MAHASISWA HARUS MENULIS

Posted: 29 September 2016 in Sekolah

(Dari kisah Mantan Mahasiswa Program Pascasarjana IKJ yang lulus)

dbv5i7sK.png

Penulis adalah salah satu penerima Beasiswa Unggulan dari Biro PKLN Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2011 untuk program pascasarjana. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi sebagai penerima beasiswa itu adalah menulis artikel di jurnal (ilmiah, nasional, internasional –dengan status terakreditasi ataupun tidak) maupun pada majalah berskala nasional.

Begitupun, dalam Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Kemendikbud) tertanggal 27 Januari 2012 ada program yang mensyaratkan bahwa lulusan perguruan tinggi jenjang Sarjana (S-1) diharuskan membuat makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah, jenjang magister (S-2) harus diterbitkan di jurnal nasional dan jenjang doktor (S-3) harus menerbitkan makalahnya dalam jurnal internasional.

Beberapa menolak dicetuskannya program ini, termasuk diantaranya Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTSI). Alasannya jurnal yang terdapat di perguruan tinggi Indonesia masih sedikit jumlahnya. Selain itu mengaitkan antara kelulusan mahasiswa dengan publikasi makalah/artikel ilmiah dianggap kurang logis.

Pendapat penulis, bahwa pihak pemerintah sedang “memaksa” setiap mahasiswa untuk (bisa) menulis. Untuk SE DIKTI menjadi problem tersendiri karena jurnal (apalagi ilmiah) memiliki beban keilmuwan yang tentunya tidak ringan. Penulis pernah mengikuti semiloka dan lokakarya tentang jurnal ilmiah pada bulan Juli 2011 di Batu Malang yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Malang (Bulan Maret akan diadakan acara serupa, dengan tema, lokasi dan kepanitiaan yang sama juga). Betapa menulis makalah untuk sebuah jurnal perguruan tinggi memiliki tingkat kesulitan yang “amat” tinggi –karena beban akademik dan ilmiah yang mengiringinya. Sebagai contoh, setiap makalah untuk jurnal harus memiliki konten yang bermuatan pemikiran ataupun penelitian. Begitu juga dalam setiap makalah itu harus memiliki sistematika ketat –mencantumkan abstrak tulisan, kata kunci, pendahuluan, pembahasan, kesimpulan dan daftar pustaka. Bandingkan dengan artikel yang dimuat dalam majalah atau media cetak yang tidak perlu terbebani dengan tata cara penulisan yang ketat.

Namun, konsekuensi dari seroang mahasiswa selain belajar tentunya juga mampu menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan dengan kemampuan ilmiah –seperti yang tercantum dalam persyaratan dalam menulis jurnal misalnya. Ketakutan dari berbagai pihak akan ketidakmampuan mahasiswa calon lulusan perguruan tinggi dalam menulis semestinya tidak perlu menjadi sebuah permasalahan besar. Karena memang menjadi seorang sarjana, magister atau doktor adalah bukan sekedar menyandang gelar semata tapi juga mampu mengelola pemikirannya yang dituangkan melalui makalah yang dibuatnya. Dan ini menjadi satu dari beberapa bukti bahwa mahasiswa tersebut layak menyandang gelarnya. Dan publikasi ilmiah ini ke tengah publik tentunya sebagai ajang pembuktian pula bahwa mahasiswa ini bukan semata terluluskan oleh penguji internal perguruan tingginya, tapi telah teruji kelulusannya ditengah masyarakat banyak –dengan kata lain masyarakat adalah penguji sebenarnya, dan ini memiliki nilai objektifitas yang tinggi.

Jika tradisi menulis bagi mahasiswa bisa ditegakkan, jurnal perguruan tinggi akan bertumbuhan seiring kebutuhan bagi setiap mahasiswa untuk mempublikasikan pemikirannya. Tumbuhnya jurnal-jurnal perguruan tinggi, tentu menguntungkan perguruan tinggi bersangkutan, karena Tri Darma Perguruan Tinggi terpenuhi.

Abstrak

Film tidaklah selalu bersifat netral, oleh karenanya film sangat subyektif. Meskipun merupakan media yang mampu melakukan reproduksi atas realita melalui dukungan teknologi yang mengiringinya, namun apa yang dipilih untuk ditampilkan dalam frame sebuah film tetaplah pilihan dari pembuatnya. Ketika kode-kode kultural yang diciptakan para pembuat film dan dimasukkan dalam bingkai filmnya, sangat dimungkinkan terjadi “pelanggaran” atas konsensus dengan penontonnya sehingga proses encoding dan decoding mengalami hambatan. Begitupun, film tidak selamanya lahir dari gagasan yang berkembang dalam masyarakat umum, sehingga lahir film-film yang sifatnya sangat personal (kita kemudian mengenal terminologi mainstream dan sidestream). Untuk itulah kita bisa mengerti bahwa film sesungguhnya medium yang dibebani oleh manifestasi teknologi, komunikasi maupun seni.

Sebagai media yang berhadapan langsung dengan masyarakat, proses identifikasi atas teks sebuah film dimungkinkan terjadi pada penonton. Sehingga nilai-nilai yang menuntun kelahiran sebuah film tidak semata-mata didasari atas kebutuhan filmis semata, tapi bergerak melalui narasi dan wacana yang berlangsung dalam masyarakat. Akan menjadi persoalan ketika sebuah film diletakkan dalam konteks Negara Indonesia -dengan keberagamaannya- yang memiliki konsekuensi terjadinya keterbedaan cara memandang sebuah film. Dalam keberagaman itulah sebenarnya nilai-nilai kemanusiaan menjadi perekat yang mampu mengatasi perbedaan itu. Dengan kata lain, terjadi upaya me-manusia-kan manusia dengan segala batas perbedaan yang ada ; suku, ras, agama, bahasa, ideologi dan lainnya.

Namun perbedaan cara memandang itu tetaplah menghadirkan konsekuensi bahwa film akan memiliki pengertian yang berbeda-beda. Sehingga nilai kemanusiaan yang bisa dipandang dari sebuah film tetaplah memiliki kualitasnya masing-masing, yang satu bisa mewakili pandangan tentang nilai kemanusiaan dari perspektif minoritas terhadap wacana yang berlaku secara dominan, yang lainnya memandang nilai kemanusiaan dari dalam wacana yang dominan itu sendiri.

 

Kata kunci : Film dan Kemanusiaan, Film dan Minoritas, Film dan Wacana Dominan

 

 

Pendahuluan : Film dan Paradoks

Sebuah film -ketika sudah dilahirkan sebagai produk tontonan/dipertontonkan- akan menjadi sebuah paradoks. Dalam alur produksi menuju konsumsi sebuah film, ternyata -mau tidak mau- melewati titik dimana interpretasi terjadi, yang nilai subyektifitasnya sangat tinggi. Karena itulah maka sebuah film meskipun bersumber dari realita-realita, tetaplah berangkat dari cara pembuat film memandang realita itu. Sehingga disatu sisi film bisa mengalami penolakan, disisi lainnya film (yang sama –yang tertolak) bisa sangat meyakinkan. Ini bisa dimungkinkan karena film tidak sepenuhnya bisa berpihak pada segala sesuatu yang harus dituntut untuk selalu menghibur, tidak sepenuhnya bisa berhasil menjadi media pembawa aspirasi pesan moral yang dibutuhkan oleh masyarakat, tidak sepenuhnya bisa menjadi media yang mengandung nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, tidak pula mampu memenuhi semua prasyarat sinematografis yang tercantum dalam berbagai buku referensi teoritis cara membuat film. Termasuk tidak sepenuhnya mampu memenuhi aspek efektifitas komunikasi media ; bahwa setiap film bisa dipahami dan dimengerti dan diterima oleh semua penonton. Disimpulkan bahwa film tidak selamanya mampu memenuhi harapan penonton, yang bersifat kolektif, yang membawa beban kultural berbeda-beda ke depan layar film.

Untuk menggambarkan situasi paradoks yang dialami sebuah film, bisa ditemui dalam kutipan sebuah buku[1], yang tertulis :

“Film diterima sebagai media pengemban nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan, tetapi juga diborgol sebagai sumber kebejatan moral. Ia disebut sebagai guru atau pendidik yang baik, sekaligus dianggap sebagai penggoda nafsu yang licik”

 

Dari sini bisa dipahami bahwa hal itu bisa terjadi karena film ternyata tidak semata-mata sebagai medium pasif yang menjadi perantara antara realita yang dipahaminya (pembuat film) dengan pihak lain : masyarakat (penonton), sebagai bagian dari realita tersebut. Karena (pembuat) film -bagaimanapun juga- memiliki pertimbangan dan perhitungan ketika film akan dibuat ; misalkan pertimbangan artistik, pertimbangan sosiologi, pertimbangan ekonomi, pertimbangan ekspresi, pertimbangan teknologi dan lain sebagainya. Film dalam era saat ini telah menjadi medium aktif, antitesis dengan embrio film yang pernah dilahirkan di Paris, Perancis oleh Lumiere Bersaudara ataupun Thomas Alva Edison di Amerika Serikat : mengabarkan suatu kejadian.

 

Film : Antara Teknologi, Komunikasi, Seni

Di Indonesia, film sebagai subyek yang dipelajari di lingkungan akademis sebagai ilmu pengetahuan mengalami upaya legitimasi dari 3 (tiga) bidang ilmu ; teknologi, komunikasi, seni. Hal ini bisa terlihat ketika program studi film bisa bernaung dalam fakultas teknik, fakultas komunikasi, maupun fakultas seni. Masing-masing memiliki argumentasi bahwa dalam film terdapat unsur teknik, dalam film terdapat unsur komunikasi, dalam film terdapat unsur seni. Bahkan argumentasi ini bisa semakin berkembang, bahwa dalam film juga ada unsur sosiologis, unsur antropologis, unsur psikologis dan sebagainya. Untuk itulah kemudian studi kajian film (film studies) diterima oleh lingkungan akademis sebagai cara memandang dan membicarakan film tidak hanya sebagai film itu sendiri (tekstual), tapi film juga bisa dipandang dan dibicarakan dari luar teks itu.

Sejarah lahirnya film (dahulu disebut sebagai gambar bergerak –moving images) ditandai dengan diciptakannya teknologi alat perekam gambar. Lumiere bersaudara menciptakan cinematography, sebuah alat perekam sekaligus mampu memroyeksikan gambar hasil rekamannya itu. Sementara Thomas Alva Edison menemukan Kinetograph dan Kinetoscopeyang masing-masing berfungsi sebagai alat perekam gambar dan alat proyeksi gambar. Perkembangan teknologi film berkembang terus. Termasuk film yang awalnya hanya mampu dibuat dengan warna Hitam-Putih, kemudian mulai ditemukan metode pewarnaan melalui proses kimiawi dengan teknik tinting pada setiap frame[2]. Tujuannya agar semakin “meyakinkan” dan “mendekatkan” penonton atas realita yang sedang ditontonnya. Begitupula dengan teknologi suara yang mulai diperkenalkan dengan istilah sound-on-film, dimana akhirnya dalam strip bahan baku film tidak hanya mampu merekam gambar, tapi ada jalur khusus untuk merekam suara[3]. Sebelumnya film masih bersifat bisu (silent film). Adapun suara hanya bersifat pengiring yang dilakukan oleh sekelompok pemusik, bahkan sekelompok pemain orkestra pada saat film sedang diputar. Kehadiran suara dalam film, meskipun sempat menimbulkan persoalan besar, salahsatunya yang bagi para pemain (aktor-aktris) film di Hollywood, namun upaya ini tidak lepas -sekali lagi- agar menjadikan film semakin realis. Problem datangnya suara ini membuat para pemain film di Hollywood banyak yang alih profesi, bahkan ada yang sampai bunuh diri[4]. Hal ini karena tidak semua suara yang diperdengarkan dalam film mampu diterima penonton. Beberapa pemain ada yang bersuara nyaring, yang akhirnya menjadi bahan tertawaan penonton –setelah selama ini memuja wajah dan aktingnya. Bahkan beberapa pemain yang memiliki aksen “bukan” Amerika tidak lagi mendapat tempat sebagai idolanya. Penonton dan bintang film kesayangannya pada saat itu sempat melahirkan jarak. Namun Amerika tetaplah hegemonik. Sejak tahun 1937 film Amerika telah memberikan pengaruh pada film-film yang ada di Indonesia[5]. Meskipun kemudian beberapa negara -seperti beberapa negara Eropa- mulai menyadari “bahaya” film Amerika (Hollywood), dan melindungi negaranya dari ekspansi Hollywood tersebut.[6]

Proses perjalanan panjang film yang selalu bersinggungan dengan teknologi -bahkan sampai saat ini- menghadirkan satu argumentasi bahwa eksistensi perkembangan film juga tidak lepas dari faktor teknologi, dimana setiap teknologi yang terus berkembang juga turut melahirkan bahasa film yang berkembang, atau bisa juga dalam hubungan timbal balik.

Film-film yang dilahirkan dari alat temuan Lumiere Bersaudara maupun Edison diinterpretasikan penonton memang belum serumit yang kita temui dalam film-film yang dilahirkan dalam era saat ini. Tanpa ada interupsi, film menghadirkan gambar bergerak tanpa terputus –sejak kamera dinyalakan (switch on) sampai kamera dimatikan (switch off), disebut sebagai single-shot/lon-take. Penonton disajikan obyek-obyek yang bergerak dalam film dengan jarak yang statis -belum ada aspek mendekat atau menjauh. Nyaris tidak ditemui distorsi antara “mata” pembuat dengan “mata” penonton karena saat itu gambar bergerak hanya berlaku sebagai gambar bergerak ; para buruh keluar dari pabrik, dipahami sebagai para buruh keluar dari pabrik[7]. Tidak ada ruang untuk menginterpretasikan cerita lain. Dengan kata lain, kode-kode yang ditanamkan oleh pembuat (encode) mampu diterima sepenuhnya oleh penonton (decode).

Dari sana kemudian berkembang kreatifitas melalui upaya menciptakan dramatisasi sebuah film. Konsep editing, konsep naratif, konsep perspektif ruang obyek, konsep ukuran gambar mulai diterapkan. Konsep-konsep inilah yang menjadi kode-kode baru lagi bagi penonton. George Melies menjadi perumus awal konsep naratif dengan membuat sebuah film berjudul Trip to the Moon (1896). Ia menghadirkan unsur cerita dalam filmnya dengan membagi cerita ke dalam berbagai pengembangan karakter, menghadirkan berbagai latar tempat karakter beraksi maupun persoalan yang berbeda. Keadaan ini membuat penonton dihadapkan pada situasi baru, bahasa film yang baru. Dan ini bukannya tanpa resiko, karena bagaimanapun interpretasi berlaku “suka-suka” (arbitrer) sehingga setiap orang akan memiliki pemahamannya sendiri.

Inilah yang dalam ranah komunikasi seringkali diperbincangkan sebagai distribusi pesan, bahwa ketika sebuah pesan dikirim oleh si pembuat pesan (encode), sejauh mana pesan tersebut mampu diterima (decode). Menggunakan hipotesa dari Stuart Hall[8], proses decoding bisa melahirkan konsekuensi terhadap penonton : terdominasi (menerima makna dari teks), bernegosiasi (mengakui kebenaran makna, tetapi membuat aturan tersendiri menyangkut kenyataan dan keadaan yang dipahaminya), beroposisi (memahami teks dengan cara yang berlawanan). Ketika sebuah naratif film bergerak secara linear (seperti halnya kronologis kehidupan), kemudian atas campur tangan permainan logika diciptakan naratif non-linear (dalam film bisa diwujudkan dengan teknik editing melalui metode flashback, flashforward), maka proses penguraian kode (decoding) bagi makna menjadi lebih rumit. Namun penguraian kode-kode ini sangat tergantung seberapa dekat kerangka kultural yang dimiliki oleh penonton dan pembuatnya, karena setiap penonton dibentuk oleh latar belakang kultural yang berbeda. Disinilah dibutuhkan konsensus sebagai jembatan penghubung agar tercapai kesepahaman. Untuk regulasi sistem makna dan pembermaknaan inilah maka film bisa mendapatkan tempat dalam ilmu komunikasi.

Perkenalan film (gambar idoep) terhadap masyarakat di Indonesia (Hindia Belanda) dibarengi dengan kondisi sosial politik yang sedang terjadi, yakni fase-fase pendudukan kolonial Belanda di negara ini. Karl G. Heider menuliskan tentang sinema Indonesia yang merupakan bentukan dari refleksi situasi politik melalui : periode kolonial Belanda sampai tahun 1942, pendudukan Jepang sampai tahun 1945 dan masa perjuangan kemerdekaan 1945-1949.[9] Dalam konteks perkembangan perfilman negara Indonesia selanjutnya, sebenarnya sedang terjadi posisi tarik-menarik terhadap film, terutama perebutan klaim yang begitu kuat antara bidang komunikasi dan bidang seni. Bahwa film bisa menjadi bagian ilmu komunikasi, telah dijelaskan pada paragraf diatas. Film sebagai bagian dari cabang seni, juga memiliki argumentasi yang sama kuatnya. UNESCO pernah menyatakan bahwa film sebagai seni (seni ke tujuh)[10]. Sebagai bentuk seni, film dianggap paling lengkap karena semua elemen-elemen seni dapat diwujudkan di dalam film, seperti ; garis, susunan, warna, bentuk, volume, massa, cahaya, bayangan, komposisi (yang ada dalam seni lukis), pemeranan, dialog (seni teater), musik, instrumen (seni musik), citra, metafora, lambang (puisi), gerak (seni tari), naratif (sastra novel)[11].

Fakultas Film dan Televisi – Institut Kesenian Jakarta (FFTV-IKJ) yang berdiri sejak tahun 1970[12], telah menjadikan kesenian sebagai dasar pijakan ilmu pengetahuannya. “Konflik” antara komunikasi dengan seni, yang dipertegas dengan wacana bahwa film akan sepenuhnya ditarik dalam ranah komunikasi turut berimbas pada FFTV-IKJ. Ini dimungkinkan terjadi karena dasar pijakan pengelolaan program studi film dan televisi yang selama ini dijalankannya (kesenian) harus turut pula disesuaikan. Hal ini sama artinya bahwa keberadaan FFTV-IKJ dalam lingkup sekolah kesenian menjadi “ilegal”. Upaya untuk mendapatkan pengakuan terus menerus dilakukan, tanpa menihilkan argumentasi bahwa film juga sebagai bagian dari ilmu komunikasi. Akhirnya pada tanggal 29 Maret 2015, dalam rangkaian Hari Film Nasional yang jatuh tepat tanggal 30 Maret, FFTV-IKJ (sekali lagi tanpa menihilkan adanya elemen komunikasi dalam film) melalui satu orasi, menegaskan satu pendapat bahwa “film sebagai seni”.[13]

Argumentasi dari pendapat tersebut berlandaskan pada satu pemikiran bahwa film adalah hasil karya yang dilahirkan karena terjadinya proses ramu-meramu dari kompleksitas ide dan gagasan, sehingga konten-konten (esensi) dalam sebuah film adalah prioritasnya. Dengan begitu pula peralatan (teknologi) film diberlakukan sebagai sebuah perangkat (tools) demi mencapai bahasa film yang terus menerus dieksplorasi. Begitupun, ketika film selesai dibuat, tidak hanya berakhir sebagai medium komunikasi -ada seperangkat pesan yang ingin disampaikan, kemudian diterima oleh penonton sesuai kehendak pembuatnya), tetapi juga ada intensionalitas berpikir para pembuatnya (maka, kemudian dikenal istilah film model sidestream/eksperimental/film “di luar kebiasaan”, yang tidak semata-mata film berurusan dengan kepenontonan). Oleh sebab itu, film bisa sangat denotatif, tapi juga bisa konotatif. Francois Truffaut, sineas dari Perancis pernah mengatakan bahwa ketika sebuah film akan dibuat, ada dua jenis model sutradara : ada pertimbangan publik di kepala mereka ketika akan membuat film dan tidak mempertimbangkan publik sama sekali, sehingga membuat film adalah petualangan individu[14].

Dari sinilah maka film bisa bersifat (ekspresi) personal dan juga bisa memiliki unsur kompromistis dengan unsur penonton, sehingga sampai tidaknya sebuah pesan dari sebuah film menjadi sebuah prioritas. Pendapat Truffaut itu dengan sendirinya akan menyatakan bahwa film dibuat sangat ditentukan oleh kepentingan pembuat film itu sendiri atau ditentukan oleh keinginan masyarakat, dan bisa juga terjadi hibriditas atas keduanya. Oleh sebab itu, film sangat bersifat multidimensi, bisa menjadi arena rekreatif, media ekperimentatif, media ideologis, media informatif dan lain sebagainya. Dalam kemampuannya memanfaatkan kualitas teknologi yang terus termutakhirkan, melalui kemampuannya berkomunikasi melalui bahasanya, melalui ekspresi-ekspresi yang bisa diutarakannya, dimensi berlapis-lapis yang ada dalam sebuah film menjadi medium tempat ditanamkannya berbagai macam nilai, baik dalam kerangka kualitas berfikir dari pembuatnya maupun kerangka kualitas berfikir yang ada disebagian besar masyarakat.

