Peserta Kampanye Pemilu 2009 – dalam “Tanda”

Posted: 3 November 2011 in Budaya, Kota, Manusia

Menjelang Pemilu 2009 ini, semua partai-partai politik berlomba melakukan kampanye bagi partainya untuk saling berebut perhatian calon pemilih. Ada perubahan tren dalam teknik-teknik kampanye partai politik sepuluh tahun belakangan ini, terutama dalam dua Pemilu terakhir (2004 dan 2009). Pada Pemilu terdahulu yang hanya diikuti oleh tiga partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) lebih mengutamakan kampanye pengelolaan massa yang bersifat “pawai jalanan” dengan arak-arakan yang berlabel identitas-identitas partai (kaos, selebaran, bendera dan sebagainya dengan tiga ikon utamanya : warna partai, nomor urut partai dan lambang partai). Arak-arakan dan pawai jalanan tersebut akan bermuara pada titik-titik konsentrasi utama bagi para partai peserta, biasanya lapangan-lapangan besar yang diisi berbagai acara yang mengatasnamakan temu tokoh, orasi politik, atau berbagai dalih program acara lainnya. Untuk Pemilu 2009 kini yang diikuti oleh 34 partai politik lebih mengedepankan teknik visual campaign (kampanye melalui perantara jasa media –diantaranya iklan Televisi, program acara televisi dengan tema politik, program acara radio, billboard, banner, spanduk dan lain sebagainya, yang banyak berjejer disepanjang jalan). Yang paling diburu tentunya media elektronik –dalam hal ini Televisi, karena memang Televisi dianggap sebagai sebuah perangkat media yang sanggup menjangkau setiap sudut kota dan desa yang ada di Indonesia tanpa terelakkan.
Namun apakah strategi ini kemudian merupakan solusi yang tepat untuk menjangkau massa pemilih sebanyak-banyaknya? Bagaimana calon pemilih bisa memahami strategi kampanye (iklan) media dengan field of experience (latarbelakang pengalaman) yang berbeda dari setiap orang?
Kita coba tengok teknik-teknik kampanye Pemilu sebelum reformasi 1998 ketika masih diikuti oleh tiga partai itu. Strategi yang paling banyak dilakukan adalah dengan pawai dan pengumpulan massa, dimana semuanya hampir mengandalkan identitas lambang, warna dan angka partai (nomor urut partai). Yang terutama faktor “angka”. Meskipun angka-angka tersebut nantinya berfungsi sebagai brand image pada orientasi akhir keberpihakan pemilih partai saat pencoblosan kartu Pemilu, namun seringkali nomor-nomor tersebut juga dibangun dengan petunjuk pencitraan (sign of finger) pada sifat-sifat normatif yang lain. Dalam setiap kampanyenya, PPP dengan nomor urut 1 mempengaruhi massa dengan mengacung-acungkan “jari telunjuk” yang merujuk pada asosiasi sebagai “yang pertama”, “paling unggul” –pokoknya paling utama. “Jari-jari” kampanye Golkar dengan nomor 2 seringkali juga dirujuk pada simbol “peace” (jari telunjuk dan jari tengah) yang diterjemahkan sebagai perdamaian. Yang terakhir adalah PDI dengan nomor 3 yang seringkali diidentikkan dengan teknik “penjarian” untuk menciptakan lambang “metal” (jari jempol, jari telunjuk dan jari kelingking) yang pengertiannya sebagai grassroot –rakyat kelas bawah.
Memang tidak ada argumen yang bisa dikedepankan tentang seberapa efektifnya permainan “tanda tangan” ini bisa berhasil (karena nomor 2 selalu menang?!). Namun teknik permainan tanda ini diyakini berhasil mempengaruhi psikologis karena faktor kedekatan dan kemudahan mencerna tanda-tanda ini bagi setiap orang, ditambah juga karena memang perhatian pemilih kala itu hanya berurusan pada sembilan hal saja : angka 1-hijau-Ka’bah-angka 2-kuning-pohon beringin padi kapas-angka 3-merah-kepala banteng, tergantung seberapa dekatnya pemilih “membaca” tanda-tanda tersebut. Teknik ini juga begitu berhasil karena memang selama bertahun-tahun hampir tidak ada perubahan kepemilikan angka, warna dan lambang yang menunjuk pada setiap partai itu sehingga tanda-tanda tersebut menjadi identifikasi statis yang paling utama dalam “menjual” partai.
Bandingkan dengan model kampanye saat ini dimana setiap partai hampir tidak lagi melakukan model kampanye “jalanan” dan permainan tanda seperti halnya Pemilu tempo doeloe. Dengan sebegitu banyaknya partai yang ikut sebagai kontestan Pemilu 2009 ini, mungkin bisa dibayangkan bahwa hampir setiap hari jalan-jalan di Indonesia akan diisi oleh hingar-bingar kendaraan dan atribut-atribut yang berwarna-warni. Begitupun dalam mengelola tanda-tanda ke-partai-an. Dengan banyaknya partai peserta tentu akan sulit menerobos masyarakat dengan banyaknya warna yang sama dan lambang yang juga nyaris serupa bagi beberapa partai untuk diterima memori masyarakat.
Saat ini model kampanye lebih diutamakan dengan memanfaatkan jasa media. Pemanfaatan media yang dianggap paling mujarab adalah dengan membuat kampanye di televisi, baik dalam bentuk iklan maupun program televisi dengan konsep yang lebih mengedepankan intelektualitas partai, semacam talkshow, debat partai, wawancara dan program acara politik lainnya. Televisi menjadi primadona karena dianggap memiliki jangkauan paling luas bagi publik dalam memperoleh informasi –terlepas apakah penonton menjadi terdominasi atau tidak. Bagi masyarakat (calon pemilih), sekalipun merasa “paham” dengan suatu partai politik tertentu, keberadaan televisi itu disekitarnya tidak terelakkan, yang artinya juga bahwa dirinya menjadi tidak terbatasi untuk menonton iklan kampanye dari partai politik lain.

