambilan gambarnya berada di wilayah Bukit Karang, dua kilometer dari Kota Padalarang, Jawa Barat.

Semenjak film Loetoeng Kasaroeng ini dibuat, maka selanjutnya produksi kerjasama Indonesia-Belanda semakin banyak dilakukan. Salah satunya Eulis Atjih (1927). Menurut Misbach Yusa Biran ada hal menarik di film ini bahwa kata “Indonesia” sudah digunakan pada kesempatan ini.

Memang ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa film Eulis Atjih maupun Lily van Java dianggap sebagai film cerita yang pertama diproduksi di Hindia Belanda. Namun karena ketiadaan data penunjang yang otentik maka pendapat tersebut menjadi kabur. Berbeda dengan Loetoeng Kasaroeng, dengan ditunjang data yang ada maka peran Misbach Yusa Biran, terutama melalui tulisan-tulisan dalam bukunya, kehadiran film Loetoeng Kasaroeng dalam sejarah film cerita pertama di Hindia Belanda menjadi satu pendapat yang sampai saat ini terus menerus menjadi referensi banyak orang. Namun jika dilacak melalui catatan, menurut Misbach Yusa Biran perbedaan persepsi terhadap film cerita pertama kemungkinan karena Loetoeng Kasaroeng memang tidak didistribusikan sampai daerah lain sehingga ketika Eulis Atjihyang distribusinya agak sedikit meluas ke daerah, maka orang seringkali menganggap ini sebagai film cerita pertama yang dimainkan oleh orang-orang pribumi.

Kelahiran film Loetoeng Kasaroeng memang tidak bisa dilepaskan dari “campur-tangan” Wiranatakusumah V. Bupati Bandung (periode tahun 1920-1931 dan 1935-1945) yang juga pernah menjadi Menteri Dalam Negeri pertama di Negara Indonesia dan Ketua Sedio Moelio (Asosiasi Bupati se-Hindia Belanda) ini sangat mencintai bentuk-bentuk dan praktek-praktek kesenian, terutama orientasinya untuk membangkitkan sekaligus memelihara kecintaan masyarakat Sunda terhadap kebudayaannya sendiri.

Ketika ia baru memulai periode jabatan sebagai Bupati Bandung, hasrat untuk mengembalikan ingatan masyarakatnya akan kesenian Sunda dipicu ketika ia terlibat dalam pertemuan-pertemuan yang didalamnya diisi dengan berbagai pertunjukan kesenian seperti Wayang Orang dan tari-tarian Serimpi. Hasrat itu kemudian ia wujudkan dengan mengadakan, sekaligus memberikan biaya besar bagi pagelaran cerita “Lutung Kasarung” pada Kongres Jawa (Java Congres) di Bandung tahun 1921.Pemilihan cerita ini ia lakukan agar peserta kongres bisa mengenal kebudayaan dan kesenian spesifik Sunda. Hal ini dikemudian hari berdampak pada naiknya popularitas kesenian Sunda Lama, termasuk mulai tumbuhnya komunitas-komunitas musik Sunda, apresiasi orang terhadap alat musik kecapi dan suling juga semakin baik yang akhirnya turut pula melahirkan industri-industri alat musik Sunda.

Ini kemudian yang membuat Wiranatakusumah V semakin terpacu mengembangkan kesenian Sunda melalui medium kesenian lainnya yang lebih modern, yaitu dukungannya yang besar terhadap pembuatan film Loetoeng Kasaroeng. Bahkan sepupu dan para kemenakannya juga terlibat dalam film ini sebagai pemain. Meskipun mereka tidak memiliki bekal sebagai pemain film, namun terlihat ada motivasi kuat untuk membuktikan pada orang lain (Belanda), baik sebagai penonton film ini nantinya maupun para tim produksi yang berisi orang-orang (Indo) Belanda, bahwa masyarakat pribumi juga memiliki kemampuan dalam hal pemeranan (akting) dalam film sebagaimana yang pernah dilakukan oleh orang-orang asing.

Melalui berbagai hal diatas itulah nampak jelas bahwa semangat identitas yang terkonstruksi sebagai eksistensi intelektual pribumi (khususnya ke-Sunda-an) telah digagas dengan baik oleh lingkungan keluarga Wiranatakusumah V, khususnya sang Bupati sendiri. Dengan berbekal pengetahuan “Barat” (Snouck Hurgronje memiliki peran besar juga dalam membentuk karakter pengetahuan dalam diri Wiranatakusumah V), nyatanya Wiranatakusumah V tetap memiliki genetika kesadaran asalnya sebagai orang Sunda.

Dalam konteks kekinian, kita bisa menyebut bahwa apa yang dihasilkan dalam proses pembuatan film ini sebagai embrio film trans-nasional di Indonesia pertama, dan Wiranatakusumah V telah menjadi tokoh utamanya.Begitupun sebuah artikel dalam De Locomotief – Overzee editie yang terbit pada bulan September 1926 menyebut bahwa, “film ini, tonggak pertama dalam bidang industri sinema Hindia…”.

 

Daftar Bacaan

 

Abdullah, Taufik, Dr. et al., Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Jakarta : Dewan Film Nasional, 1993

 

De Locomotief, “Loetoeng Kasaroeng” dibuat film, Overzee edition, No.71, 2 s/d 4 September 1926

 

Iskandar, Eddy D., Bandung Tonggak Sejarah Film Indonesia, Pustaka Dasentra, 2006

 

Kristanto, JB., Katalog Film Indonesia 1926-2007, Jakarta : Penerbit Nalar, 2007

 

Tjasmadi, HM. Johan, 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000), Jakarta : Cinemags, Komunitas Bambu, Jakarta

Tinggalkan komentar