Dalam perspektif normatif dan moralitas, film yang telah masuk dalam ruang konsumsi publik harusnya berdiri di tengah lingkungan sosial yang ada. Artinya, film bisa menjadi juru bicara kepada banyak orang ketika suatu peristiwa sosial, tanpa keberpihakan terhadap unsur apapun. Dari sinilah disimpulkan bahwa film tidak lagi semata-mata dirangkai melalui sejumlah imajinasi-intuisi belaka, tapi juga harus memenuhi unsur sensitifitas pula. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai macam motif bisa diberlangsungkan, sehingga film tidak bisa dikatakan lagi sebagai film semata –sebagai rangkaian gambar bergerak hasil permainan teknologi ataupun ekspresi kedalaman berfikir pembuatnya yang menghadirkan realita untuk dikisahkan pada banyak orang. Pertemuan motif pembuat dengan motif penonton yang menyaksikan film (dalam bentuk teatrikal ; pemutaran kepada publik, maupun non teatrikal ; video rumahan dan sebagainya) secara bersinggungan itulah yang akhirnya melahirkan paradoks dari sebuah film.

 

Film dan Kemanusiaan

Sebagai media yang berhadapan langsung dengan masyarakat, mengutip apa yang disampaikan oleh D.A. Peransi bahwa penonton bukanlah subyek pasif. Dalam prosesnya terjadi sejumlah identifikasi terhadap film yang sedang dilihatnya. Yang pertama adalah identifikasi optik ; penonton melihat kenyataan sebagaimana kenyataan itu dilihat oleh lensa kamera. Yang kedua identifikasi emosional ; penonton secara emosional mempertautkan dirinya dengan bayangan-bayangan dari kenyataan yang ia lihat di layar. Yang ketiga identifikasi imajiner ; penonton mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh atau beberapa tokoh dalam film yang ditontonnya.[15] Karena adanya proses inilah maka kesadaran penonton menuntut korelasi bahwa apa yang ditampilkan dalam film adalah kenyataan sehari-hari yang dialaminya, ada harapan sesuai dengan yang dikehendakinya. Sehingga semestinya film dibuat dan diselesaikan berdasarkan nilai-nilai yang menuntun dan berlaku secara bersama.

Namun pada akhirnya film tidak selamanya mampu memenuhi harapan ini, sehingga tidak bisa ditafsirkan secara tunggal. Seperti yang sudah disebutkan pada paragraf terdahulu, bahwa kenyataan-kenyataan yang dihadapi oleh pembuat film tetaplah diinterpretasikan melalui pertimbangan filmis yang dipahaminya dan segumpal pesan yang dikehendakinya untuk diterima penonton.

Di Indonesia dengan berbagai macam keberagamannya ; bahasa, suku bangsa, agama, adat-istiadat, ras, partai, keyakinan, ideologi dan lain sebagainya, kehadiran film juga bisa menimbulkan kerumitan tersendiri. Dengan berbagai latar belakang fisiologis maupun kultural dalam keberagaman tersebut, sebuah film yang hadir ke hadapan masyarakat heterogen tersebut akan diartikulasikan secara berbeda pula.

Meskipun keberagaman itu dilembagakan dalam satu identitas yang sama melalui satu bahasa, satu bendera, satu falsafah Pancasila, melalui kebulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan disemboyankan dalam Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-Beda Tetapi Tetap Satu), sesungguhnya dalam kenyataannya masih diperlukan perjuangan yang lebih besar. Upaya melahirkan kesadaran bahwa Indonesia sebagai “satu” ini sekaligus menyatakan bahwa sebenarnya “berbeda”, terutama menyangkut nilai-nilai kemanusiaan yang ada di dalamnya. Dipersatukannya dalam berbagai atribut dan identitas ini sesungguhnya agar tercipta sikap saling menghormati dalam perbedaan, bukan saling menghakimi yang akan membuat jurang perbedaan semakin melebar. Namun, dalam sudut pandang lainnya, penyatuan segala perbedaan -yang menuntut saling menghormati- justru menjadi pembenaran siapapun untuk melakukan tindakan-tindakan apapun, yang berlindung dibalik nilai-nilai kemanusiaan.

Di Indonesia ada sebuah festival film gay.[16] Kelompok ini merupakan sekelompok penganut keyakinan yang menuntut hak atas perspektif hasrat seksual berbeda dengan wacana dominan -ada yang menyebutnya sebagai seksualitas non-normatif[17]. Tujuan diselenggarakannya kegiatan ini sebagai kampanye citra positif terhadap orang-orang gay yang selama ini dianggap tidak diperlakukan secara manusiawi -tidak diterima masyarakat karena elemen-elemen yang mengelilinginya tidak berlaku secara normatif. Termasuk menurut pemrakarsa kegiatan festival ini -John Badalu- festival ini bertujuan mengangkat konflik kehidupan kalangan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) dari seluruh dunia dan keinginan mereka (LGBT) untuk mendapatkan pengakuan, baik melalui kegiatan festival maupun tema-tema yang diangkat dalam filmnya.

Menempatkan film dalam konteks sosial, dalam sudut pandang keberagaman, persoalan hak sebagai manusia (dalam hal ini perjuangan atas hak kelompok Queer) bisa berhadapan langsung dengan hak-hak yang lain, bisa berupa hak atas moralitas, hak atas nilai-nilai keagamaan dan hak lainnya. Tahun 2010 sejumlah mahasiswa Universitas Indonesia yang tergabung dalam organisasi Salam UI melakukan demonstrasi atas penyelenggaraan festival ini. Mereka menganggap bahwa festival ini dikhawatirkan membuat gay ataupun lesbian merajalela dan bisa merusak moral, artinya mempengaruhi tatanan moral yang biasa dikenal dalam definisi umum. FPI (Front Pembela Islam) termasuk organisasi yang turut menentang kegiatan festival ini karena dianggap sebagai kampanye kemaksiatan, perzinaan, homoseksual dan lesbianisme. Dalam hal ini terjadi benturan antara hak para pengusung LGBT -hak sebagai manusia dengan orientasi seks tertentu- dengan hak keyakinan manusia yang berpedoman pada petunjuk agama (Islam) secara mutlak.

Dalam sebuah artikel yang disampaikan oleh Laura Coppens[18], festival ini memang memiliki kecenderungan untuk mengaburkan identitasnya, meskipun didukung oleh berbagai lembaga-lembaga kebudayaan lokal maupun Internasional sekalipun. Coppens menyebut bahwa menyembunyikan kata Queer -dan hanya menggunakan Q- sebagai keputusan strategis ; untuk mendapatkan kesan netral sekaligus juga mengatasi menyingkirnya orang dari festival ini. Begitupun kata festival film dilekatkan untuk menghindari kesan eksklusivitas pada minoritas seksualitas tertentu saja, sehingga banyak orang akan merasa terundang hadir ke festival ini. Namun yang pasti, gejolak dalam penyelenggaraan yang timbul dari festival ini karena setiap pihak (penyelenggara dan penolak) sama-sama berbicara atas nama kemanusiaan, dengan perspektif kemanusiaan yang berbeda tentunya –yang satu memperjuangkan eksistensi minoritas, yang satunya menjaga terjadinya penyimpangan moralitas berlandaskan keyakinan keber-agama-annya (dalam hal ini Islam) sehingga eksistensi mayoritas tetap terjaga.

Dalam pandangan sosiologi, apa yang terjadi ini karena tidak statisnya tolok ukur atas toleransi yang dianggap menyimpang itu.[19] Jika dahulu praktek-praktek seksual dilakukan sembunyi-sembunyi, maka kini agresifitasnya semakin lantang diperlihatkan karena ada “jaminan” atas hak asasi manusia. Termasuk dianggap bahwa bahwa moralitas dianggap tidak memberikan kesempatan kepada pribadi untuk membentuk kepribadiannya sendiri.[20] Termasuk melalui analisa sosio-politik[21], munculnya gerakan-gerakan minoritas ini seperti euforia reformasi (sejak tumbangnya era Orde Baru –yang selama ini dianggap mengekang kebebasan) dimana informasi bisa diakses secara bebas, sehingga isu-isu yang selama era Orde Baru begitu tabu disajikan, kini begitu gamblang tersedia. Pun demikian, kesempatan sekolah keluar negeri juga semakin terbuka lebar sehingga wacana kontemporer yang telah berkembang lama di luar negeri, termasuk didalamnya tentang keragaman seksual, menjadi isu-isu yang dipelajari –termasuk oleh para sineas-sineas yang berjuang dalam wadah perjuangan kesetaraan gender. Dalam hal gender ini kelamin bukan lagi diamati melalui ilmu biologis semata, tapi bisa dilihat dalam kadar performatif-diskursif, bahwa gender merupakan konstruksi sehingga dimungkinkan terjadi praktek-praktek seksual yang berbeda.[22] Tidaklah mengherankan jika kemudian banyak bermunculan film-film yang mengangkat isu minoritas seksualitas, sebut saja Kuldesak, sebuah film dengan konsep omnibus dan dianggap menjadi pionir kebangkitan sinema Indonesia pasca Reformasi (1998), yang dalam salah satu adegannya (semestinya) diperlihatkan dua pria gay berciuman.[23]

Arisan! (Nia Dinata, 2004), juga merupakan salah satu film yang memperjuangkan keberadaan minoritas, para penganut gay, sebagai bagian masyarakat yang tak terelakkan. Seorang psikiater -dalam salah satu adegan- yang sedang memberikan konsultasi kepada seorang yang memiliki kecenderungan gay berkata bahwa, “gay kini sudah tidak dianggap sesuatu yang abnormal lagi”, sehingga tidak ada alasan lagi untuk ragu memproklamirkan dirinya pada orang lain. Di akhir film memang akhirnya Sakti -salah satu tokoh gay- akhirnya berani untuk menyatakan dirinya sebagai gay.

Film ini dibuka dengan konflik bathin dalam diri Sakti, antara menyatakan diri sebagai gay atau menututupnya rapat-rapat. Sebagai orang Batak yang dalam kulturnya sangat menganut sistem laki-laki sebagai yang utama, sebagai manusia yang badannya dipenuhi tatto dan kebiasannya menjaga kualitas fisik tubuh dengan melatihnya di gimnastik -yang menurut temannya wanitanya sebagai simbol kejantanan, dia berada dalam posisi kontradiktif karena dalam kadar lainnya ia begitu menyukai kebiasaan melulur tubuhnya, piawai dalam merias wajah temannya yang wanita, termasuk tidak munculnya selera ketika ibunya menjodohkannya dengan seorang wanita. Konflik inilah yang akhirnya memaksa dirinya mencari seorang psikiater. Nasehat yang diberikan psikiaternya justru menjadi jalan baginya untuk membebaskan dirinya atas perasaan yang dialaminya untuk memilih. Perjalanan cintanya dimulai dengan membina hubungan “tak-sengaja” dengan laki-laki yang selama ini selalu membuatnya berdegup ketika berpapasan di lokasi gimnastik. Drama cinta dibuka dengan adegan air minum yang tumpah di dagu Sakti, yang kemudian ditata melalui bahasa film dengan adegan sang kekasih membantu mengeringkan air melalui close up sentuhan tangannya pada dagu dalam gerak slowmotion sambil diiringi sebuah lagu yang mengalun lembut. Tangan mereka saling menggenggam, dan akhirnya mereka saling berciuman. Film ini menjadi semacam pembelaan bagi kelompok minoritas ini ketika akhirnya perjuangan dua manusia yang saling mencintai ini dirumuskan melalui rencana pernikahannya. Menurut sutradaranya, penggambaran tokoh gay dalam film ini dibuat berdasarkan inspirasi dari teman-teman terdekatnya.[24]

Isu kemanusiaan lain yang saat ini sedang diperbincangkan di Indonesia adalah menyangkut hadirnya film Senyap (Look of Silence, 2014) yang disutradarai Joshua Oppenheimer.

Mendekati bulan Oktober 2015 isu kemanusiaan memang semakin kuat disuarakan pihak-pihak yang merasa peduli atas korban pembantaian oleh beberapa pihak yang mengatasnamakan “penumpasan komunis di Indonesia”. Pada akhir September 1965 memang menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia dalam peristiwa terbunuhnya para Perwira TNI Angkatan Darat oleh kelompok yang disinyalir sebagai penganut paham komunis yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai langkah lanjutan dari tragedi tersebut, TNI AD dan segenap penentang paham komunis melakukan pembersihan dan pemberangusan terhadap orang-orang yang dianggap menjadi penganut paham komunis ini. Disinyalir ratusan ribu orang yang terkait paham komunis dibunuh. Begitulah sejarah mencatatnya.

Tahun 2015 ini ada satu wacana rekonsiliasi nasional terhadap tragedi pembunuhan tersebut, terutama dari para pegiat Hak Asasi Manusia. Mereka menuntut agar negara meminta maaf pada para korban atas terjadinya tragedi ini. Dalam mendukung usaha rekonsiliasi ini kehadiran film Senyap diyakini bisa mendorong terjadinya rekonsiliasi, yang bagi pihak lainnya terkesan menyakitkan. Film yang mengambil latar tempat di Deli Serdang Sumatera Utara ini mengisahkan tentang perjalanan seorang pemuda yang kakaknya menjadi korban pembunuhan dalam “pembersihan lingkungan” dari paham komunis. Pemuda yang berprofesi sebagai optometris mencari tahu para pelaku yang turut terlibat dalam pembunuhan tersebut. Dalam film ini, setiap akhir sesi pertemuan diskusi antara pemuda dan para pelaku, pemuda ini selalu menghela nafas, dengan mata berkaca-kaca dan diam tanpa sepatah kata terucap, senyap. Upaya sutradara untuk menggali fakta-fakta disekitar tragedi pembunuhan ini juga pernah dilakukannya melalui film yang lain, The Act of Killing (Jagal, 2013), yang menghadirkan kisah-kisah sekitar masa pembunuhan itu terjadi dari para pelaku pembunuhannya langsung, dengan latar di wilayah Sumatera Utara juga.

Dua film ini mendapat tentangan keras. Film ini dianggap terlalu berpihak pada korban pembunuhan, seraya meninggalkan fakta-fakta lain dalam hukum kausalitas –ada sebab dan menimbulkan akibat. Lembaga Sensor Film (LSF) menjadi garda terdepan perlindungan masyarakat umum dalam menjaga beredarnya film ini untuk dikonsumsi masyarakat luas. Sesuai hakekatnya, LSF menganggap bahwa film ini bisa menganggu ketertiban umum, karena dalam kapasitasnya sebagai kepanjangan tangan pemerintah, LSF merasa perlu melindungi hak-hak masyarakat lainnya.

Ada seperangkat pesan yang ingin disampaikan oleh film ini. Dalam sesi diskusi dengan para pelaku –dalam film tentunya, wajah pemuda ini ditampilkan dengan sangat tegas melalui shot-shot­ padat (medium close up – close up). Dalam kaidah film, teknik ini diyakinkan mampu menampilkan ekspresi dari para pemain film. Begitulah yang terjadi, wajah pemuda ini seperti membawa penonton untuk ikut merasakan konflik bathin yang berkecamuk dalam diri pemuda itu ketika berhadapan langsung dengan para pelaku pembunuhan yang sudah berusia lanjut. Meminjam istilah D.A. Peransi, bahwa upaya ini bisa jadi merupakan upaya identifikasi imajiner yang dikehendaki pembuatnya, Tujuannya agar penonton bersimpati. Meskipun sebenarnya dimungkinkan juga terjadi proses decoding yang tidak berhasil. Melalui funsgi editing, gambar dibiarkan berjalan –long take- untuk memberikan kesempatan bagi pemuda itu untuk “merasakan” suatu imajinasi penderitaan yang dialami oleh kakaknya. Adegan-adegan diskusi dengan beberapa pelaku pembunuhan lainnya nyaris memiliki pola yang sama, melahirkan drama “wajah” dalam akhir diskusi. Seolah-olah kegetiran yang dialami pemuda ini menjadi representasi bagi orang lain yang keluarganya turut terbunuh pula.

Penentangan besar-besaran atas film ini terjadi karena selain dianggap cenderung berpihak pada PKI sebagai korban pembunuhan massal tahun 1965, juga dinilai mengesampingkan korban-korban pembunuhan yang dilakukan oleh para penganut paham komunis ini. PKI dan Komunis memang selama bertahun-tahun menjadi paranoia tersendiri bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Hukum kausalitas -bahwa penyebab pembunuhan massal itu karena didahului dengan pembunuhan para Perwira TNI AD- nyaris tidak ditemui dalam film ini, meskipun memang pembunuhan dengan dalih apapun tidak pernah dibenarkan. Namun film ini dianggap tidak berdiri tepat diantara titik persoalan tahun 1965 itu. Pembelaan kemanusiaan hanya berlaku bagi para korban yang dituduh sebagai komunis, tapi tidak untuk korban pembunuhan yang dilakukan oleh PKI. Jika rekonsiliasi benar terjadi, mestinya juga ada tempat bagi korban-korban pembunuhan yang dilakukan oleh PKI. Beberapa sumber bahkan pernah menyebutkan, jauh sebelum tragedi pembunuhan Perwira TNI AD tersebut terjadi, para anggota PKI juga melakukan serangkaian aksi pembunuhan terhadap para kyai, ulama dan santri dibeberapa daerah.[25] Bahkan dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI (Arifin C. Noer, 1984) pada adegan-adegan awal diperlihatkan para pengikut aliran komunis menghancurkan kitab suci Al-Qur’an.

Sejarah memang terus menerus mengalami usaha pengujian atas kebenarannya, termasuk siapa dalang sebenarnya tragedi 1965 ini. Namun wacana dominan juga tidak bisa dikesampingkan, sehingga setidaknya kebenaran sejarah bisa mendapatkan tempatnya sementara. Oleh karenanya film ini dianggap hanya melihat sisi gelap kemanusiaan dari satu sudut semata –dalam hal ini korban yang dicap sebagai PKI, dan sutradara dianggap sensitifitasnya cenderung berpihak pada kelompok ini.

Kualitas nilai kemanusiaan bisa dikenali justru ketika perbedaan hadir ditengah-tengahnya. Dalam perbedaan itu sikap saling menghormati, menghargai maupun menerima keterbedaan adalah mutlak. Mempertegas perbedaan justru semakin membuka ruang konflik, yang artinya nilai-nilai kemanusiaan (me-manusia-kan manusia) menemui permasalahan. Dalam konteks Negara Indonesia yang memiliki keberagaman ; multi-etnik, multi-bahasa, multi-ras, multi-agama, multi-politik, multi-ideologi, multi-keyakinan, multi-kultur dan lain sebagainya, menjaga keberdampingan dalam perbedaan terasa begitu sulit. Karena relasi masyarakat yang saling bersilangan, potensi konflik tersebar mengelilingi hubungan tersebut. Namun dalam konteks relasi PKI – bukan PKI, dimana terjadi tragedi kemanusiaan dalam lingkup sosio-politik-historis, menjadi agak sulit menemukan tempatnya.

Wacana kemanusiaan yang juga banyak ditemui dalam film adalah menyangkut aspek keagamaan, baik berupa kontestasi agama satu dengan agama lainnya, maupun agama dalam persoalan lingkup internalnya. Bagaimanapun agama adalah suatu realita sosial yang hidup di tengah masyarakat. Oleh karenanya agama memiliki legitimasi atas kaidah-kaidah yang telah digariskan di dalamnya dan disepakati untuk dijalankan dan digunakan secara tepat, baik oleh masyarakat maupun pemerintahnya. Namun yang terjadi, seringkali tema-tema keagamaan yang diangkat kedalam sebuah film malah dilebur pada penafsiran-penafsiran yang justru seperti mempertanyakan keabsahan mutlak sebuah ajaran agama.

Memang ada hak-hak atas interpretasi dalam sebuah karya seni, sehingga reproduksi realita mendapatkan tempat dalam ruang konstruksinya. Namun jika sudah menyangkut konsumsi publik, film ataupun karya seni lainnya tentu akan berhadapan langsung dengan -bukan saja kaum agamawan- tapi juga masyarakat secara menyeluruh, karena ditengarai akan mempengaruhi pola pikir dan pemahaman. Disini terjadi proses memandang film dari penonton. Misalnya bisa ditemui dalam film The Last Temptation of Christ (Martin Scorsese, 1988), yang digugat karena mempermainkan kepercayaan para pemeluk agama Kristen, dimana Yesus diperlihatkan sebagai manusia biasa. Begitupun film Under Siege (Andrew Lewis, 1992) yang menempatkan orang Muslim dalam stereotip teroris.[26]

Beberapa film Indonesia juga pernah dipertanyakan atas obyektifitasnya memandang dan menempatkan ajaran agama kedalam sebuah film. Perempuan Berkalung Sorban (Hanung Bramantyo, 2009) adalah sebuah film yang diangkat berdasarkan novel karya Abidah El Khaliegy dengan judul yang sama dengan filmnya dan diterbitkan tahun 2001. Film ini menjadi kontroversial karena ada persepsi menyudutkan pesantren sebagai ruang yang sangat konservatif, terutama terhadap wanita dan peradaban yang modern. Film ini seolah ingin membicarakan modernitas dan ketertinggalan Islam dalam menghadapi era itu, sekaligus menghitung ulang pola-pola penerapan Islam yang masih sangat tradisional. Ada hal yang terbenturkan, antara masyarakat muslim yang konvensional dengan masyarakat Muslim yang mengusung perubahan dalam tatanan Agama Islam. Latar pesantren menjadi ruang benturan itu terjadi, yang cenderung dilihat menyerupai penjara ketimbang tempat menuntut ilmu melalui dialog antara tokoh laki-laki dan perempuan ; “kamu harus lihat dunia luar, jangan cuma dibalik tembok pesantren ayahmu”.