Dengan “kebebasan” menjelajah ruang dan waktu yang dianut oleh televisi, maka perubahan besar yang terjadi dalam menerapkan konsep kampanye dari waktu ke waktu bukan saja sekedar memperkenalkan tanda-tanda partai yang dianggap umum kepada calon pemilih –seperti halnya yang terjadi pada Pemilu sebelumnya. Tanda-tanda itu semakin banyak yang bisa disampaikan karena begitu luasnya “lahan” yang bisa disediakan media televisi bagi penyampaian aspirasi tanda partai dalam berkampanye. Bahkan tiga tanda umum yang telah disebutkan diatas bisa menjadi tidak berarti sama sekali karena faktor kemiripan warna dan lambang yang sangat mencolok dan angka-angka partai yang “tidak abadi” bagi setiap partai era kini, sehingga akhirnya lahan yang tersedia bagi proyeksi penandaan akan semakin besar tempatnya.

Jika dalam kampanye pengelolaan massa proses ”perkenalan” partai begitu terbatas dalam teritori wilayah tertentu saja dan seringkali hanya dihadiri figur-figur politik kelas bawah, maka dengan karakter televisi yang sedemikian menjelajahnya kini setiap partai menciptakan teknik dengan memproduksi faktor figure for public dimana tokoh-tokoh partainya dipersonifikasikan sebagai representasi partainya. Faktor ini dianggap paling masuk akal untuk menjerat memori masyarakat melalui teknik personal branding terlebih dahulu sebelum akhirnya mendekatkan masyarakat pada identitas-identitas partai nantinya. Bahkan bukan hanya menghadirkan sekedar figur pendukung namun top figure, sebut saja Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat), Wiranto (Partai Hanura), Prabowo Subijanto (Partai Gerindra), Jusuf Kalla, Sultan Hamengku Buwono X, Akbar Tandjung, (Partai Golkar), Megawati Soekarnoputri (PDIP), Amien Rais atau Sutrisno Bachir (PAN), Gus Dur (PKB), Hidayat Nur Wahid (PKS), Yusril Ihza Mahendra (PBB) dan lain sebagainya.

Yang utama dari pemanfaatan tokoh politik di televisi bagi setiap partai itu tentunya adalah upaya mendekatkan partai kepada masyarakat dimana tokoh-tokoh partai itu dianggap “berbicara” langsung kepada calon pemilih tentang cita-cita dan orientasi partainya jika berhasil memenangi Pemilu kelak. Perihal tagline, jika dalam iklan kampanye partai selalu diakhiri dengan tagline berupa jargon partai dengan teks-teks yang moralis –plus membuai dan menenangkan hati pemilih, barangkali itu hanya tuntutan skenario “beriklan yang baik” saja. Tagline sebenarnya justru adalah tokoh itu sendiri dengan segenap narasi yang mengelilinginya, karena bagaimanapun teks dalam tagline itu diciptakan sebagai penutup yang “akan selalu mengingatkan”. Artinya, setiap tokoh akan menampilkan dirinya sebagai “yang paling tidak bermasalah” terhadap masyarakat.
Untuk itulah dalam setiap tanda-tanda yang di-encoding seindah apapun, setiap partai politik tentu belum bisa mengklaim bahwa konsep-konsep kampanye tersebut telah berhasil membawa keberhasilannya beriklan partai karena keterbacaan tanda tersebut tentu akan dikembalikan lagi kepada proses decoding dari setiap pembaca. Yang paling penting bagi setiap partai politik tentunya adalah hasil akhir dari Pemilu 2009 itu nantinya –terlepas apakah tanda-tanda itu berhasil dimaknai dan diartikulasikan dengan benar atau tidak.

(Dimuat pada Majalah Gong edisi 108/X/2009)

Tinggalkan komentar