Begitupula, pesantren digambarkan dengan sangat kaku dan membosankan, karena memperlihatkan orang-orang yang menerapkan kaidah Islam melalui pendekatan yang sangat emosional, seperti misalnya pimpinan Pesantren yang menampar wajah anak perempuannya (Annisa) ketika sang anak membantah ayahnya, menghukum anak perempuannya tersebut dengan menguncinya di sebuah kamar mandi dan mengguyur air ke tubuhnya, menggebrak meja makan ketika sang anak perempuan protes atas ketidakseimbangan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Juga ketika seorang Ustadz dalam pesantren itu sedang memberikan ceramah tentang efek buruk moderniasasi, hampir semua santriwati tidak berminat mendengarkannya melalui bahasa tubuh yang diperlihatkannya ; menggigit-gigit kukunya, menggaruk-garuk kepalanya maupun mendengarkan ceramah dalam keadaan mata setengah terpejam.

Ada pesan lain yang ingin disampaikan film ini sebenarnya, tentanga kesetaraan perempuan dan laki-laki melalui representasi tokoh Annisa. Beberapa petunjuk bisa dilihat ketika adegan film dibuka oleh Annisa yang mengendarai kuda (sebagai simbol kejantanan), dengan iringan gema suara (narasi) laki-laki bertakbir, yang kemudian turut disambung melalui flashback masa kecil Annisa, dimana dua abangnya sepakat menyatakan bahwa perempuan tempatnya hanyalah di dapur saja (ditujukan pada Annisa). Begitupun ketika dalam sebuah pemilihan ketua kelas -Annisa akhirnya memenangkan pemilihan tersebut- namun tidak disetujui oleh gurunya, sehingga ia memilih sendiri ketua kelasnya ; seorang anak laki, yang dianggapnya sesuai dengan syariat dalam Islam bahwa pemimpin adalah laki-laki. Di Indonesia sendiri persoalan pemimpin dan gender memang masih mengalami polemik tarik-ulur.

Pada akhir film bisa disimpulkan bahwa kesengsaraan yang dialami oleh Annisa ; pernikahannya melalui proses penjodohan yang akhirnya mengharuskan dia selingkuh pada laki laki lain yang lebih dicintainya, ter-poligami-nya Annisa, tertutupnya peluang untuk melanjutkan kuliah di kota lain karena tidak ada muhrim yang menjaganya, tidak diizinkannya dia membuka perpustakaan modern dalam pesantren karena dikhawatirkan para santri maupun santriwati akan meninggalkan untuk membaca Al-Qur’an, maka : pesantren menjadi institusi yang gagal menciptakan kebaikan karena melahirkan produk semacam Annisa yang teraniaya ini.

Dengan sutradara yang sama, filmnya yang lain berjudul ? (2011) mengangkat tema tentang toleransi beragama dan memilih keyakinan agamanya. Hal itu bisa dilihat pada awal-awal film yang memperlihatkan montase aktifitas berbagai rumah ibadah yang diwakili oleh  gereja, mesjid, vihara dan pura. Latar tempat yang digunakan dalam filmnya (Semarang[27]) menjadi metafora atas harmonisasi 5 (lima) agama yang ada di Indonesia.

Dalam keinginannya menyatakan ketiadaan batas perbedaan, justru film ini menuai kontroversi. Teks-teks atas gambaran toleransi diperlihatkan antara lain melalui seorang tokoh wanita muslimah digambarkan bekerja pada sebuah restoran yang menjual daging babi. Berkebalikannya, ada pula seorang tokoh muslimah lainnya yang menolak bekerja di restoran yang sama, dan dianggap tidak memperlihatkan sikap toleran. Termasuk ketika seorang pemilik restoran Cina yang menganjurkan agar menutup tokonya dengan tirai dan melarang menjual masakan babi ketika bulan Ramadhan. Ada juga seorang tokoh lainnya, yang berpindah agama Kristen -sebelumnya Islam- atas dasar hak asasi manusia dalam memilih keyakinan.

Dalam kemasan toleransi agama satu menghormati agama lainnya, film ini justru memperlihatkan semakin tersudutnya Islam dalam film, bahkan Islam menjadi “biang kerok” yang selalu berkontestasi -Islam vs Kristen dan Islam vs Cina (tanpa mengikutsertkan agama yang dianut para orang Cina sama sekali). Bisa dilihat ketika ada seorang pemuda Islam yang kesulitan ekonomi akhirnya memutuskan untuk mengambil peran sebagai Yesus dalam acara Paskah yang diadakan sebuah gereja. Hal ini dilakukannya berdasarkan nasehat seorang Ustad yang menyatakan bahwa Iman itu menyangkut hati, bukan fisik. Dalam film ini, restoran Cina menjadi situs terjerembabnya Islam dari berbagai sudut. Ada sebuah adegan di restoran Cina yang terlihat sepi pada saat bulan Ramadhan. Dan ini menjadi sebuah asumsi bahwa selama ini para pelanggannya adalah orang-orang Islam. Bahkan pada saat Lebaran, pemilik restoran melarang karyawannya untuk libur ataupun kembali ke kampung halamannya, karena dampak bulan Ramadhan yang membuatnya menjadi merugi. Begitupun ada sebuah adegan perusakan restoran ini oleh sekelompok umat Islam secara brutal, pada Hari Raya Lebaran.

Dari sini kemudian nampak ada satu pendapat yang ingin diarahkan pada satu persepsi bahwa : Islam sebagai yang tidak toleran -dalam pengertiannya, tidak ada rasa kemanusiaan atas perbedaan, setidaknya melalui representasi para tokoh-tokoh yang digambarkan sebagai “Islam brutal” tersebut. Namun memang menjelang akhir film, teks-teks perihal tema toleransi mulai diperlihatkan melalui berubahnya nama restoran Cina yang semula dinamakan Canton Chinese Food menjadi Barokah Chinese Food Halal, karena tidak bisa disangkal bahwa konsumen terbesar restoran ini adalah orang-orang Muslim, termasuk juga karena anak pemilik restoran ini akhirnya menjadi mualaf.

Beberapa penjelasan yang disampaikan diatas memang memperlihatkan adanya upaya memperjuangkan hak-hak manusia dihadapkan pada wacana yang dominan dan hegemonik ; seksualitas minoritas terhadap seksualitas mayoritas dalam konteks kaidah agama yang diatur, konstitusi kemanusiaan terhadap Negara, agama dalam tafsir modernitas terhadap agama dalam kaidah yang normatif-konvensional, maupun agama dalam hubungannya dengan toleransi. Ada kecenderungan menimbulkan konflik horisontal, terutama karena persoalan yang diperjuangkan tersebut terkait dengan adanya “interupsi” terhadap kesepakatan dan kesepahaman yang selama ini melibatkan institusi-institusi determinan, yaitu Negara dan masyarakat mayoritas.

 

Penutup

Dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan bisa dikenali dan diterima dari sebuah film ketika film diletakkan sebagai teks. Namun jika diletakkan dalam konteks Negara-Bangsa yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang terlembaga, tersepakati dan teranut oleh mayoritas masyarakat (termasuk pemerintah di dalamnya), seringkali film yang membawa unsur nilai kemanusiaan diluar pengertian Negara-Bangsa juga bisa tertolak dan teroposisi karena melakukan interupsi dari pengertian kemanusiaan yang dominan. Dalam konteks komunikasi atas film, pesan-pesan yang dikelola pada sebuah film model ini sangat berpotensi mengalami resistensi bagi penonton, sehingga film bisa berakhir dengan kegagalan karena tidak terpenuhinya unsur kesepahaman, bahkan kesepakatan karena tidak adanya aspek keterwakilan. Yang masih bisa dinikmati barangkali sensasi artistik visual yang memukau, sehingga film tetap memiliki makna -itupun jika pembuat film mampu memanfaatkan keunggulan-keunggulan teknologi yang sudah tersedia dan mengelola ruang-ruang dalam konsep mise-en scene (tertatanya segala sesuatu dalam bingkai).

Sebuah film berjudul Daun Diatas Bantal (Garin Nugroho, 1997) bisa menjadi satu film yang berada diluar kualifikasi yang dipaparkan diatas. Dalam konteks wacana dominan bahwa Negara harus terbebas dari kemiskinan dan menjamin kemakmuran bagi masyarakatnya, film ini berusaha mengingatkan bahwa di Yogyakarta tahun 1997 ada sekelompok masyarakat yang tercerabut dari nilai-nilai kemapanan dan kemakmuran secara ekonomi. Film yang menggunakan pendekatan bahasa deskritif ini sepanjang ceritanya secara terus menerus melakukan identifikasi atas kemiskinan yang disimbolkan melalui keluarga miskin yang terdiri dari seorang wanita pengasuh bernama Asih yang berprofesi sebagai pedagang batik kreditan, pengasuh bagi tiga anak jalanan ; Kancil, Sugeng dan Heru yang sangat tidak terurus sandang, pangan dan papannya. Turut digambarkan pula konsekuensi logis yang harus diterima dengan keadaan itu, diantaranya tata krama amoral seperti makan menyerupai anjing, mencuri, mabuk dengan lem sintetis dan daun kecubung, eksperimen atas seks, hidup menggelandang dari berbagai tempat di stasiun, teras hotel maupun pasar. Hidup tiga anak tersebut berakhir dengan nasib tragis, terbentur tembok terowongan ketika bermain-main diatap kereta yang sedang melaju kencang (Kancil), dibunuh oleh sekelompok orang yang menginginkan asuransi dari anak-anak “tak benama” (Heru) dan secara tak sengaja terbunuh ketika mengingatkan temannya yang berpotensi terbunuh dalam perkelahian antar kelompok (Sugeng). Kematian-kematian yang dihadirkan ini dibermulakan karena kondisi-kondisi yang dengan jelas diperlihatkan pada awal-awal film sebagai “kemiskinan”.

Begitu juga untuk film Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008) yang menempatkan dirinya secara kritis atas wacana dominan tentang keadilan atas kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak. Dalam relasi kolonialisme, film ini bisa diperbincangkan. Pada pembukaan film terhampar sebuah narasi, yang lebih kurang menyatakan bahwa Belitung merupakan pulau terkaya di Indonesia -sebagai penghasil timah- namun rakyat tidak bisa menikmati hasilnya karena pihak-pihak asing justru datang mengeksplorasinya. Begitupun ketika Indonesia merdeka, rakyat Belitung tidak juga membaik ekonominya.

Namun apapun keadaannya, semangat untuk hidup tetap berlangsung, yang direpresentasikan oleh sepuluh anak-anak Belitung dan disebut kemudian sebagai Laskar Pelangi. Kemiskinan tidak menghalangi anak-anak tersebut untuk meraih pendidikan meskipun terhalangi oleh berbagai hal, dan bisa ditemui dalam kode-kode film seperti sepatu sekolah berwarna merah muda yang sudah rusak, sekolah yang gentengnya bocor ketika hujan datang, sinisme para pekerja tambang di PN Timah atas pendidikan yang dianggapnya juga akan mengantar siswa menjadi kuli seperti dirinya, tidak tersedianya seragam sekolah seperti umumnya, proses panjang dan terjal bagi anak-anak tersebut menuju sekolahnya dengan melewati hutan rimba dan gangguan dari binatang buas dan lain sebagainya.

Film ini tidak berusaha menunjukkan kemiskinan sebagai sesuatu yang perlu diratapi, sehingga banyak orang kemudian mengutuk Negara sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. Dalam kemiskinannya justru anak-anak Laskar Pelangi tetap hidup dengan menjunjung nilai-nilai yang berlaku. Beberapa hal bisa menunjukkan itu, diantaranya praktek berwudhu dan shalat yang diajarkan di sekolah miskin itu, penjabaran dari gurunya tentang kisah Nabi Nuh AS yang tetap bertahan hidup ditengah musibah yang menimpa, maupun upaya memberikan pemahaman atas falsafah Pancasila melalui praktek hafalan sila-sila yang ada dalam falsafah tersebut.

Dari kenyataan ini maka sudut pandang lain tentang nilai-nilai kemanusiaan dalam film yang bisa dirujuk berikutnya adalah ketika film justru mengkritisi wacana dominan yang terlawan. Dengan kata lain bahwa film ini menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang tersepakati secara universal, termasuk juga menyadarkan kepada banyak orang bahwa terjadi nilai-nilai kemanusiaan yang terlanggar. Seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tergabung dalam komunitas Pasir Putih Lombok melalui film-filmnya yang mereka sebut sebagai film eksperimental. Melalui filmnya mereka mengkritisi berdirinya hotel-hotel di daerah mereka yang dianggapnya menjadi pemicu meningkatnya harga tanah, berkembangnya narkoba dan semakin merajalelanya prostitusi, hal-hal yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai positif yang selama ini berlaku di tempat mereka.[28]

Disinilah kemudian bisa diakhiri dengan sekelumit pendapat bahwa mengembangkan nilai kemanusiaan melalui sebuah film akan menjadi : film yang menawarkan nilai-nilai kemanusiaan “lain” dengan cara mencerabutnya dari nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku secara universal dalam konteks Negara-Bangsa, dan kemudian beroposisi. Didapati juga film yang menawarkan nilai-nilai kemanusiaan yang sedang tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku secara universal, juga dalam konteks Negara-Bangsa, dan berusaha mengembalikannya.

 

 

 

Sumber Buku

 

Barker, Chris, The SAGE Dictionary of Cultural Studies, SAGE Publication, London : 2004

 

Barker, Chris & Galasinski, Dariusz, Culutral Studies and Discourse Analysis : a dialoque on language and identity, SAGE Publications Ltd, London : 2001

 

Borwell, David & Thompson, Kristin, Film Art : an introduction, 8th edition, McGraw-Hill, New York : 2008

 

Chandler, Daniel,. Semiotic : The Basic, Routledge, London & New York : 2008

 

Connolly, Kieron, “Sejarah Gelap Hollywood” (dari judul asli : Dark History of Hollywood, penerjemah : A. Reni Eta Sitepoe, Elex Media Komputiondo, Jakarta 2014

 

Hayward, Susan, Cinema Studies : The Key Concepts, Routledge, London and New York : 2000

 

Heider, Karl G., Indonesian Cinema : National Culture on Screen, University of Hawaii Press, Honolulu : 1991

 

Ismail, Usmar, “Mengupas Film”, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta : 1983

 

Thompson, Kristin & Bordwell, David, Film History : an introduction, McGraw-Hill, New York : 1994

 

Michalik, Yvonne & Coppens, Laura (ed.), Asian Hot Shot Sinema Indonesia, Bentang, Yogyakarta : 2011

 

Peransi, D.A., “Film/Media/Seni”, FFTV-IKJ Press, Jakarta : 2005

 

Salad, Hamdy, Agama Seni, Yogyakarta, Semesta : 2000

 

Soekanto, Soerjono, Prof. Dr., Sosiologi : Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta : 2012

 

Sani, Asrul, “Cara Menilai Sebuah Film” (terjemahan dari : The Artf of Watching Film), Yayasan Citra, Jakarta : 1992

 

Wibawa, Satrya, IGAK (ed.), “Isu Minoritas dalam Sinema Indonesia Pasca Orde Baru”, Dewan Kesenian Jawa Timur, Surabaya : 2009

[1]Tercantum dalam bab buku berjudul Sinema, Pedang Bermata Dua; dalam buku Agama Seni (Hamdy Salad, 2000), hlm. 213

[2]Dalam Thompson, Film History : an introduction, 1994, hlm. 47

[3]Thompson, ibid, hlm. 214

[4]Kisah yang dialami para bintang film Hollywood dengan datangnya suara bisa dibaca secara lengkap di buku Sejarah Gelap Hollywood (Kieron Connolly, 2014), hlm. 48-53

[5] Ismail, Mengupas Film, 1983, hlm. 55

[6] Hayward, Cinema Studies : The Key Concepts, 2000, hlm. 105

[7]Film yang mengisahkan buruh pabrik dalam gambar bergerak Lumiere Bersaudara ini diberi judul Workers Leaving the Lumiere Factory (1895), sama dengan gambar bergerak yang dilihat penonton.

[8]Dalam Barker, The SAGE Dictionary of Cultural Studies, 2004, hlm. 59

[9]Heider, Indonesian Cinema : National Culture on Screen, 1991, hlm. 15

[10]Dalam sebuah artikel berjudul UNESCO Tempatkan Film sebagai Seni ke Tujuh, disebutkan bahwa alasan ini karena sebuah film mampu memberikan dampak dan citra positif terhadap sebuah obyek ketika diangkat ke dalam sebuah film. Sumber website : Antara, Minggu, 26 Juni 2011

[11]Tercantum dalam buku terjemahan Asrul Sani berjudul Cara Menilai Sebuah Film, Yayasan Citra, 1992 ; dari judul aslinya The Art of Watching Film (Joseph M. Boogs), hlm. 4

[12]Awalnya bernama LPKJ – Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, yang masih bersifat kursus. FFTV-IKJ kala itu masih bernama Akademi Sinematografi, sebelum akhirnya mandiri sebagai fakultas seiring berubahnya LPKJ menjadi IKJ.

[13]Bisa dibaca di http://www.fftv.ikj.ac.id/berita/292-beyond-the-screen.-fftv-ikj.html

[14]Dalam Bordwell, Film : an introduction, 2008, hlm. 3

[15]Dalam Peransi, Film/Media/Seni, 2005, hlm.148.

[16]Bernama Q!Festival Film. Sudah digelar sejak tahun 2002 (sumber : kompas.com). Huruf Q sendiri berasal dari kata Queer yang berarti ganjil atau aneh.

[17] Istilah “non-normatif” ini dikutip dari sub judul artikel Keragaman Seksualitas (Mungkin) Tak Lagi Minoritas : Queer dalam film Indonesia pasca Orde Baru (Maimunah, 2009) ; dalam buku Isu Minoritas dalam Sinema Indonesia Pasca Orde Baru (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009), hlm. 104

[18]Coppens, Hasrat dan Berahi : Queer dalam Perfilman Indonesia ; dalam buku Asian Hot Shot Sinema Indonesia (Editor : Yvonne Michalik & Laura Coppens, 2011), hlm. 341

[19] Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Rajawali Pers, 2012), hlm. 336

[20] Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Rajawali Pers, 2012), hlm. 338

[21] Maimunah, Keragaman Seksualitas (Mungkin) Tak Lagi Minoritas : Queer dalam film Indonesia pasca Orde Baru ; dalam buku Isu Minoritas dalam Sinema Indonesia Pasca Orde Baru (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009), hlm. 106-107

[22] Barker, Cultural Studies (Bentang, 2005), hlm. 306

[23] Adegan ini mengalami penyensoran ; dalam Setiyawan, Kuldesak  ; dalam buku Asian Hot Shot Sinema Indonesia (Editor : Yvonne Michalik & Laura Coppens, 2011), hlm. 200

[24] Hartley, Cinta, Agama dan Perbedaan Sosial ; dalam buku Asian Hot Shot Sinema Indonesia (Editor : Yvonne Michalik & Laura Coppens, 2011), hlm. 74

[25]Salah satunya bisa dibaca dalam www.nu.or.id atau di http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/08/21/ntfucu313-budayawan-pemerintah-tak-perlu-minta-maaf-pada-pki

 

[26] Dalam bab buku berjudul Dekadensi dalam Dunia Gambar; dalam buku Agama Seni (Hamdy Salad, 2000), hlm. 225

[27] Di Semarang terdapat pertemuan lima jalan yang berasal dari berbagai tempat berbeda ; Jl. Pahlawan, Jl. Pandanaran, Jl. Ahmad Yani, Jl. Gajah Mada dan Jl. A Dahlan. Ditengah pertemuan lima jalan itu terdapat sebuah lapangan, disebut sebagai Lapangan Pancasila.

[28] Mendedahkan Masalah Lewat Film Eksperimental, Kompas, Selasa 15 September 2015

 

*Disampaikan pada diskusi film di Universiti Sains Islam Malaysia pada tahun 2015

Dikerjakan bersama : Arda Muhlisiun dan RB Armantono

 

 

Abstrak

 

Kata kunci : Loetoeng Kasaroeng, Wiranatakusumah V, film trans-nasional

Keyword: Loetoeng Kasaroeng, Wiranatakusumah V,trans-national film

 

Dalam sejarah lahirnya perfilman di Indonesia (Hindia Belanda kala itu), ada beberapa tonggak peristiwa penting yang bisa menjadi dasar bagi perkembangan perfilman Indonesia sampai saat sekarang ini. Yang pertama adalah tahun 1900 ketika untuk pertama kalinya orang-orang di Hindia Belanda diperkenalkan pada sebuah tontonan barubernama ‘film’ – gambar idoep. Disinilah apresiasi menonton film bagi masyarakat mulai terbentuk. Melalui sebuah iklan dari De Nederlandsche Bioscope Maatschappij yang tertera dalam surat kabar Bintang Betawi (4 Desember 1900) yang tertulis, “…besok hari Rebo 5 Desember PERTOENDJOEKAN BESAR JANG PERTAMA di dalam satoe roemah di Tanah Abang Kebondjae (MANEGE) moelain poekoel TOEDJOE malem…”, masyarakat (khususnya yang berada di Batavia – Betawi) dipertontonkan sajian film “dokumenter” tentang gambaran kehidupan di Eropa dan Afrika Selatan. Juga ditampilkan gambar Sri Baginda Maharatu Belanda bersamaYang Mulia Hertog Henrik ketika memasuki kota Den Haag.

loetoeng iklan e.jpg

Sumber : Sinematek Indonesia

Peristiwa yang kedua adalah tahun 1926 ketika film cerita pertama kali dibuat di Indonesia yang berjudul Loetoeng Kasaroeng. Yang ketiga adalah film Darah dan Doa (the Long March of Siliwangi) (1950) karya Usmar Ismail, sebagai film yang dianggap sebagai gagasan awal film nasional. Tanggal pengambilan gambar (syuting) hari pertama dalam film ini (bertempat di Subang Jawa Barat) pada tanggal 30 Maret 1950 akhirnya ditetapkan sebagai Hari Film Nasional sehubungan dengan ditandatanganinya UU Perfilman oleh Presiden Soeharto pada 30 Maret 1992. Kemudian diperkuat oleh Keppres No.25, yang dikeluarkan BJ Habibie pada 29 Maret 1999.

Awal film dipertunjukkan di Indonesia (Batavia) tahun 1900 tidak dilakukan pada gedung khusus yang dipersiapkan untuk menonton film (bioskop) karena memang waktu itu belum ada gedung bioskop yang dibangun. Sajiannya adalah film-film dokumenter yang dibuat oleh orang-orang Belanda maupun Eropa, dengan harga tiket yang lumayan mahal. Bahkan penontonnya juga lebih banyak dari kalangan orang Eropa tersebut. Film menjadi semacam “barang baru” yang sangat menarik minat khalayak luas untuk melihatnya. Akan tetapi, kekaguman  orang-orang Belanda kelas atas, yang  mampu membeli karcis mahal itu lama kelamaan cepat menjadi bosan karena film-film yang diputar hanyalah film-film dokumeter yang sering diulang-ulang. Akibatnya jumlah penonton mulai. Akhirnya, pada tahun 1905 diusahakanlah  pertunjukkan film di lapangan terbuka, yang dipungut dari penonton umum dengan harga karcis jauh lebih murah.

Inilah titik tolak dibangunnya gedung bioskop The Royal Bioscope pada tahun 1903, yang pada awalnya lebih ditujukan untuk memenuhi selera dan cita rasa tinggi kalangan elit penduduk Hindia Belanda di Batavia. Peristiwa pecahnya Perang Dunia Pertama di Eropa pada tahun 1911-1914 akhirnya berdampak pada perekonomian di Hindia Belanda masa itu. Selama Perang Dunia Pertama berkecamuk, banyak gedung bioskop  yang telah  dibangun di kota-kota besar Hindia Belanda, yang sebagian besar dimiliki oleh orang-orang Eropa, menjadi gulung tikar. Kondisi ini sebetulnya juga diperparah dengan mulai adanya pajak impor film sejak 1926, serta tuntutan dilengkapinya perangkat sound system yang baru (karena waktu itu film-film yang beredar sudah dilengkapi dengan suara). Banyak operator bioskop Eropa kemudian yang bangkrut karena tak mampu membayar pajak impor dan membeli peralatan sound system yang memadai. Ketika para pengusaha bioskop Eropa semakin lesu, para pengusaha Cina justru mulai merambah ke dalam bisnis film.  Mereka mengambil alih bisnis distribusi dan eksibisi film dengan memutar film-film produksi Shanghai.

Alasan orang-orang Cina kaya mendirikan bisokop tersebut adalah demi membangun citra dan gengsi sebagai orang terpandang di lingkungannya dan demi kepentingan lain yang lebih menguntungkan. Terbukti bahwa banyak undangan gratis dari pengusaha bioskop Cina itu untuk para relasi bisnisnya yang merupakan orang-orang pejabat tinggi yang memiliki pengaruh penting di Batavia.

Lambat laun perkembangan bioskop semakin besar. Sekedar catatan, pada tahun 1936 telah berdiri 222 gedung bioskop di seluruh wilayah Hindia Belanda, dimana sebanyak 17 gedung biokop berada di Kota Batavia. Film yang diputar juga sudah lebih variatif, antara lain film India, film Jerman dan film Amerika (Hollywood).

Ketika minat penonton sudah terbentuk terhadap film, maka para pengusaha film Hindia Belanda mulai berminat untuk memproduksi film cerita yang ditujukan bagi penonton kelas menengah dan kelas bawah. Maka pada tahun 1926 dibuatlah film Loetoeng Kasaroeng, sebuah cerita yang diangkat dari legenda rakyat Jawa Barat, yaitu cerita lutung kasarung. Produksi ini bekerjasama dengan Bupati Bandung bernama Wiranatakusumah V, terutama dalam dukungan biaya produksi.

Berbicara gagasan film Indonesia, film Loetoeng Kasaroeng sebenarnya juga patut mendapatkan perhatian dalam meneropong kerangka identitas film nasional. Kehadiran orang “Indonesia” dalam film itu mulai berada dalam posisi yang “aktif” –karena sebelumnya orang-orang Indonesia hanya ditempatkan sebagai penonton maupun sebagai “barang tontonan” dalam film, terutama film-film dokumenter yang dibuat oleh orang-orang Belanda.

Mengikuti sejarahnya, sampai tahun 1926, seluruh film yang dipertunjukkan di Indonesia hanyalah film-film yang diimpor dari luar negeri. Keadaan itu membuat seorang Indo-Belanda G. Kruger (Batavia) bersama dengan L. Heuveldorp (Bandung) membuat film Loetoeng Kasaroeng, yang mencoba menampilkan film cerita tentang legenda terkenal di Jawa Barat, Indonesia. Kruger bertugas menangani bidang kamera dan proses pencucian film. Sementara Heuveldorp merupakan direktur perusahaan bernama Java Film Company. Konon disebutkan bahwa dia telah bertahun-tahun memiliki pengalaman di Amerika dalam penyutradaraan film. Memang banyak kontroversi terhadap film ini, seputar siapa pembuatnya dan tahun produksinya. Yang pasti film ini bisa dikatakan sebagai film kerjasama model trans-nasional pertama di Indonesia karena didalamnya terjalin kerjasama antara orang-orang Indonesia dengan orang asing (Belanda). Pemain-pemainnya juga berasal dari Indonesia, diantaranya Martonana dan Oemar.

Posisi aktif orang Indonesia dalam produksi film terutama direpresentasikan melalui peran Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah V yang memberi dukungan dengan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk memproduksi film tersebut. Dalam produksi ini juga melibatkan orang-orang Indo-Bandung sebagai penghubung komunikasi antara orang-orang asing dan orang Indonesia. Ada juga Raden Kartabrata yang diserahkan untuk memimpin para pemain, khususnya dari golongan priyayi. Lokasi pengambilan gambarnya berada di wilayah Bukit Karang, dua kilometer dari Kota Padalarang, Jawa Barat.

Semenjak film Loetoeng Kasaroeng ini dibuat, maka selanjutnya produksi kerjasama Indonesia-Belanda semakin banyak dilakukan. Salah satunya Eulis Atjih (1927). Menurut Misbach Yusa Biran ada hal menarik di film ini bahwa kata “Indonesia” sudah digunakan pada kesempatan ini.

Memang ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa film Eulis Atjih maupun Lily van Java dianggap sebagai film cerita yang pertama diproduksi di Hindia Belanda. Namun karena ketiadaan data penunjang yang otentik maka pendapat tersebut menjadi kabur. Berbeda dengan Loetoeng Kasaroeng, dengan ditunjang data yang ada maka peran Misbach Yusa Biran, terutama melalui tulisan-tulisan dalam bukunya, kehadiran film Loetoeng Kasaroeng dalam sejarah film cerita pertama di Hindia Belanda menjadi satu pendapat yang sampai saat ini terus menerus menjadi referensi banyak orang. Namun jika dilacak melalui catatan, menurut Misbach Yusa Biran perbedaan persepsi terhadap film cerita pertama kemungkinan karena Loetoeng Kasaroeng memang tidak didistribusikan sampai daerah lain sehingga ketika Eulis Atjihyang distribusinya agak sedikit meluas ke daerah, maka orang seringkali menganggap ini sebagai film cerita pertama yang dimainkan oleh orang-orang pribumi.

Kelahiran film Loetoeng Kasaroeng memang tidak bisa dilepaskan dari “campur-tangan” Wiranatakusumah V. Bupati Bandung (periode tahun 1920-1931 dan 1935-1945) yang juga pernah menjadi Menteri Dalam Negeri pertama di Negara Indonesia dan Ketua Sedio Moelio (Asosiasi Bupati se-Hindia Belanda) ini sangat mencintai bentuk-bentuk dan praktek-praktek kesenian, terutama orientasinya untuk membangkitkan sekaligus memelihara kecintaan masyarakat Sunda terhadap kebudayaannya sendiri.

Ketika ia baru memulai periode jabatan sebagai Bupati Bandung, hasrat untuk mengembalikan ingatan masyarakatnya akan kesenian Sunda dipicu ketika ia terlibat dalam pertemuan-pertemuan yang didalamnya diisi dengan berbagai pertunjukan kesenian seperti Wayang Orang dan tari-tarian Serimpi. Hasrat itu kemudian ia wujudkan dengan mengadakan, sekaligus memberikan biaya besar bagi pagelaran cerita “Lutung Kasarung” pada Kongres Jawa (Java Congres) di Bandung tahun 1921.Pemilihan cerita ini ia lakukan agar peserta kongres bisa mengenal kebudayaan dan kesenian spesifik Sunda. Hal ini dikemudian hari berdampak pada naiknya popularitas kesenian Sunda Lama, termasuk mulai tumbuhnya komunitas-komunitas musik Sunda, apresiasi orang terhadap alat musik kecapi dan suling juga semakin baik yang akhirnya turut pula melahirkan industri-industri alat musik Sunda.

Ini kemudian yang membuat Wiranatakusumah V semakin terpacu mengembangkan kesenian Sunda melalui medium kesenian lainnya yang lebih modern, yaitu dukungannya yang besar terhadap pembuatan film Loetoeng Kasaroeng. Bahkan sepupu dan para kemenakannya juga terlibat dalam film ini sebagai pemain. Meskipun mereka tidak memiliki bekal sebagai pemain film, namun terlihat ada motivasi kuat untuk membuktikan pada orang lain (Belanda), baik sebagai penonton film ini nantinya maupun para tim produksi yang berisi orang-orang (Indo) Belanda, bahwa masyarakat pribumi juga memiliki kemampuan dalam hal pemeranan (akting) dalam film sebagaimana yang pernah dilakukan oleh orang-orang asing.

Melalui berbagai hal diatas itulah nampak jelas bahwa semangat identitas yang terkonstruksi sebagai eksistensi intelektual pribumi (khususnya ke-Sunda-an) telah digagas dengan baik oleh lingkungan keluarga Wiranatakusumah V, khususnya sang Bupati sendiri. Dengan berbekal pengetahuan “Barat” (Snouck Hurgronje memiliki peran besar juga dalam membentuk karakter pengetahuan dalam diri Wiranatakusumah V), nyatanya Wiranatakusumah V tetap memiliki genetika kesadaran asalnya sebagai orang Sunda.

Dalam konteks kekinian, kita bisa menyebut bahwa apa yang dihasilkan dalam proses pembuatan film ini sebagai embrio film trans-nasional di Indonesia pertama, dan Wiranatakusumah V telah menjadi tokoh utamanya.Begitupun sebuah artikel dalam De Locomotief – Overzee editie yang terbit pada bulan September 1926 menyebut bahwa, “film ini, tonggak pertama dalam bidang industri sinema Hindia…”.

 

Daftar Bacaan

 

Abdullah, Taufik, Dr. et al., Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Jakarta : Dewan Film Nasional, 1993

 

De Locomotief, “Loetoeng Kasaroeng” dibuat film, Overzee edition, No.71, 2 s/d 4 September 1926

 

Iskandar, Eddy D., Bandung Tonggak Sejarah Film Indonesia, Pustaka Dasentra, 2006

 

Kristanto, JB., Katalog Film Indonesia 1926-2007, Jakarta : Penerbit Nalar, 2007

 

Tjasmadi, HM. Johan, 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000), Jakarta : Cinemags, Komunitas Bambu, Jakarta

Hierarki Ilmu

Posted: 29 September 2016 in Budaya
Tag:

Dalam sistem pendidikan kita, ada penciptaan “struktur” hierarki mata pelajaran yang tanpa disadari telah menciptakan sebuah paradigma besar yang terjadi atas manusia-manusia yang dihasilkan di bumi Indonesia ini. Dalam mata pelajaran disekolah (ini sesungguhnya dimulai di tingkat sekolah menengah atas), diciptakan klas-klas yang memungkinkan setiap orang berpikir bahwa mereka berada dalam trikotomi “pandai-biasa saja-kurang pandai”.

Klas paling atas (pandai) diisi oleh mata pelajaran “keras” seperti matematika dan/atau IPA dan sejenisnya (ilmu eksakta). Klas dibawahnya berisi mata pelajaran dalam rumpun sosial, bahasa, sastra. Klas paling akhir diisi oleh mata pelajaran berjenis seni, olahraga dan keterampilan lainnya. Ini menjadi tolok ukur ketika seorang siswa dianggap pandai jika ia mampu mengatasi persoalan pada klas paling atas. Begitupun sebaliknya ketika seseorang tidak mampu lolos dalam pemahaman pada persoalan klas atas tersebut ia secara sosial akan diberi predikat “biasa saja” atau bahkan dianggap seorang yang “kurang pandai”.

Tidaklah mengherankan kemudian banyak orang tua yang berfikir jika kelak ingin menyekolahkan anaknya pada tingkat lanjut maka masukkanlah anak pada kampus-kampus yang memiliki jurusan mata kuliah pada klas atas (eksakta). Kesuksesan berupa pekerjaan mumpuni pasti akan tercapai, yang secara mumpuni terkait pula pada taraf ekonominya. Dan lihatlah, paradigma besar ini juga berdampak pada rasio (perbandingan jumlah) perguruan tinggi yang membuka jurusan IPA, IPS, Bahasa, Sastra, Seni, Olahraga.

Paradigma besar sebenarnya ini bisa diubah sehingga manusia Indonesia tidak lagi berfikir bahwa ilmu itu memiliki klas-klas secara hierarkis, yang berdampak pada stereotipe bahwa jurusan IPA lebih pandai daripada jurusan IPS atau Bahasa/Sastra, termasuk tentang penghasilan ekonomi. Jika tidak juga berubah, jika ilmu tidak didudukkan secara sejajar, sungguh tragis!!! Pemerintah punya kuasa atas semua ini, termasuk tetek bengek tanggungjawab moralnya pada generasi-generasi yang sudah melampaui era klas mata pelajaran. Tidaklah mengherankan jika seniman atau olahragawan atau sastrawan atau bahasawan seringkali jarang/tidak mendapat tempat dalam birokrasi –seberapa cerdasnya dia, ketimbang teknokrat, ekonom, fisikawan, biologiawan yang banyak duduk dalam struktur birokrasi di Indonesia –seberapapun “bejat”nya dia. Wagub Banten Rano Karno? Wagub Jabar Dedy Mizwar? Wagub Jabar Dede Yusuf? Mereka bukan mewakili kesenimanan dalam birokrasi yang dijalaninya. Tidaklah mengherankan juga jika PSSI sampai saat ini tidak pernah dipimpin oleh olahragawan itu sendiri –karena dianggap “tidak mampu”, sehingga orang-orang dengan atar belakang militer, teknokrat, ataupun politikus yang lebih dipercaya untuk mengurusnya. Jangan-jangan memang benar, Indonesia sudah dikuasai paradigma besar. Sekali lagi, pemerintah punya kuasa, sekaligus memiliki “dosa besar” menciptakan klas-klas dalam ilmu pengetahuan, karena kenyataannya Indonesia sudah sedemikian demikian adanya. -Arda-

 

Orality-Litearcy-Visuality

Posted: 29 September 2016 in Budaya

oral-visual-aksaraMenyarikan dari  buah pikiran Sapardi Djoko Damono -yang tertuang dalam buku-bukunya

Pengarsipan film ? Pertanyaan yang tentu saja mengandung jawaban beragam, terutama dalam konteks negara kita yang pesimis, tentu akan menggiring jawaban tentang pengarsipan ini pada bentuk-bentuk semangat yang marjinal.
Pengertian lembaga pengarsipan film berarti kepada proses penyimpanan, pemeliharaan dan perawatan film untuk dijadikan bahan referensi –genahnya sebagai lembaga pengarsipan serta pusat studi dan penelitian. Penyebutan nama-nama lembaga pengarsipan di berbagai negara juga sangat beragam dengan material ”film” sebagai substansinya. Menyebutnya dengan nama antara lain Sinematek, Cinematheque, Filmmuseum, Kinemateca, Film Archive dan sebagainya. Material film dan unsur pendukungnya (poster, skenario, data pembuat(an), review film, literatur teks dsb) akan diperlakukan sebagai materi utama bagi sebuah pengarsipan film.

Pembuka
Begitu banyak institusi pengarsipan film yang ada di bumi nusantara ini (mestinya memang banyak karena pekerjaan mengarsipkan film tentu bukan hanya dilakukan oleh institusi bersyarat dan berizin resmi saja –institusi bernama manusia yang belajar film saja tentu memiliki konsep mengarsipkan film bagi kepentingan studi filmnya). Namun dalam wacana sinema Indonesia, Sinematek Indonesia (SI) tentu saja mendapat tempat paling tinggi dalam konteks proyek pengerjaan pengarsipan film (SI juga memiliki perpustakaan buku-buku literatur. Dalam hal ini hanya akan dilihat pengarsipan filmnya saja).
Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan mengapa SI layak dicermati. Dalam analisa sejarah berdirinya SI dengan nama awalnya Pusat Dokumentasi Film, meskipun pada awal berdirinya pada Januari 1971 diniatkan sebagai proyek untuk pendokumentasian bagi akademi Sinematografi LPKJ (sekarang Fakultas Film dan Televisi IKJ) untuk mempersiapkan bahan perkuliahan sejarah film Indonesia yang motifnya hanya sekedar menyimpan dokumen-dokumen untuk kepentingan penulisan sejarah film Indonesia itu, namun secara esensial para pembuat film Indonesia merasa perlu untuk ”menyelamatkan” film-film yang dibuatnya. Pertimbangannya adalah harus ada proyeksi yang jelas kemana film-film itu bermuara setelah berputar-putar dalam lintasan produksi, distribusi dan eksebisi. Begitu pula halnya dengan para ”pejuang pengarsipan film Indonesia” semacam H. Misbach Yusa Biran dan SM Ardan (rasanya kok mereka berdua layak dinobatkan sebagai Bapak Pengarsipan Film Indonesia!) yang merasa ”berkewajiban” menyelamatkan film-film Indonesia dan memperlakukan film-film itu sebagai penopang bukti-bukti otentik perjalanan sejarah perfilman Indonesia (saya juga setuju jika Bapak Katalog Film Indonesia, JB Kristanto bisa menjadi bagian dari pengarsipan film Indonesia). Dari sinilah kemudian orientasi bahwa arsip film Indonesia harus ada, dimana film bukan hanya sekedar disimpan tapi harus bisa menjadi pusat studi dan penelitian. SI lahir untuk mengakomodir kebutuhan itu.
Alasan lainnya, dimulai ketika SI menjadi arisp film pertama di Asia Tenggara yang akhirnya pada tahun 1978 diterima bergabung dalam FIAF (Federation Internasionale des Archives du Film), sampai saat inipun SI masih mendapat tempat dan kepercayaan dari para pembuat film Indonesia. Rasanya hanya ada satu kata ”penyelamatan” yang dikenal dan ada di kepala para pembuat film (produser) untuk menempatkan filmnya dalam arungan pelayaran terakhirnya, Sinematek Indonesia!. Dan, bahwa sampai saat ini SI masih menjadi lembaga alternatif utama bagi siapapun yang ingin menyimpan karya filmnya, pun bagi yang ingin mendapatkan kisah-kisah ”perjalanan” perfilman Indonesia dalam bentuk gambar (audio visual) maupun tulisan (teks skenario dan teks lainnya) –meskipun kelengkapan koleksinya masih dalam bentuk relatif.
Berdampingan dengan beberapa organisasi perfilman dan pertelevisian Indonesia, SI menempati dua lantai (lantai 4 dan 5 –sebenarnya lantai bawah juga merupakan bagian SI karena disana terdapat ruang khusus penyimpanan film-film, terutama format seluloid) di sebuah gedung berlantai lima bernama Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) yang lumayan menggugah, terutama posisi geografisnya di kawasan ”kinclong”, jalan HR Rasuna Said Kuningan. Dengan demikian lantas kita bisa menyebut SI itu telah layak dimapankan (dalam artian bahwa simbol-simbl yang dikandung SI sama dengan simbol-simbol yang dikandung dan disyaratkan kawasan Kuningan juga) kalau hanya kita memposisikan diri sebagai ”pemandang” ?
Disini saya akan mencoba menjawab pertanyaan saya sendiri : mengapa pengarsipan film harus ada dan bagaimana posisi pengarsipan film Indonesia dalam peta masyarakat film Indonesia, berada dalam posisi marjinalkah?
Dalam kapasitasnya sebagai lembaga pengarsipan, SI tentu saja membutuhkan materi-materi dalam melengkapi legitimasinya sebagai sebuah lembaga pengarsipan –ada sesuatu yang disimpan. Ada tuntutan yang jelas, materi tersebut adalah materi valid yang diperoleh melalui kerjasama terstruktur dengan penyedia materi tersebut. Disini dibutuhkan pertalian yang benar dan jelas dengan pihak penyedia materi tersebut tanpa sekat-sekat pembatas yang akan membuat SI kehilangan eksistensinya sebagai lembaga pengarsipan film yang ”paling dicari”. Ini tentu saja harus dilakukan karena dalam konteks pengarsipan film Indonesia, SI tentu saja sangat dominan. Hasil nyata praktek-praktek dominannya tersebut tentu saja berbentuk materi-materi yang berasal dari sumber aslinya, bukan jiplakan –apalagi kalau merekam film dari media lain, televisi misalnya (sekali-sekali kita bisa melupakan sejenak kedigdayaan teknologi yang selalu saja motifnya ingin memudahkan segalanya). Kekeliruan dalam mengadopsi pengertian pengarsipan tentu saja akan meruntuhkan rintisan SI sebagai lembaga pengarsipan film yang arsip-arsipnya berasal dari sumber yang tepat. Kekeliruan itu justru akan membawa SI hanya sebagai lembaga pengarsipan film ”saja”, yang semua orang tentu bisa lakukan –malah tak ada bedanya dengan mahasiswa yang belajar film?!, atau bahkan akan mengembalikan SI sebagai Pusat Dokumentasi Film-nya era LPKJ dahulu. Justru SI harus membedakan diri dengan lainnya karena adanya legitimasi yang diberikan masyarakat pada SI, bahwa SI merupakan bagian dari lingkaran perfilman Indonesia sehingga SI lebih otentik ketimbang lainnya baik secara kualitas maupun kuantitas.
Pendekatan humanis dan pendekatan teknologi dalam proses pengarsipan film adalah dua hal yang bisa dilakukan. Namun memang kedua hal tersebut kadang memiliki prinsipnya tersendiri. Mencampuradukkan fungsi-fungsi humanis dengan fungsi-fungsi teknologi dalam proses pengadaan materi tentu akan mendapati tuntutan pertanyaan lebih jauh, menjadi bukan hanya : materi apa yang tersedia?!, tapi : bagaimana materi itu bisa tersedia?!. Kesalahan dalam mengaplikasikan tuntutan ini bisa diduga akan menjauhkan SI dari harapan-harapan sebagai lembaga orisinal -yang memiliki materi orisinal (kemampuan meng-orisinal-kan materi ini sekaligus bisa membuktikan bahwa SI memang merupakan bagian dari lingkaran besar perfilman Indonesia).
Kadangkala memang pendekatan yang lebih bersifat humanis seringkali bisa lebih manis. Semisal kerjasama langsung dengan produsen film bisa menjadikan Sinematek Indonesia selain sebagai pusat pengarsipan film Indonesia, juga bisa berperan sebagai pusat informasi film (baik film-film yang telah ada maupun film-film yang akan diproduksi). Lembaga terpercaya karena koleksi materinya ”sahih”. Pencapaian kesahihannya tentu akan meninjau ulang posisi yang diharapkan SI untuk menempatkan dan ditempatkan bukan pada posisi belakangan dalam jagad produksi film. Posisi yang rasanya bisa ditinjau kembali. Untuk itulah perjuangan yang harus dilakukan SI adalah menjadi salah satu institusi formal dalam struktur perfilman Indonesia yang memiliki kekuatan hukum dalam mengambil keputusan yang diperlukan dalam semua kegiatan perfilman Indonesia.
Namun tuntutan yang dialamatkan pada SI memang juga harus dipertimbangkan secara lebih objektif. Karena SI juga merupakan bagian dari sistem produksi, maka tentu dalam proses produksinya dibutuhkan fasilitas-fasilitas yang menunjang proses pelaksanaannya. Biaya menjadi kata kunci dalam perburuan materi-materi termaksud. Sejak diresmikan dengan nama Lembaga Arsip Film Sinematek Indonesia pada 20 Oktober 1975 berbarengan dengan didirikannya gedung PPHUI, Pemerintah DKI Jakarta yang saat itu memberikan subsidi terhadap SI, terhitung hanya sekitar 3 (tiga) tahun saja terlibat dalam proses kerjasama pmbiayaannya karena sejak tahun 1978 subsidi tersebut dicabut. Waktu yang telah dijalaninya sejak tahun terakhir subsidi diberikan sampai dengan saat ini boleh dikata bahwa SI benar-benar berjibaku dalam keberadaannya. Beberapa sumber pendanaan operasionalnya akhirnya bersumber dari hasil penyewaan gedung PPHUI dan juga subsidi dari Yayasan PPHUI dan bantuan dari berbagai pihak yang memang nyatanya masih jauh dari kebutuhan biaya operasional, terutama biaya perawatan film-film seluloid yang cukup besar. Kondisi yang sangat miris mengingat film sebenarnya telah menjadi industri yang cukup menjanjikan saat ini. Satu hal yang juga cukup disayangkan adalah sejak tahun 1998 SI keluar dari keanggotaan FIAF dengan alasan : tidak bisa membayar iurannya ! Padahal, Arsip Film Fukuoka Jepang saja belum bisa diterima masuk karena memang untuk masuk menjadi anggota FIAF ini sangat sulit. Lalu pertanyaannya, bagaimana menjelajah dalam ruang yang lebih luas ?
Kita ketahui bahwa produksi film-film Indonesia sudah dimulai tahun 1920-an (kala itu memang produksi film banyak dilakukan oleh orang-orang Belanda yang bercerita tentang Indonesia dan produksi filmnya dilakukan di Indonesia). Dan seperti diketahui juga bahwa perusahaan film, maupun pembuat film tersebut sudah tercerai dan menguap dalam bayangannya yang hampir tidak terjamah lagi (”ketidakberadaan” film Loetoeng Kasaroeng bisa membuktikan itu!). Berbanding dengan didirikannya SI (sekitar pertengahan tahun 1970-an melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta), bisa dibayangkan betapa sulitnya dalam rentang waktu mundur sekitar setengah abad SI harus menjelajah dalam ruang yang sulit untuk menelusuri keberadaan film-film awal tersebut. Meski terkesan mustahil, namun sebagai lembaga pengarsipan tentu komitmennya adalah melacak keberadaan film-film tersebut (paling tidak proses penelusuran itu sebagai upaya menjawab ”tantangan” yang ada dalam buku Katalog Film Indonesia-nya JB Kristanto yang dengan fasih menyebutkan judul-judul film Indonesia). SI yang hakikat sebenarnya mewakili masyarakat film Indonesia tentunya harus bisa menuntaskan tugasnya perihal kepemilikan film-film tersebut secara konkrit, bukan hanya judul-judul film dalam catatan saja.
Selain tentang biaya, sosok pemerintah menjadi kata kunci lainnya sebagai pendukung bagi penjelajahan film-film kita tersebut. Kalau boleh menentukan, Departemen Luar Negeri (Deplu) dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) adalah sosok yang paling diharapkan untuk menuntaskan harapan masyarakat perfilman Indonesia. Salah satu upaya SI menjalin kerjasama dengan Perpustakaan Nasional RI memang sudah memberi angin yang cukup baik bagi tindakan pelestarian data secara tepat. Namun dalam konteks birokrasi dimana tindakan-tindakan eksekusi, badan-badan eksekutif menjadi begitu penting. Alasannya sederhana, dalam proses penjelajahan tersebut tentu dibutuhkan ”nego-nego” dengan pihak lain agar bisa membuka pintu bagi SI dalam proyek kerjanya. Dugaan kita tentu saja (mengandaikan bahwa film tersebut masih ada di muka bumi ini, namun damparannya belum benar-benar terlacak) mengarah pada museum-museum, lembaga pengarsipan film lain di belahan dunia manapun, kolektor-kolektor dan lain sebagainya sebagai institusi-institusi yang menyemayamkan film-film tersebut. Peran pemerintah sangat diharapkan agar bisa memfasilitasi penjelajahan tersebut untuk memuluskan ”buka” pintu-pintu birokrasi yang menutupinya.
Saat ini harus diakui bahwa betapa sulitnya mengelola lembaga pengarsipan film di Indonesia. Lembaga pengarsipan semacam SI memang seperti terkatung dalam kesendiriannya. Perannya seperti dimarjinalkan dalam peta film Indonesia, seperti tidak berayah-beribu –menjadi yatim piatu yang mengais sejumput harapan dalam gegap gempitanya perputaran ekonomi perfilman Indonesia, terutama produksi-produksi film yang semakin kedepan semakin menampakkan gejala-gejala peningkatan menuju target-target produksinya yang semakin memikat. Tentu kita tidak harus menangisi keadaan tersebut, seperti kita sering menangis ketika melihat dalam film betapa anak yatim piatu seringkali digambarkan dalam kenestapaan. Seharusnya SI bisa menjadi Oliver Twist yang tegar dalam kesendirianya –sosok anak tak berayah-beribu pada sebuah film karya Roman Polanski. Sudah sepatutnya jika saat ini SI mulai mencari payung yang bisa menaunginya dan kendaraan yang bisa membawanya menuju tempat-tempat yang dikehendaki, bisa pemerintah ataupun non-pemerintah. Kondisinya saat ini SI hanya menghimpun apa saja yang kebetulan bisa dijamahnya, bukan menjelajah dalam kehendaknya karena segala sesuatunya memang serba membatasinya. Keterkatungannya juga seperti mengisyaratkan bahwa SI seperti terlempar-lempar dalam ketidakpastian. SI yang didirikan oleh pemerintah (Pemda DKI) justru kini di”kelola” secara informal oleh lembaga-lembaga non-pemerintah. Bandingkan dengan lembaga arsip lain di dunia yang begitu mendapatkan tempat dan perhatian secara pasti, seperti Belanda dengan Nederlandsch Filmmuseum yang dianungi oleh yayasan dan Ned. Audiovisual Archive sebagai badan pemerintah. Di Perancis, Cinematheque Francaise yang sangat termashyur nyatanya bisa dikelola dengan baik oleh lembaga non-pemerintah.
Untuk SI, jika SI berkeinginan agar pemerintah (atau siapapun) menjadi payungnya dan berkenan memasukkan SI sebagai bagian dari wilayah kerjanya untuk kemudian menempatkan agenda-agenda SI dalam salah satu prioritas yang harus ditindaklanjuti, tentunya banyak faktor-faktor penting yang harus dilakukan. Yang terutama adalah meyakinkan pihak lain bahwa SI –tentunya proses mengarsipkan film adalah penting! Seringkali jargon-jargon usang masih berkeliaran dalam berbagai bentuknya yang menyatakan bahwa ”film adalah salah satu aset yang harus dipertahankan dalam menjaga nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang sarat dengan nilai sejarah berupa potret kemanusiaan yang disampaikan lewat film Indonesia, untuk itulah harus diarsipkan”. Pengungkapan semacam ini kadangkala akan menempatkan proses mengarsipkan film dalam tawar posisi yang membingungkan, penting yang tidak penting. Bahwa SI (pengarsipan film) seakan menjadi seperti wajah yang timbul tenggelam dalam peringkat-peringkat kebutuhan manusia. Rasanya jargonnya memang sudah harus dirubah, barangkali jangan terlalu menggiring pandangan yang terlalu normatif sehingga pengarsipan film akan selalu berada dalam pertarungan ”penting-tidak penting” yang ujung-ujungnya seringkali berakhir pada saran yang diplomatis, dipertimbangkan. Yang harus dilakukan tentu lebih pada penekanan aspek konkritnya sehingga siapapun akan melihat SI sebagai sesuatu yang memang penting dan memang harus ada karena banyak bertaburan aspek kebutuhan dan kepentingan bagi siapapun disana. Dengan kata lain bahwa setiap orang yang datang ke SI memang karena sebuah kebutuhan, bukan sekedar berwisata bagi romantisme film Indonesia lewat poster-poster dan foto-foto adegan film yang tergantung maupun film-film yang tersusun dalam rak-raknya.
Meyakinkan bahwa sesuatu itu ”ada” dalam bentuk yang abstrak memang terasa seperti penjual obat di pasar malam yang terus membujuk orang yang melintas didepannya bahwa obatnya bisa menyembuhkan dalam waktu singkat (kita teringat salah satu film Indonesia Tamu Agung tentang seorang penjual obat yang sangat meyakinkan justru bukan kemujaraban obatnya, tapi omongannya!). Kondisi inilah yang justru harus dilakukan oleh SI, meyakinkan bahwa SI memang sebuah kebutuhan dan benar-benar dibutuhkan siapapun tidak terkecuali bagi masyarakat non-film.
Tercatat disini ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh SI jika ada target-target yang ingin dicapai. Publikasi adalah salah satu faktor penting yang menyertakan pernyataan dengan tegas bahwa SI itu ”ada” dan meng-”ada” karena masyarakat meng-”ada”-kannya. Penjelasannya, bahwa SI sebenarnya memiliki keberadaan yang jelas : ber-tempat, ber-kegiatan, ber-struktur, ber-materi, ber-staf, dan sebagainya. Namun meyakinkan dunia luar bahwa segala ber- itu adalah sebuah kebenaran tentu pekerjaan yang sulit. Meng-ada-kan segalanya bukan sekedar yang tergambar lewat mata lahir saja. Dalam narasi-narasi yang berkeliaran dimana-mana seharusnya SI tetap hadir ketika perfilman Indonesia terucapkan. Untuk itulah publikasi menjadi penting, terutama untuk publikasi yang tidak tergambarkan (satu hal bahwa memiliki gedung, menyimpan koleksi film, memiliki karyawan dalam struktur pimpinan-bawahan seringkali belum menjadi publikasi yang meyakinkan). Dalam artian bahwa kecenderungan keberadaan yang sifatnya abstrak (menjadi tempat yang paling representatif dalam mendapatkan film-film yang diperlukan) kadang sudah menjadi publikasi sendiri yang tak disadari, namun memang seringkali kandas dalam hegemoni bentuk (fisikal). Ketimbang menjadi representatif, yang sering terjadi adalah berhamburannya selebaran-selebaran buletin (Newsletter) Sinematek Indonesia ditempat-tempat yang sangat terbatas dan kadang sangat narsistik -beredar dalam ”rumahnya” sendiri.
Untuk itulah harus ada keseimbangan antara publikasi substansi dan publikasi bentuk, sehingga ketika masyarakat yang ”pernah mengetahui” dan yang ”merasa pernah mengetahui” SI, telah meng-ada-kan SI sebagai tempatnya eksistensi film-film Indonesia, maka SI harus bisa menjawab kepercayaan masyarakat dengan benar-benar menjadi ”ada”, melalui publikasi tersadar maupun yang tak tersadarkan.
Mempublikasikan SI pada setiap orang tentu dibutuhkan peran-peran kehumasan, sebuah perangkat yang membawa SI pada tempat-tempat yang ingin dicapai. Kehumasan memang tidak mesti diartikan bahwa ada peran tertentu yang diberikan tanggungjawab untuk mengetuk setiap pintu. Kehumasan akan lebih efektif ketika ada kemampuan dalam melihat kesempatan dimana SI bisa dipresentasikan disana. Satu nukilan yang bisa dicermati. Posisi gedung (PPHUI) yang berada disalah satu jalan utama Jakarta kawasan Kuningan tempat pusat aktifitas tinggi memang telah meng-humas-kan dirinya sendiri (logo SI rasanya tidak terpampang disana?!). Namun seberapa efektifnya tentu belum bisa dibuktikan sebelum dibongkarnya beberapa persyaratan kehumasannya.
Salah satu persyaratan saja. Kalau dianalisa dalam posisi geografisnya, jalan yang melintasi depan gedung PPHUI akan dilalui oleh ragam orang dengan volume yang cukup padat adalah ketika jam pulang kerja (office hour) dari pusat Jakarta menuju arah beberapa pinggiran kota Jakarta. Ini berarti bahwa ada kecenderungan tingkat kepengamatan yang tinggi orang yang melintas pada jam-jam tersebut terhadap gedung PPHUI tentu tanpa kepentingan apapun, selain ingin segera beranjak kembali kerumah. Kecenderungan ini tentu tidak sepenuhnya bisa disimpulkan bahwa PPHUI lepas dari pandangan. Namun kalau melihat gejala (yang katanya) konsumtif yang kini dianut oleh hampir semua orang di Jakarta, hampir dipastikan bahwa di waktu ”prime time” kendaraan tersebut, pandangan para pengguna jalan telah habis dicurahkan untuk memalingkan mukanya ke kawasan pasar belanja Pasar Festival yang terletak disamping gedung PPHUI. Ada sesuatu yang lebih menarik karena banyak item-item yang lebih mempesona, menggugah dan sangat berwarna. Kawasan ini juga seakan menjadi shelter (penulis mengartikannya menjadi pemberhentian sementara gerak) sehingga orang akan lebih mudah mengontrol pandangannya untuk menyapu segalanya yang berada disekelilingnya. Bandingkan ketika kendaraan sudah memasuki kawasan gedung PPHUI dimana kecepatan gerak semakin meningkat. Tinggallah PPHUI dalam gambar yang mengabur. Shelter (dalam arti sebenarnya) yang berada tepat didepan gedung PPHUI seperti tidak mengartikan apapun selain sebagai besi-besi berkarat dipinggir jalan –tidak fungsional. SI, utamanya PPHUI memang harus berstrategi-ria agar pemberhentian gerak kendaraan juga bisa diperpanjang sampai muka gedungnya. Syukur-syukur orang yang seringkali membaca simbol-simbol dan kode-kode yang ditampilkan bisa diajak sekedar bernegosiasi –pencapaian idealnya tentu saja menjadi terdominasi.
Dalam bahasa gambar kita mengenal istilah komposisi melalui pembagian tiga bidang gambar secara vertikal dan horizontal dengan garis-garis. Titik pertemuan garis yang membagi bidang tersebut diyakini sebagai titik yang paling mungkin menjadi pusat perhatian (focus of attention). Simbol dan kode jelas juga efektif untuk mempengaruhi orang lain. Intinya adalah bagaimana SI bisa memanfaatkan simbol dan kode sehingga menjadi fokus perhatian bagi pembacaan, tanpa harus terlibat pada teori-teori komposisi bentuk yang memusingkan (karena di dunia ini bentuk tidak pernah ada yang tetap). Yang harus dilakukan adalah mengendalikan bentuk-bentuk itu dalam komposisi, yang sebenarnya bisa sangat kompromis. Tidak ada cara selain mempublikasikan SI dalam berbagai tanda yang mudah dipahami dan disepakati orang banyak. SI sebagai tempat pengarsipan film, tentunya juga tidak harus menyibukkan diri dalam pekerjaan yang seterusnya berurusan dengan kerja mengarsipkan dalam kungkungan ruang kerja. Simbol dan kode yang dipublikasikan tentang SI bisa disampaikan besar-besar dalam bentuk yang sangat beragam.
Mengambil contoh konkrit tentang Pasar Festival, simbol dan kode tentang warna dan teks-teks yang menghibur bisa disampaikan berdasarkan selera manusia, semacam : food court, fasilitas olahraga ditengah kota, makanan cepat saji, akses tangga langsung dari jalan raya menuju pintu masuk utama, kenyamanan, promo produk baru, harga spesial barang, wanita-wanita manis yang melintas disepanjang muka, sarana transportasi yang setia menunggu (meski seringkali membuat kemacetan bagi kendaraan lain dibelakangnya!) dan sebagainya. Untuk SI yang paling mungkin dilakukan adalah tetap mengabarkan pada orang lain bahwa keberadaan SI memang harus ada dan tetap ada, yang dibuktikan bukan melalui kegiatan-kegiatan ”di dalam” –kegiatan mengarsipkan saja, namun bisa membagi dengan orang banyak melalui kode dan tanda yang dilakukan demi menjaga perhatian dari kepengamatan orang lain. Membuat spanduk-spanduk kegiatan dan program rutin yang bisa melibatkan orang banyak dengan ”warna” yang menggoda dan ada ”faktor menguntungkan” bagi yang terlibat (pasif ataupun aktif) juga salah satu strategi agar SI menjadi tidak terabaikan dalam pandangan orang.
Dalam prakteknya, SI harus konsisten menggelar program-program (bulanan atau tahunan) yang secara reguler diadakan dengan mengusung aroma khusus sinema Indonesia baik berupa pemutaran film Indonesia, peluncuran perdana (premiere) film Indonesia, diskusi film Indonesia, workshop film Indonesia ataupun kompetisi-kompetisi seperti kompetisi pembuatan film dan kompetisi penulisan kritik film Indonesia, baik sebagai pelaksana ataupun sebagai fasilitator. Tepatlah kiranya agar SI bukan lagi semata memproses film-film untuk diarsipkan, tapi menjadi media info bagi yang ingin mengetahui perfilman Indonesia. Hal ini akan menempatkan SI bukan lagi sebagai pihak yang berada dipinggir lingkaran sinema Indonesia, tapi sebagai salah satu tiang penyangga yang menopang lingkaran itu agar tetap berdiri dan berputar.
Menengok sejenak kedalam SI. Dalam struktur kerja dimanapun, pasti ada tenaga-tenaga yang terlibat didalam struktur tersebut yang selanjutnya akan menggerakkan sebuah sistem kerja. Struktur sebenarnya sesuatu yang statis, berbeda dengan sistem yang lebih dinamis dan bergerak ketika bagian-bagian dalam struktur itu bergerak. Begitupula tentunya yang terjadi pada SI. Dalam konteks pengarsipan ini struktur itu akan menjadi proses pendelegasian, dari bagian yang satu mengalirkan pada bagian yang lainnya. Urutan umumnya : materi (film) yang diterima-dicari akan diserahkan pada bagian pendataan. Bagian pendataan akan memproses materi tersebut untuk kemudian dibuatkan alur distribusi pada bagian penggandaan materi dan bagian penyimpanan. Selanjutnya materi tersebut bisa disirkulasikan dalam berbagai bentuk. Dengan kata lain bahwa bagian sirkulasi ini akan berhubungan dengan stake holder.
Mengikuti urutan yang paling awal, disinilah pertama kali SI bisa membuktikan dirinya sebagai lembaga yang menawarkan ke-otentik-an, bagaimana materi itu diperoleh dan bentuknya menyerupai apa. Pada tahap awal inilah sebenarnya perjuangan dimulai dengan membawa beban nama ”pengarsipan”. Masyarakat akan menilai sendiri, SI sebagai pengarsipan film atau pengarsipan film ”saja”. Semua itu tergantung pada sikap SI sendiri dalam menentukan nilai yang ingin disematkan padanya. Inilah perjuangan sebenarnya dalam gelanggang pengarsipan demi sebuah eksistensi.
Proses selanjutnya akan lebih mudah karena menyerupai proses-proses kerja pada umumnya. Kesulitan berikutnya akan dihadapi oleh bagian sirkulasi yang direpresentasikan dalam bentuk publikasi dan kehumasan yang akan membawa materi-materi tersebut menjadi berarti dan bermakna. Ke-berarti-an dan ke-bermakna-an ini tentu akan menjadi milik SI seutuhnya, sembari berharap kualitas SI akan terbangun.
Bagian dalam struktur itu tentu saja kita kenal dengan nama ”karyawan”, ”pegawai”, ”staf” dan sebagainya -dengan kata lain disebut sumber daya manusia (SDM). Melibatkan SDM dalam wilayah-wilayah praktik intelektual tentu menjadi prioritas utama bagi SI sehingga dalam dunia sinema yang aktif, SDM SI yang pada hakikatnya juga merupakan komunitas sinema Indonesia harus bergerak dalam keaktifan, bukan hanya menjadi penunggu setia ruang-ruang dimana artefak-artefak film bermukim. Sepeninggal almarhum SM Ardan, melibatkan insan sinema dalam SI juga bisa menjadi nilai berarti, karena (sekali lagi saya coba sebutkan) dalam dunia sinema yang aktif kita tentu tidak bisa berharap banyak bagi model kerja nine to five. Seyogyanya SI bisa memperluas cakrawalanya dan menggerakkan sistem menjadi lebih dinamis dengan pembagian beban kerja yang seimbang.

Penutup
Menyimpulkan sekaligus menjawab dua pertanyaan besar yang ada di paragraf awal, bahwa SI adalah penting dalam konteks perfilman Indonesia karena disanalah segala info tentang film Indonesia secara periodik berlangsung bisa diharapkan. Untuk itulah SI harus diterima sebagai bagian dari sinema Indonesia.
Bagi SI pembuktiannya bisa dilakukan dengan menjaga keberlangsungannya melalui proses kerja yang dinamis dan selalu menghasilkan sesuatu yang memang dibutuhkan oleh para penggunanya, tidak selalu menyibukkan diri dalam kerja yang statis dan lebih bersifat sesaat karena dunia ini selalu berubah mengikuti perkembangan pemikiran yang diaplikasikan melalui praktik-praktiknya. Dalam hal ini SI harus bisa bersikap situasional dan menjalin kerjasama dengan lebih banyak institusi yang kontekstual, salah satu contoh seperti yang pernah dilakukan dengan pemerintah Jepang pada tahun 1994 berupa pengadaan peralatan editing dan peralatan pembersih film (film cleaning machine), dimana untuk proses kerja yang disebut terakhir ini paling besar menghabiskan biaya –karena harus dilakukan secara reguler dan tidak bisa ditunda! Karena dampak dari pengabaian proses ini adalah film menjadi berjamur dan lengket. Jika ini yang terjadi maka SI mungkin hanya nama dengan koleksi citra-citra dalam frame seluloid yang sudah tidak bisa menjelaskan apapun.
Yang paling utama dalam menggerakkan semuanya adalah adanya peran aktif pemerintah (atau institusi apapun) untuk turut membantu menjaga eksistensi SI sebagai lembaga pengarsipan film Indonesia dalam menembus labirin birokrasi dan administrasi yang masih dominan dalam membentengi institusi dunia. Besar pengaruhnya bagi SI untuk mengesahkan identitas yang selama ini mengelabuinya, karena saat ini posisinya seakan berada diantara titik marjinal dan dominan dalam jagad sinema Indonesia. Berbarengan pula karena rendahnya kesadaran pengarsipan (out of archive minded). Tepatlah kiranya jika memang mengarsipkan film (Indonesia) seperti proses menjelajah dalam ruang semu.

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Basuki, Sulistyo, Pengantar Dokumentasi, Bandung : Rekayasa Sains, 2004
Chandler, Daniel, Semiotic : the basic, 2nd edition, New York : Routledge, 2007
Situs :
http:/www.pnri.go.id
http:/www.fpfi.org
http:/www.phpbb.com
http:/www.antara.co.id

(Dimuat dalam Jurnal Pohon Hayat IKJ Vol.2-No.1 Juli 2008)

Menjelang Pemilu 2009 ini, semua partai-partai politik berlomba melakukan kampanye bagi partainya untuk saling berebut perhatian calon pemilih. Ada perubahan tren dalam teknik-teknik kampanye partai politik sepuluh tahun belakangan ini, terutama dalam dua Pemilu terakhir (2004 dan 2009). Pada Pemilu terdahulu yang hanya diikuti oleh tiga partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) lebih mengutamakan kampanye pengelolaan massa yang bersifat “pawai jalanan” dengan arak-arakan yang berlabel identitas-identitas partai (kaos, selebaran, bendera dan sebagainya dengan tiga ikon utamanya : warna partai, nomor urut partai dan lambang partai). Arak-arakan dan pawai jalanan tersebut akan bermuara pada titik-titik konsentrasi utama bagi para partai peserta, biasanya lapangan-lapangan besar yang diisi berbagai acara yang mengatasnamakan temu tokoh, orasi politik, atau berbagai dalih program acara lainnya. Untuk Pemilu 2009 kini yang diikuti oleh 34 partai politik lebih mengedepankan teknik visual campaign (kampanye melalui perantara jasa media –diantaranya iklan Televisi, program acara televisi dengan tema politik, program acara radio, billboard, banner, spanduk dan lain sebagainya, yang banyak berjejer disepanjang jalan). Yang paling diburu tentunya media elektronik –dalam hal ini Televisi, karena memang Televisi dianggap sebagai sebuah perangkat media yang sanggup menjangkau setiap sudut kota dan desa yang ada di Indonesia tanpa terelakkan.
Namun apakah strategi ini kemudian merupakan solusi yang tepat untuk menjangkau massa pemilih sebanyak-banyaknya? Bagaimana calon pemilih bisa memahami strategi kampanye (iklan) media dengan field of experience (latarbelakang pengalaman) yang berbeda dari setiap orang?
Kita coba tengok teknik-teknik kampanye Pemilu sebelum reformasi 1998 ketika masih diikuti oleh tiga partai itu. Strategi yang paling banyak dilakukan adalah dengan pawai dan pengumpulan massa, dimana semuanya hampir mengandalkan identitas lambang, warna dan angka partai (nomor urut partai). Yang terutama faktor “angka”. Meskipun angka-angka tersebut nantinya berfungsi sebagai brand image pada orientasi akhir keberpihakan pemilih partai saat pencoblosan kartu Pemilu, namun seringkali nomor-nomor tersebut juga dibangun dengan petunjuk pencitraan (sign of finger) pada sifat-sifat normatif yang lain. Dalam setiap kampanyenya, PPP dengan nomor urut 1 mempengaruhi massa dengan mengacung-acungkan “jari telunjuk” yang merujuk pada asosiasi sebagai “yang pertama”, “paling unggul” –pokoknya paling utama. “Jari-jari” kampanye Golkar dengan nomor 2 seringkali juga dirujuk pada simbol “peace” (jari telunjuk dan jari tengah) yang diterjemahkan sebagai perdamaian. Yang terakhir adalah PDI dengan nomor 3 yang seringkali diidentikkan dengan teknik “penjarian” untuk menciptakan lambang “metal” (jari jempol, jari telunjuk dan jari kelingking) yang pengertiannya sebagai grassroot –rakyat kelas bawah.
Memang tidak ada argumen yang bisa dikedepankan tentang seberapa efektifnya permainan “tanda tangan” ini bisa berhasil (karena nomor 2 selalu menang?!). Namun teknik permainan tanda ini diyakini berhasil mempengaruhi psikologis karena faktor kedekatan dan kemudahan mencerna tanda-tanda ini bagi setiap orang, ditambah juga karena memang perhatian pemilih kala itu hanya berurusan pada sembilan hal saja : angka 1-hijau-Ka’bah-angka 2-kuning-pohon beringin padi kapas-angka 3-merah-kepala banteng, tergantung seberapa dekatnya pemilih “membaca” tanda-tanda tersebut. Teknik ini juga begitu berhasil karena memang selama bertahun-tahun hampir tidak ada perubahan kepemilikan angka, warna dan lambang yang menunjuk pada setiap partai itu sehingga tanda-tanda tersebut menjadi identifikasi statis yang paling utama dalam “menjual” partai.
Bandingkan dengan model kampanye saat ini dimana setiap partai hampir tidak lagi melakukan model kampanye “jalanan” dan permainan tanda seperti halnya Pemilu tempo doeloe. Dengan sebegitu banyaknya partai yang ikut sebagai kontestan Pemilu 2009 ini, mungkin bisa dibayangkan bahwa hampir setiap hari jalan-jalan di Indonesia akan diisi oleh hingar-bingar kendaraan dan atribut-atribut yang berwarna-warni. Begitupun dalam mengelola tanda-tanda ke-partai-an. Dengan banyaknya partai peserta tentu akan sulit menerobos masyarakat dengan banyaknya warna yang sama dan lambang yang juga nyaris serupa bagi beberapa partai untuk diterima memori masyarakat.
Saat ini model kampanye lebih diutamakan dengan memanfaatkan jasa media. Pemanfaatan media yang dianggap paling mujarab adalah dengan membuat kampanye di televisi, baik dalam bentuk iklan maupun program televisi dengan konsep yang lebih mengedepankan intelektualitas partai, semacam talkshow, debat partai, wawancara dan program acara politik lainnya. Televisi menjadi primadona karena dianggap memiliki jangkauan paling luas bagi publik dalam memperoleh informasi –terlepas apakah penonton menjadi terdominasi atau tidak. Bagi masyarakat (calon pemilih), sekalipun merasa “paham” dengan suatu partai politik tertentu, keberadaan televisi itu disekitarnya tidak terelakkan, yang artinya juga bahwa dirinya menjadi tidak terbatasi untuk menonton iklan kampanye dari partai politik lain.

Dengan “kebebasan” menjelajah ruang dan waktu yang dianut oleh televisi, maka perubahan besar yang terjadi dalam menerapkan konsep kampanye dari waktu ke waktu bukan saja sekedar memperkenalkan tanda-tanda partai yang dianggap umum kepada calon pemilih –seperti halnya yang terjadi pada Pemilu sebelumnya. Tanda-tanda itu semakin banyak yang bisa disampaikan karena begitu luasnya “lahan” yang bisa disediakan media televisi bagi penyampaian aspirasi tanda partai dalam berkampanye. Bahkan tiga tanda umum yang telah disebutkan diatas bisa menjadi tidak berarti sama sekali karena faktor kemiripan warna dan lambang yang sangat mencolok dan angka-angka partai yang “tidak abadi” bagi setiap partai era kini, sehingga akhirnya lahan yang tersedia bagi proyeksi penandaan akan semakin besar tempatnya.

Jika dalam kampanye pengelolaan massa proses ”perkenalan” partai begitu terbatas dalam teritori wilayah tertentu saja dan seringkali hanya dihadiri figur-figur politik kelas bawah, maka dengan karakter televisi yang sedemikian menjelajahnya kini setiap partai menciptakan teknik dengan memproduksi faktor figure for public dimana tokoh-tokoh partainya dipersonifikasikan sebagai representasi partainya. Faktor ini dianggap paling masuk akal untuk menjerat memori masyarakat melalui teknik personal branding terlebih dahulu sebelum akhirnya mendekatkan masyarakat pada identitas-identitas partai nantinya. Bahkan bukan hanya menghadirkan sekedar figur pendukung namun top figure, sebut saja Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat), Wiranto (Partai Hanura), Prabowo Subijanto (Partai Gerindra), Jusuf Kalla, Sultan Hamengku Buwono X, Akbar Tandjung, (Partai Golkar), Megawati Soekarnoputri (PDIP), Amien Rais atau Sutrisno Bachir (PAN), Gus Dur (PKB), Hidayat Nur Wahid (PKS), Yusril Ihza Mahendra (PBB) dan lain sebagainya.

Yang utama dari pemanfaatan tokoh politik di televisi bagi setiap partai itu tentunya adalah upaya mendekatkan partai kepada masyarakat dimana tokoh-tokoh partai itu dianggap “berbicara” langsung kepada calon pemilih tentang cita-cita dan orientasi partainya jika berhasil memenangi Pemilu kelak. Perihal tagline, jika dalam iklan kampanye partai selalu diakhiri dengan tagline berupa jargon partai dengan teks-teks yang moralis –plus membuai dan menenangkan hati pemilih, barangkali itu hanya tuntutan skenario “beriklan yang baik” saja. Tagline sebenarnya justru adalah tokoh itu sendiri dengan segenap narasi yang mengelilinginya, karena bagaimanapun teks dalam tagline itu diciptakan sebagai penutup yang “akan selalu mengingatkan”. Artinya, setiap tokoh akan menampilkan dirinya sebagai “yang paling tidak bermasalah” terhadap masyarakat.
Untuk itulah dalam setiap tanda-tanda yang di-encoding seindah apapun, setiap partai politik tentu belum bisa mengklaim bahwa konsep-konsep kampanye tersebut telah berhasil membawa keberhasilannya beriklan partai karena keterbacaan tanda tersebut tentu akan dikembalikan lagi kepada proses decoding dari setiap pembaca. Yang paling penting bagi setiap partai politik tentunya adalah hasil akhir dari Pemilu 2009 itu nantinya –terlepas apakah tanda-tanda itu berhasil dimaknai dan diartikulasikan dengan benar atau tidak.

(Dimuat pada Majalah Gong edisi 108/X/2009)

Belajar Film di Sekolah

Posted: 3 November 2011 in Film
Tag:, , ,

Cikal bakal kelahiran film dunia telah dirintis oleh orang-orang di daratan Eropa (Perancis) tahun 1895 yang didasari akan kebutuhan eksperimentasi teknologi alat bernama cinematograph. Namun bagi dunia film Indonesia kelahirannya tidak dimulai dari kebutuhan yang sama -dimana Lumiere Bersaudara (Louis dan Auguste) telah/hanya memperlakukan film sebagai alat (tools) semata bagi kebutuhan proyeksi imaji (gambar). Meski memang dalam sejarahnya, Usmar Ismail menyebut dunia film Indonesia sebagai rimba raya yang gelap gulita (een duisternis). Sementara Gayus Siagian menyebutnya dengan daerah tak dikenal (terra incognita).

Namun kalau boleh “membanggakan” diri, ada catatan kecil bahwa perkembangan dunia film Indonesia meski lahir dari hal yang “gelap” namun tidak serta merta terdominasi oleh kondisi awal film yang telah lahir, yang sarat dengan campur tangan teknologi yang sedang dikembanginya. Dengan kata lain bahwa kelahirannya tidak menyadur kelahiran sejarah peradaban film di dunia yang telah ada sebelumnya. Justru kelahiran Sinema Indonesia bersifat ideologis, terutama bagi pencitraan bangsa di mata dunia yang memang saat itu bangsa Indonesia sedang berada dalam kecamuk perang melawan penjajah. Sejurus kemudian, dari situlah kemudian lahir film-film yang sangat mengusung sikap-sikap nasionalisme, baik isi maupun judul-judulnya, antara lain Darah dan Do’a (Long March), Enam Djam di Yogja, Lewat Djam Malam, Embun, Pedjuang dan sebagainya.

Patut diketahui juga bahwa para pembuatnya (filmmaker) –yang kemudian menjadi tokoh-tokoh perfilman Indonesia– pun tidak terdidik dalam pengetahuan film yang mumpuni. Sebutlah satu nama Usmar Ismail, yang dinobatkan sebagai Bapak Film Indonesia, menerobos ke dunia film dengan latar belakangnya sebagai militer dan pengalamannya dalam mengelola perkumpulan sandiwara amatir bernama MAYA. Tapi semangatnya dalam membuat film telah mengantarkan bangsa ini (sampai saat ini) tercatat dalam peta jagad sinema dunia sebagai negara yang sanggup membuat film. Semangat awal ini dilanjutkan dengan mendirikan perusahaan film bernama PERFINI (Perusahaan Film Nasional Indonesia) tahun 1950. Begitupun akhirnya, untuk mengisi kebutuhan sumber daya manusia (filmmaker) dalam menuntaskan hasrat bagi penciptaan karya film yang baik dan layak, akhirnya Usmar Ismail studi film di jurusan Sinematografi pada Universitas California Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat pada tahun 1952-1953. Jejak ini kemudian diikuti oleh yang lain, diantaranya D. Djajakusuma yang menimba ilmu di University of Washington, Drama Department dan University of Southern California, Film Department Amerika Serikat pada tahun 1956 sampai 1957, atau Syumandjaja yang belajar film di Institut Sinematografi Moscow, Rusia tahun 1958.

Ada satu hal yang penting yang bisa dicatat dari perjalanan awal produksi perfilman Indonesia yang telah dirintis oleh pelopor-pelopor film Indonesia, bahwa belajar ilmu film bagi proses penciptaan karya film nantinya menjadi faktor penting, terutama bagi tenaga-tenaga pekerja film itu sendiri. Film telah menjadi media multidimensional dimana didalamnya bersemayam bentuk-bentuk kesenian lainnya yang menjadi aspek pendukung bagi karya film itu sendiri seperti drama, musik, tari, seni rupa, fotografi dan sebagainya. Atas dasar itu pulalah maka sekembalinya Usmar Ismail dari studinya di Amerika Serikat beliau selalu mengadakan kursus singkat secara rutin dihadapan para pekerja film (tenaga kreatif) di studio PERFINI tentang ilmu sinematografi.

Ada kesadaran bahwa membuat film juga harus diimbangi dengan ilmu film yang memadai (meski juga tidak menutup kemungkinan bahwa film bisa dilahirkan oleh orang-orang yang non-studi film), terutama bagi proses eksplorasi aspek-aspek sinematografi yang begitu luas terhampar seperti komposisi bidang gambar, editing, sudut pandang (angle) dan sebagainya.

Maka untuk tetap mempertahankan kelahiran film yang “cerdas” di Indonesia sekaligus mengantisipasi semangat membuat film dari para calon pekerja film di Indonesia yang semakin besar, didirikanlah sekolah film formal bernama Akademi Sinematografi-LPKJ Jakarta sekitar awal tahun 1970, hasil bentukan orang-orang yang memang telah malang-melintang di jagad perfilman Indonesia sejak era sejarah film Indonesia dimulai, seperti D. Djajakusuma, Chalid Arifin, Syumandjaja, Misbach Yusa Biran, D.A Peransi, M.D Alif, Soetomo Gandasoebrata, Soemardjono dan sebagainya.

Pada awal mula dibentuknya tahun 1971-1989, Akademi ini hanya mempunyai satu program studi yakni Program Studi Sinematografi atau Program Studi Film. Setelah menjadi Fakultas yang berdiri sendiri di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Akademi Sinematografi berganti nama menjadi Fakultas Film dan Televisi (FFTV). Dari sinilah kemudian dibuka Jurusan Televisi (1990) yang disusul oleh Jurusan Fotografi (1994). Hal ini sangat didasari oleh kebutuhan akan ilmu audiovisual yang semakin meningkat dan telah menjadi bidang ilmu yang baru bagi masyarakat.

Saat ini FFTV-IKJ yang masih setia bermukim di dalam Komplek Taman Ismail Marzuki Jalan Cikini Raya 73 Jakarta Pusat menerapkan konsep ilmu-masyarakat dalam mengelola proses keilmuan audio-visualnya (film, televisi, fotografi). Artinya proses pengajarannya yang ditawarkan tidak melulu berlandaskan kebutuhan akan ilmu pengetahuan film semata, tapi juga berupaya mengantisipasi faktor “tidak terduga” yang datang dari luar seperti perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakatnya.

Dengan mengusung visi menjadi pusat pendidikan audio-visual terkemuka dan menjadi panutan dan rujukan pendidikan sejenis dalam lingkup nasional maupun regional dan mengedepankan misi sebagai penyedia sistem dan materi pengajaran yang efektif, efisien dan selalu terbuka terhadap perkembangan industri kreatif, maka keberadaan FFTV-IKJ di Indonesia menjadi begitu penting, terutama dalam mengiringi perkembangan dunia film Indonesia khususnya dan dunia audio-visual Indonesia umumnya.

Saat ini FFTV memiliki 2 (dua) Program Studi yakni Program Studi S.1 Televisi dan Film (dengan minat utama : skenario, penyutradaraan, produksi, kamera, artistik, suara, editing, animasi, dokumenter, fotografi, kajian sinema) serta Program Studi D.3 Televisi dan Film (dengan minat utama : skenario, penyutradaraan, produksi, kamera, artistik, suara, editing). Sementara kurikulum yang digunakan adalah kurikulum inti (mata kuliah wajib yang menjadi pedoman pelaksanaan perkuliahan yang diterbitkan oleh pemerintah) dan kurikulum institusional (yang mrupakan mata kuliah tambahan ari kelompok ilmu dalam kurikulum inti yang disusun dengan berpedoman pada visi, misi dan ciri khas IKJ). Yang menjadi ciri khas lain dari FFTV-IKJ (bahkan yang membedakan dari perguruan tinggi dalam bidang ilmu lainnya) adalah proses perkuliahan merupakan kombinasi antara teori dan praktek. Tidaklah mengherankan jika di dalam kampus ini mudah ditemui ruang-ruang praktek dengan segala kelengkapan peralatannya seperti studio mini, ruang praktek editing, ruang praktek tata suara, ruang komputer terapan dan sebagainya. Perpustakaan sebagai penunjang perkuliahan juga telah didesain sebagai ruang ekspresif, ruang diskusi, ruang membaca dan ruang menonton. Bahkan awal tahun 2010 ini FFTV-IKJ telah memiliki sebuah gedung bernama ArtCinema FFTV, semacam Cinema Hall yang bisa digunakan untuk proses eksebisi karya film bagi mahasiswa dan umum, ataupun sebagai tempat diskusi dan apresiasi bagi mahasiswa ataupun umum.

Periode perjalanan FFTV-IKJ yang hampir 40 tahun sampai saat ini memang telah melahirkan tenaga-tenaga kreatif yang tersebar dan mendominasi bidang audio-visual di Indonesia seperti filmmaker, broadcaster, fotografer, advertiser dan sebagainya. Memang tantangan yang dihadapi FFTV-IKJ dimana rintisan kelahirannya telah dimulai oleh tokoh-tokoh film Indonesia ke depan masih cukup besar, terutama dalam melahirkan para tenaga kreatif bidang audio-visual yang mengenal dengan benar masyarakatnya. Namun sampai sejauh ini apa yang dilakukannya telah berada pada jalur yang tepat.

Untuk itulah ketika mengulang apa yang diucapkan oleh Usmar Ismail tentang rimba raya yang gelap gulita itu, maka FFTV-IKJ telah menjadi salah satu alat penyinarnya agar perjalanan film Indonesia menjadi “taktersesat”.

(Dimuat dalam Majalah Delta Film edisi Mei/2010)

Cikal Bakal Film “Nasional” Indonesia

Membicarakan kelahiran perfilman di Indonesia, akan selalu terbawa pada film karya Usmar Ismail yang berjudul Darah dan Do’a/Long March of Siliwangi (1950). Film ini dianggap pelopor bagi perfilman (nasional) Indonesia. Hari pertama pengambilan gambar untuk produksi film ini dilakukan tepat pada tanggal 30 Maret tahun 1950. Tanggal ini kemudian menjadi hari istimewa bagi perfilman Indonesia dengan ditetapkannya sebagai Hari Film Nasional[1]. Dasar pertimbanganya, seperti yang tertera dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia adalah karena untuk pertama kalinya film cerita dibuat oleh orang dan perusahaan Indonesia. Selain itu juga dalam butir keputusannya dinyatakan bahwa penetapan Hari Film Nasional ini sebagai upaya meningkatkan kepercayaan diri, motivasi para insan film Indonesia serta untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat film Indonesia secara regional, nasional dan internasional. Jarak yang cukup jauh antara tahun pembuatan film ini -1950 dengan ketetapan pemerintah -1999, sekitar 49 tahun memperlihatkan betapa pengakuan negara terhadap perfilman nasional dilakukan melalui proses panjang, hampir setengah abad!

10428577_479881715508563_2384140198813493435_n.jpg

Materi ini pernah diseminarkan di IKJ

Misbach Yusa Biran (MYB) dalam bukunya Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa menyebutkan bahwa film-film sebelum karya Usmar ini lahir disebutnya belum memiliki kesadaran nasional. Misbach mengutip hasil wawancaranya dengan Usmar Ismail bahwa ia (Usmar Ismail -penulis) akan membuat film yang bisa mencerminkan national personality, kepribadian bangsa. Lainnya, dalam kumpulan tulisannya Mengupas Film, Usmar Ismail juga  menyatakan bahwa film Darah dan Do’a ini merupakan film yang pertama kalinya menceritakan tentang kejadian-kejadian yang nasional sifatnya. Dan tidaklah mengherankan ketika akhirnya film ini mendapatkan kehormatan untuk diputar di tempat kediaman Bung Karno (Soekarno –Presiden Indonesia Pertama) yang baru, pertengahan tahun 1950[2].

Mengenai pembuatnya, H. Rosihan Anwar (meninggal dunia pada hari kamis, 14 April 2011 –ketika naskah ini sedang dibuat) dalam makalah pengantar pada pertunjukan film retrospektif Usmar Ismail di Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986 menuturkan bahwa sifat-sifat utama dan nilai-nilai yang dianutnya ialah patriotisme atau cinta tanah air, nasionalisme yang tinggi dan idealisme yang menyala-nyala atau hidup dengan bercita-cita. Usmar memang pernah tercatat sebagai tentara Indonesia antara tahun 1945 sampai 1949 dengan pangkat Mayor TNI di Yogyakarta. Apakah latar ini berhubungan langsung, tentu perlu dikaji lebih jauh karena hal ini pula yang pernah menjadi perdebatan antara Usmar Ismail dan teman-temannya. Usmar dianggap kurang nasionalis karena pernah bekerja dengan perusahaan film Belanda SPFC (South Pacific Film Corp.). Meskipun dibantah oleh Usmar melalui beberapa alasan bahwa ia menerima pinangan dari SPFC karena merupakan persyaratan yang harus dijalaninya ketika ia dilepaskan dari penjara. Selain itu ia juga memang ingin mempraktekkan teori-teori yang diperolehnya dari masa pendudukan Jepang, dan kursus-kursus film selama di Yogyakarta (1946-1947). Yang paling utama adalah pernyataan Usmar sendiri bahwa ia dijanjikan untuk bisa bekerja secara merdeka di SPFC, meskipun akhirnya menimbulkan pertikaian antara Usmar dan produser SPFC yang akhirnya membuatnya meninggalkan SPFC.

Namun ada pernyataan nampaknya menjadi ambigu perihal “nasionalisme” ketika Usmar sendiri menyebutkan bahwa kesadaran nasional justru telah mulai ada dalam filmnya yang berjudul Tjitra (yang merupakan nama pahlawan perempuan Indonesia). Gayus Siagian dalam bukunya Sejarah Film Indonesia (FFTV-IKJ Press, 2010) memberikan sebuah penilaian yang cukup menarik dan patut dipertimbangkan. Ia menyatakan bahwa film ini (Darah dan Do’a) diberi predikat nasional karena berbeda dengan film-film sebelumnya, modal untuk film ini adalah modal nasional. Perusahaan ini dipimpin oleh orang-orang Indonesia sejati, produksinya dipimpin oleh Usmar Ismail sendiri, demikian juga penyutradaraan, ceritanya adalah cerita Indonesia, artis-artisnya juga orang-orang Indonesia, juru kamera, penulis skenario, editor dan lain-lain orang Indonesia.

10628342_480350992128302_9029892248982895401_n

Suasana Seminar

Dalam semangat “nasionalisme”, dalam poster filmnya[3], banyak sekali kalimat-kalimat penggugah semangat bagi nasionalisme : “Film jang mesti dilihat oleh semua pentjinta bangsa!” dan juga kalimat “Perdjuangan bangsa Indonesia hidup kembali dalam : THE LONG MARCH Darah dan Do’a”, seperti ketinggalan langkah dalam upaya mengedepankan semangat nasionalisme ini –dalam konteks film Tjitra yang menurutnya (Usmar) sebenarnya sudah mulai “nasional”.

Ini barangkali bisa menjadi sebuah pertimbangan baru untuk mengurai kembali pengertian perfilman nasional Indonesia, karena bukan tidak mungkin legitimisi yang terus menerus terhadap film Darah dan Do’a ini hanya merupakan konstruksi saja, atau barangkali ini tidak lebih atas dasar penilaian “subyektif” belaka atas sosok Usmar Ismail saja dalam membuat film, yang sarat atau tanpa tendensi “kesadaran nasional” yang sering digaungkan tersebut. Bisa disimak apa yang disampaikan Usmar dalam bukunya itu :

Meskipun “Tjitra” mendapat sambutan yang baik dari pihak pers, terus terang film itu terlalu banyak mengingatkan saya kepada ikatan-ikatan yang saya rasakan sebagai pengekangan terhadap daya kreasi saya. Karena itu saya lebih senang menganggap “Darah dan Do’a” sebagai film saya yang pertama, yang seratus persen saya kerjakan dengan tanggung jawab sendiri.

 

Saya mencoba mengutip pernyataan dari Chairil Gibran Ramadhan, yang dalam artikelnya Belanda, Tionghoa, dan Film Lama di Batavia (Moviegoers, edisi 003/April/2011) juga memperlihatkan nada serupa :

Karena ketika 30 Maret diingat sebagai Hari Film Nasional, sesungguhnya masyarakat utamanya insane film, tidak hanya mengingat nama dan karya yang kini berjaya tetapi juga yang telah lama tenggelam oleh waktu (tepatnya sengaja ditenggelamkan manusia), padahal merekalah perintis perfilman nasional lewat peran besarnya –namun kerap dianggap sebagai penjajah dan tamu : Orang Belanda dan orang Tionghoa.

 

***

 

Cerita film Darah dan Do’a[4] ini berdasarkan kisah nyata yang ditulis Sitor Situmorang tentang perjalanan panjang prajurit RI (long march) yang diperintahkan kembali, dari Yogyakarta ke Jawa Barat, selain tentunya inspirasinya terhadap Tentara Merah Tiongkok “The Long March”. Dalam film ini rombongan hijrah yang terdiri dari prajurit dan para keluarganya itu dipimpin Kapten Sudarto (Del Juzar). Ada ketegangan yang terjadi sepanjang perjalanan hijrah tersebut. Tentang penderitaan, ketakutan akan perang, pengkhianatan dan kehidupan manusia lainnya. Film ini disutradarai oleh Usmar Ismail dan merangkap sebagai penulis skenario, yang ceritanya berdasarkan karya Sitor Situmorang. Perusahaan pembuatnya adalah Perfini. Tim produksinya antara lain Max Tera (kameramen dan editor), Basuki Resobowo (artistik) dan GRW Sinsu (penata musik). Pemain-pemainya antara lain Del Juzar, Farida, Aedy Moward, Sutjipto, Awal, Johanna, Suzzana, Rd Ismail, Muradi dan sebagainya.

Sejarah Awal Produksi Film di Indonesia –Peran Orang Indonesia

Semenjak kehadiran pertunjukan film di dunia tahun 1890-an terdapat jangka waktu yang panjang sejak ditetapkannya ”film nasional” Indonesia tahun 1950. Namun sebenarnya publik Indonesia jauh hari telah diperkenalkan secara langsung oleh pertunjukan film, terutama bagi orang-orang di Batavia (Jakarta). Bahkan melintas jauh kebelakang, prinsip-prinsip film justru sudah amat dikenal oleh orang di Indonesia melalui pertunjukan wayang kulit. Melalui wayang kulit ini Gayus Siagian dalam buku menyebutkan :

“Benda-benda berupa gambar orang dari kulit diprojektir pada sehelai kelir (layar) ditempat gelap didepan penonton. Suara diberikan oleh seorang dalam menceritakan kejadian berupa dialog. Penonton melihat bayangan-bayangan hitam putih. Skenario biasanya diambil dari Mahabrata dan Ramayana; dan tokoh-tokohnya pun sudah dikenal publik”.

Bisa diduga, kehadiran pertunjukan film (moving picture) pertama di bumi Indonesia, terutama dalam konsep cerita secara visual sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi sebagian orang di Indonesia. Proses pencerapan cerita secara visual itu akan menjadi lebih mudah diterima karena kebiasaan-kebiasaan yang dihadapinya.

Seiring dengan dimulainya pertunjukan film pertama kali di Indonesia pada tanggal 5 Desember 1900, bermunculan pula bioskop. dalam peng-kelas-an bioskop. Sebut saja bioskop Decca Park di Jakarta dan Concordia di Bandung yang khusus diperuntukkan bagi orang Eropa. Ada juga bioskop Kramat yang diperuntukan bagi kelas menengah. Untuk kelas bawah tersedia bioskop Rialto[5].

Pembagian lebih rinci kelas-kelas bioskop itu dapat dijabarkan dalam buku HM Johan Tjasmadi, 100 tahun Bioskop di Indonesia 1900-2000 sebagai berikut :

Masyarakat Eropa (golongan orang-orang Belanda dan ras kulit putih yang datang dari Eropa –disebut warga kelas satu), masyarakat Timur Asing (terdiri atas pendatang dari India, Jepang Tionghoa –disebut warga kelas dua), masyarakat Indo-Belanda (struktur masyarakat yang bisa permohonannya persamaannya telah disetujui untuk mendapatkan perlakuan seperti warga kelas satu –disebut sebagai warga kelas tiga) dan masyarakat pribumi (disebut warga kelas empat).

Kondisi ini bisa dijelaskan juga dari sekelumit kalimat yang penulis temukan dalam buku Dutch Culture Overseas (Frances Gouda, 2007) yang berbunyi :

Dalam latar Hindia Belanda, definisi kewarganegaarn yang paling komunitarian di Belanda sendiri diubah menjadi pemilahan yang kaku antara orang Eropa dan Pribumi (inlanders), yang mengasingkan berjuta-juta orang Indonesia ke dalam wilayah buram di ujung pemilahan kolonial yang berlawanan, tempat mereka bisa digambarkan dengan berbagai bentuk keliyaan (otherness).

Sampai tahun 1936 saja tercatat sudah ada sekitar 225 gedung bioskop yang berdiri di hampir seluruh walayah Indonesia[6]. Bahkan dalam catatan Khrisna Sen pada pertengahan tahun 1920 terdapat setidaknya 13 gedung bioskop yang berdiri di Jakarta.

Perkembangan bioskop di Indonesia bisa dikatakan naik-turun. Kemerosotan pengelolaan bioskop timbul karena adanya kebosanan dari penonton umum (pribumi) di Indonesia dengan sajian tontonan yang dianggapnya terlalu monoton. Ditambah juga dengan munculnya Ordonansi tahun 1926 yang memberikan beban pajak amat berat pada bioskop, terutama bioskop-bioskop kecil. Perkembangan dan pertumbuhan bioskop awal tidak sedikitpun menyinggung tentang partisipasi yang aktif dari orang-orang pribumi Indonesia. Dalam hal ini hampir semuanya dikelola dan dijalankan oleh orang-orang non-pribumi. Dalam konteks kehadiran film di Indonesia, keberadaan orang-orang Indonesia masih bersifat pasif, mereka hanya berperan sebagai penonton saja, tidak terkecuali para pribumi yang terpelajar. MYB pun mencatat, “semenjak film diperkenalkan di Indonesia, maka yang memegang peranan utama dalam hal-hal perfilman adalah selalu orang asing”. Sejarah awal ini pun memperlihatkan bahwa orang-orang Indonesia lebih suka menonton film yang bersumber dari luar negeri.

Produksi film cerita paling awal di Indonesia dilakukan oleh seorang Jerman bernama G. Kruger yang bersama dengan orang Belanda Heuveldop membuat film Loetoeng Kasaroeng, yang menampilkan cerita tentang legenda terkenal di Jawa Barat, Indonesia[7]. Film ini bisa dikatakan sebagai film nasional-transnasional pertama di Indonesia karena ada kerjasama antara orang-orang Indonesia dengan orang asing. Pemain-pemainnya juga berasal dari Indonesia, diantaranya Martoana dan Oemar. Bahkan Bupati Bandung Wiranatakusumah V menjadi pemodalnya dengan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk memproduksi film tersebut. Produksi ini juga melibatkan orang-orang Indo-Bandung sebagai penghubung komunikasi antara orang-orang asing dan orang Indonesia. Ada juga Raden Kartabrata yang diserahkan untuk memimpin para pemain, khususnya dari golongan priyayi. Lokasi pengambilan gambarnya berada di wilayah Bukit Karang, dua kilometer dari Kota Pandeglang, Jawa Barat.

Semenjak film Loetoeng Kasaroeng ini dibuat, maka selanjutnya produksi kerjasama Indonesia-Belanda semakin banyak dilakukan. Salah satunya Eulis Atjih (1927). Menurut MYB ada hal menarik di film ini bahwa kata “Indonesia” sudah digunakan pada kesempatan ini. Namun penulis juga melihat bahwa ada hal lain yang cukup patut untuk diperhatikan yakni iklan film tersebut[8]. Dalam iklan itu tertulis : “Liat bagaimana bangsa Indonesia tjoekoep pinter maen di dalem film, tida koerang dari laen matjem film dari Europa atawa Amerika” (Lihat bagaimana bangsa Indonesia cukup pintar main di dalam film, tidak kurang dari lain macam film dari Eropa atau Amerika). Ada kesan yang ingin dibawa oleh film ini bahwa orang Indonesia nyatanya dalam waktu relatif singkat (jika mengawalinya pada film Loetoeng Kasaroeng) telah bisa berdiri sejajar dengan orang asing dalam konteks film –menciptakan sebuah kenyataan palsu.

Dari keterangan yang ada di buku Katalog Film Indonesia tercatat film-film lain hasil kerjasama Indonesia-Belanda ini, diantaranya De Stem Des Bloed/Njai Siti (1930), Karnadi Anemer Bangkong (1930), Atma De Vischer (1931), Karina’s Zelfopoffering (1932) dan sebagainya. Kerjasama kemudian juga terjadi antara Indonesia-Cina. Beberapa film yang akhirnya berhasil dibuat adalah Lily van Java (1928), Njai Dasima (1929), Rampok Preanger (1929), Si Tjonat (1929), Lari Ka Arab (1930), Melati van Agam I dan II (1930), Njai dasima II (1930), Nancy Bikin Pembalasan/Njai Dasima III (1930), Si Ronda (1930), Boenga Roos dari Tjikembang (1931), Indonesia Malaise (1931), Sam Pek Eng Tay (1931) dan sebagainya.

Lalu bagaimana menggambarkan posisi “Indonesia”? Dalam film-film kerjasama Indonesia-Belanda ataupun Indonesia-Cina -yang berarti juga film-film awal yang diproduksi di Indonesia- nampak jelas bahwa orang-orang Indonesia hanya diposisikan sebagai penonton, ataupun mengambil kisah-kisahnya yang kemudian mengangkatnya dalam cerita-cerita yang ada dalam sub masyarakat Indonesia. Seperti Kruger yang memilih cerita dalam film-filmnya berdasarkan sesuatu yang dekat dengan orang-orang pribumi (Indonesia), menitikberatkan pada pengungkapan segi etnografik. Oleh karenanya dalam filmnya itu dimasukkan rekaman upacara adat daerah di Indonesia. Begitupun bagi pembuat film Cina yang mengejar potensi penonton pribumi. Tan Koen Yauw (Tan’s Film, yang mulai berproduksi tahun 1929) mengatakan bahwa tujuan perusahaannya bukan untuk membuat film agar disukai penonton Cina atau Eropa, melainkan untuk bisa menarik perhatian penonton-penonton Boemiputera dari klas moerah (murah). Bahkan para pembuat film asing itu kerap hanya menempatkan Indonesia dalam posisi eksploitasi, benar-benar memperlakukannya sebagai tanah jajahannya. Kwee Tek Hoay, seorang penulis, mengatakan bahwa film-film buatan Belanda yang dibuatkan teksnya dalam bahasa Belanda memang sebenarnya bukan untuk dimengerti penonton Indonesia ataupun Cina karena film ini justru untuk pasar penonton Eropa ataupun Amerika. Hal inilah yang menimbulkan dugaan bahwa potensi-potensi kultural di Indonesia menjadi bagian eksploitasi semata bagi upaya para pembuat film Belanda membawa film-filmnya dalam level internasional.

Dalam buku Usmar Ismail, Mengupas Film tertulis :

Saerun, seorang wartawan yang terkemuka pada saat itu adalah orang pertama dalam pembikinan cerita film. Kemudian datang Anjar Asmara yang pada waktu itu juga wartawan dan telah meninggalkan dunia sandiwara. Lalu berturut-turut Arifin, Suska, Inu Perbatasari, ketiga-tiganya wartawan tetapi tidak asing lagi di atas panggung sandiwara Dapat dikatakan dengan masuknya tokoh-tokoh ini ke dalam dunia film, orang Indonesia mulai turut memegang peranan dalam proses pembuatan film, meskipun perusahaan-perusahaan seuruhnya masih di tangan bangsa Tionghoa (Siahaan, 1983:55)

Andjar yang dahulunya dikenal sebagai pemimpin majalah Doenia Film dan kemudian bergabung dalam pertunjukan panggung, tepatnya sebagai pengarang cerita pertunjukan, pada kelompok Darnadella pimpinan A. Piedro pada November 1930. Keputusannya untuk hijrah, mengikuti eksodus besar-besaran orang panggung pertunjukan ke dunia pembuatan film, karena terjadi fenomena sukses film melalui film Terang Boelan (1938). Pengetahuannya dalam film konon karena ia seringkali mengunjungi teman-temannya yang duduk dalam organisasi Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan). Karena itulah ia bersama dengan H.B. Jasin dan juga Rosihan Anwar dengan leluasa bisa masuk ke perpustakaan yang banyak mengoleksi buku-buku film hasil rampasan dari Belanda. Keuntungan ini nantinya sangat berguna, termasuk menjadi bahan dalam bertukar pikiran dalam diskusi-diskusi yang dilakukan di rumah Usmar. Di film ini Andjar berhasil melahirkan “citra” baru dalam tontonan film di Indonesia yakni diperkenalkannya pasangan pemain Rd. Mochtar dan Roekiah. Gayus Siagiaan menyebutnya sebagai love team layar putih. Bisa jadi “sistem kebintangan –star system” sedang dilahirkan disini.

Konon komposisi duet ini merupakan resep sukses film Terang Boelan, yang dikemudian hari banyak bermunculan film-film menggunakan resep duet serupa seperti film Alang-Alang (1939) yang memasangkan Moh. Mochtar dan Hadidjah. Menurut sutradara Terang Boelan –Albert Balink- bahwa Rd. Mochtar merupakan orang pribumi yang layak menjadi bintang film, dengan prasyaratnya yang sudah terpenuhi, tinggi besar(?!). Sungguh sangat paradoks bahwa keadaan ini tidak membantu sama sekali posisi pemain-pemain pribumi secara baik dalam perfilman di Indonesia kala itu karena pernyataan tersebut jelas-jelas hanya menjadi semacam upaya personifikasi fisik “Eropa” melalui sosok Rd. Mochtar. Termasuk sosok Roekiah yang disebutkan sangat identik dengan bintang Hollywood –Dorothy Lamour –glamour girl.

Kehadiran Anjar dan teman-temannya di film ternyata juga masih menyisakan keraguan akan peran orang Indonesia dalam pembuatan film di Indonesia. Kehadiran mereka ternyata tidak serta merta menjadikan penentu kreatif terhadap film-film yang dibuatnya. Mengenai film-film yang dibuat oleh orang Indonesia seperti Air Mata Mengalir di Tjitarum (Rustam St Palindih-1948) dan Andjar Asmara, Djauh di Mata (1948), Usmar Ismail menulis (yang tercantum dalam buku Salim Said, Profil Indonesia, 1989) :

Sebenarnya baik Rustam maupun Andjar adalah adalah dari satu sekolah, tjuma pada Roestam tampak lebih njata pengaruh Tionghoa, sedang Andjar tidak bebas karena pengaruh produser Belanda.

Dalam buku yang sama, dicatat oleh Armijn Pane :

Djuga Andjar Asmara pada realitetnja hanja mendjadi memegang pimpinan permainannja sadja, sedang regie sebenernja dipegang oleh pihak djuru kamera, merangkap pimpinan produksi, jaitu orang Belanda

Artinya bahwa masuknya orang-orang Indonesia ini dalam dunia film pada tahun 1940-an memang belum sepenuhnya bisa dikatakan sebagai penentu atau pengambil keputusan secara kreatif artistik  terhadap film yang akan dibuat.

Namun peran besar Andjar adalah mengkonstuksi pandangan akan posisi-posisi orang Indonesia yang menjadi sama pentingnya dengan pembuat film dari luar. Dalam iklan film Njai Dasima tercantum kalimat : Semoa (semua –penulis) Rol Dipegang oleh Bangsa Indonesia Sendiri. Terlihat bahwa pada masa-masa ini lebih kepada upaya meyakinkan orang-orang akan peran Indonesia dalam film melalui upaya komunikasi media –Andjar, melalui teks di iklan film maupun tulisannya di media yang banyak sekali menulis tentang perusahaan film Tan’s Film yang mulai disebutnya banyak memanfaatkan peran-peran orang Indonesia.

Usmar Ismail, yang mulai masuk dunia film melalui dunia teater (panggung) yang selama ini ia geluti juga banyak berhutang jasa pada Andjar Asmara. Bersama teman-temannya ia mendirikan grup sandiwara bernama Maya. Dalam daftar Riwayat Hidup yang ditandatanganinya sendiri, Usmar Ismail juga tercatat sebagai tentara berpangkat Mayor TNI. Kemudian ia mendirikan koran Patriot. Dan tahun 1947 ia terpilih sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.

Bermula dari diskusi-diskusi tentang film yang dilakukan di rumah Usmar, jalan Sumbing No.5 Yogyakarta dan juga kekagumannya pada orang-orang Jepang (yang datang ke Indonesia tahun 1942 dengan misi “membebaskan” negara-negara asia dari penjajahan Barat) yang paham betul bagaimana memanfaatkan media film sebagai perangkat propaganda, maka ketertarikan Usmar pada dunia film dimulai. Bahkan Jepang punya peran besar dalam tumbuhnya kegiatan kesenian (film) dengan dibentuknya Pusat Kebudayaan (dalam bahasa Jepang dinamakan Keimin Bunka Sidhoso –Pusat Pendidikan Populer dan Pengembangan Kebudayaan) di Jakarta April tahun 1943, yang beberapa tugasnya adalah mengembangkan kebudayaan tradisi Indonesia dan mendidik dan melatih seniman Indonesia. Profesor Kenichi Goto, Guru Besar Universitas Waseda, yang dikutip oleh Rosihan Anwar bahkan melukiskan hubungan Indonesia-Jepang ini sebagai :

Hoeboengan antara Djepang-Indonesia pada periode 1942-1945 ibarat doea orang sahabat jang begitu intim tidoer satu randjang, dan bermimpi tentang doea hal jang sangat berbeda.

 

Usmar mengawali kegiatannya di dunia film sebagai asisten sutradara Andjar Asmara di SPFC. Selanjutnya ia dipercaya penuh untuk menjadi sutradara pada perusahaan yang sama. Dari tangannya lahir 2 (dua) film, Harta Karun (1949) dan Tjitra (1949), sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membuat film dari perusahaan sendiri (baca : Indonesia), karena alasan yang sudah dijelaskan pada tulisan diatas.

***

Kalau mau mengacu pada sebuah teori (Jinhee Choi) dalam artikelnya National Cinema, the Very Idea, maka ada paradoks terhadap klaim terhadap kelahiran perfilman Indonesia. Pendekatan yang digunakan Choi akan memperlihatkan banyak yang bisa dipertimbangkan.

Film Darah dan Do’a menjadi satu pertimbangan penting ketika dengan jelas menyajikan “Indonesia” secara utuh –pemain, orang pembuat, perusahaan (Perfini), kisah, latarbelakang tempat dan sebagainya. Pertimbangan “teritori” ala Choi bisa dikatakan terpenuhi, sehingga kemudian klaim akan perfilman nasional dimulai disini juga akhirnya terpenuhi juga. Namun klaim itu juga dengan mudahnya akan pudar ketika film itu digali lebih jauh. Konsep neorealisme[9] yang diusung Usmar Ismail sebenarnya serta-merta mendekatkan filmnya dari “koreksi ulang” sebagai tonggak perfilman nasional. Bisa disimak ketika ia menginginkan muka-muka baru (dalam film ini -penulis) dengan bakat-bakat yang segar. Mengenai konsep neorealisme ini juga diakui oleh D. Djajakusuma bahwa Usmar Ismail memang sangat terinspirasi oleh kelompok neorealisme yang lahir setelah perang dunia II. Apa yang dilakukannya (konsep neorealisme) ternyata tidak lebih berbeda dengan konsep-konsep film yang sudah ada sebelumnya. Sama halnya seperti “gelar” sutradara Andjar Asmara dimana jabatannya itu tidak lebih berkuasa atas film yang dibuat itu. Ini menjadi sebuah pertanyaan besar akan konsep perfilman nasional yang terhubungkan dengan auteurs. Identitas “nasional” seperti apa, karena nyatanya Usmar sesungguhnya tidaklah khas sebagai pembuat –tidak menawarkan sesuatu yang baru, dalam arti bahwa “karakter” yang dianut dalam film itu tenyata tidak membedakan.

Jika Belanda, yang disebut sebagai “penjajah”, ataupun Cina/Tionghoa, yang disebut sebagai “tamu” hampir tidak mendapat tempat dalam penobatan sinema nasional Indonesia, maka Loetoeng Kasaroeng sebenarnya patut menjadi perhatian juga. Dalam upaya menunjukkan tentang identitas nasional, maka film ini kentara akan penunjukkan itu, paling tidak identitas suku bangsa Sunda –yang secara teritori berada dalam batas wilayah Indonesia. Memang syarat-syarat teritori yang diajukan Choi disatu sisi tidak terpenuhi, tapi upaya menunjukkan fungsinya, -dalam sisi lainnya- sebagai identitas (khas) yang dikandung bangsa Indonesia, rasanya masih bisa diterima –minimal sebagai konsep yang bisa diolah untuk memahami tentang perfilman nasional. Begitu pula dengan model kerjasama nasional-transnasional. Dalam pengertian Choi, bahwa konsep perfilman nasional bukan lagi membicarakan antara apakah film yang “nasional” atau apakah film yang “transnasional”, tapi bagaimana secara tekstual film itu menawarkan identitas nasionalnya. Mengenali konsep perfilman nasional justru melebihi sekedar label-label yang tertempel pada sistem produksinya –nasional atau transnasional-, tapi bagaimana relasi atau hubungan antara film yang dibuat dengan sejarah nasionalnya, yang tentunya bisa-tidak menunjukkan identitas nasionalnya. Model kerjasama ini bisa menjadi satu contoh penggambaran bagaimana negara memandang sesuatu yang bernama “film Indonesia” melalui jabarannya pada pedoman kegiatan festival di Indonesia, yang akan dijabarkan pada tulisan ini kemudian, yang ternyata telah menghilangkan batas-batas nasional – bukan nasional, bagi sahnya cap film nasional (Indonesia). Bahkan apa yang dilakukan oleh Andjar terhadap wacana “nasional” lewat tulisan-tulisan filmnya semestinya patut dipertimbangkan pula perannya akan tergagasnya sinema nasional.

Namun kegigihan Usmar Ismail-lah yang terus menerus mengusung semangat kelahiran “perfilman Indonesia” –selain legitimasi yang diterimanya, seakan menariknya menjadi bagian takterpisahkan dari kelahiran perfilman nasional, termasuk mendirikan Perusahaan Film orang Indonesia untuk kali pertama, bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) yang menjadi perusahaan film bagi pembuatan Darah dan Do’a.

***

Ada hal yang harus disampaikan, bahwa konsep perfilman nasional yang terus menerus digulirkan, dilegitimasi, dikonstruksi semenjak hulu sampai hilir sejarah perjalanan perfilman Indonesia, lambat laun ternyata menjadi pudar. Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Festival Film Indonesia 2010 –yang dibuat oleh negara (penting untuk menegaskan kata Indonesia), dalam Bab II Pasal 1 tentang Persyaratan Pendaftaran Film Peserta, angka 1 menyebutkan :

Diproduksi oleh Perusahaan Film Indonesia atau Badan Hukum Indonesia lainnya, secara sendiri atau bekerjasama antar Perusahaan/Badan Hukum Indonesia, atau bekerjasama dengan Perusahaan/Badan Hukum asing ;

dan angka 3 yang menyebutkan :

Disutradarai oleh warga negara Indonesia, yang dibuktikan dengan melampirkan salinan KTP/SIM/Paspor/Kartu identitas resmi lainnya seperti Kartu Pelajar untuk peserta yang masih duduk di sekolah menengah.

Memang dalam Undang-Undang, antara setiap Bab, Pasal, Ayat saling terkait dan saling menjelaskan untuk menguatkan. Namun kita bisa menarik sebuah kalimat bahwa melalui campur tangan negara justru pengertian perfilman nasional (Indonesia) saat ini tidak semakin menjelaskan konsepnya, malahan semakin merancukannya. Hal ini tanpa disadari bahwa upaya pelegitimasian yang terus menerus itu, atas nama perintis perfilman nasional, bisa menjadi semakin tergugat.

Begitu juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman. Dalam Pasal l0 ayat 2 tertulis :

Pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib mengutamakan penggunaan sumber daya dalam negeri secara optimal.

 

Dalam penjelasan pasal demi pasal tertulis :

Yang dimaksud dengan “sumber daya dalam negeri” meliputi insan perfilman, alam, bahan dan/atau produk, jasa, peralatan, fasilitas, dan kekayaan budaya bangsa yang tersedia di Indonesia.

 

Kenyataan ini memperlihatkan betapa pemerintah pun tidak sanggup untuk menerapkan, bahkan mendefinisikan konsep perfilman nasional secara tepat. Pengertian tersedia (di Indonesia) akhirnya menjadi sangat luas penafsirannya karena prinsip-prinsip perfilman nasional yang didasarkan pada hukum teritori semakin terlanggar karena yang terjadi justru setiap orang (insan perfilman) yang berada di Indonesia juga menjadi bagian dari sumber daya tersebut, tanpa terbedakan lagi atas status kewarganegaraannya lagi. Padahal ini menjadi satu hal yang begitu diagungkan pada film Usmar Ismail, Darah dan Do’a sebagai tonggak perfilman nasional. Sepotong kalimat dalam undang-undang ini seakan membuka wacana baru akan konsep perfilman nasional Indonesia, yang bisa menjadi klaim baru bagi film-film yang lahir sebelum film Usmar, seperti Loetoeng Kasaroeng misalnya.

Terlihatlah betapa sulit merumuskan konsep perfilman nasional Indonesia, sesulit menjaga legitimasi akan konsep perfilman nasional itu yang sudah terlanjur terusung –bahwa semuanya harus “Indonesia”.


[1] Tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999, yang kala itu dijabat oleh Presiden BJ. Habibie. Tepatnya ditandatangani tanggal 29 Maret 1999 di Jakarta. Jauh sebelumnya, rapat kerja Dewan Film Nasional dengan organisasi-organisasi perfilman tanggal 11 Oktober 1962 telah menetapkan hari syuting dalam permbuatan film nasional yang pertama Darah dan Do’a (the Long March) sebagai Hari Film Indonesia.

[2] Disebutkan bahwa tempat putar yang dimaksud adalah Istana Merdeka yang baru beberapa bulan ditempatinya (JE. Siahaan, H. Usmar Ismail Mengupas Film, Jakarta : Sinar Harapan, 1983), Hal.164.

[3] Termuat di Majalah Aneka N0.13 Th.I, 1 September 1950, Hal.16

[4] Sebagian mengutip dari buku Katalog Film Indonesia 1926-2007 (Kristanto, 2007:15)

[5] Sumber diambil dari buku Taufik Abdullah dkk, Film Indonesia Bagian I (Jakarta : DFN, 1993), Hal.50

[6] Sumber data : HM Johan Tjasmadi, 100 tahun bioskop di Indonesia 1900-2000 (Bandung : MTS, 2008).

[7] Berdasarkan buku Gayus Siagian (Sejarah Film Indonesia, 2010:20-24) bahkan disebutkan juga bahwa pembuatan film ini kemungkinan melibatkan F. Carli, yang dibuat tahun 1928. Bahkan menurut Armyn Pane, film itu dibuat tahun 1927. Sementara menurut R.M. Soetarto F. Carli justru disebutkan sebagai pembuatnya (yang termuat dalam Almanac Pers “Antara” 1976).

[8] Potongan selebaran iklan itu bisa dilihat di dalam buku Sejarah Film 1900-1950 (Biran, 2009:74).

[9] Dalam buku Understanding Movies, 7th edition (Louis Giannetti, 1996:513), konsep neorealisme (yang dilakukan Usmar) disebutnya dengan pengertian nonprofessional actors.

Kabar lain juga menyebutkan bahwa pemilihan pemain di film Darah dan Do’a itu didasarkan pada keterbatasan dana, termasuk dengan hanya menggunakan 5 kru saja (Sumber : Berkas Memperingati Perfini Sewindu 1950-1958).

 

(Dimuat dalam Majalah Moviegoers edisi 005/2011 dan pernah diseminarkan di IKJ pada Mei 2015)

Film dan Penelitian

Posted: 3 November 2011 in Film
Tag:, ,

Dalam pemahaman yang paling umum, sinema cenderung dilekatkan pada sebuah pengertian yang seringkali diidentikkan dengan film production –artinya ketika berbicara tentang sinema selalu saja yang dibicarakan perihal kerja membuat film dengan siklus mata rantainya : pra produksi-produksi-pasca produksi. Atau dalam mata rantai yang lebih luar berupa produksi-distribusi-eksebisi. Padahal pengertian sinema di belahan dunia lain, ada sebuah perangkat lain yang dikenal dalam mengembangkan pengertian sinema, yaitu bagaimana sinema bisa didekati dengan kegiatan film studies (kajian film), yang nantinya mencetuskan aktifitas kerjanya sebagai film critic. Dari sanalah kemudian bisa dikenal nama-nama populer dalam film critic ini, seperti Andre Bazin, Christian Metz, Sergei Eisenstein, Laura Mulvey, Khrisna Sen dan sebagainya.
Di Indonesia kegiatan film critic ini cenderung terabaikan karena seperti terbelenggu dalam paradigma akan sebuah sikap apriori dalam perkembangan sinema Indonesia. Memang harapan masih ada dalam pengembangan film critic ini ketika kita masih bisa mengenal nama-nama yang seperti Seno Gumira Ajidarma, Marselli Soemarno, Eric Sasono, Budi Irawanto dan sebagainya. Bahkan tradisi analisa film ini sesungguhnnya sudah tergagas dalam sebuah ruang akademik ketika David Albert (D.A.) Peransi membawanya ke LPKJ (kini IKJ) pada era tahun 1970-an. Termasuk juga upaya FFTV-IKJ sebagai satu-satunya sekolah film di Indonesia kala itu yang berusaha mengembangkannya dengan mengadakan program film studies ini yakni dengan diselenggarakannya Program Studi Peminatan Kajian Film (Filmologi) sekitar tahun 1990-an. Namun akhirnya memang keberadaannya masih belum nampak sebagai kebutuhan yang mendesak. Representasi itu juga bisa terlihat dalam konteks komunitas film (sidestream) yang memang sebagian besar masih berkutat pada persoalan produksi, distribusi ataupun eksebisi film. Sehingga berdirinya Klub Kajian Film IKJ sekitar tahun 2008, yang juga merupakan bagian dari kontestan komunitas film Indonesia dengan program kajian filmnya, menjadi miniatur sinema Indonesia secara umum, betapa kajian film seperti berjalan diluar wacana sinema Indonesia –dengan arti lain, tidak berkontribusi langsung!
Ada kesan bahwa yang namanya kajian film, seolah-olah hanya sebagai arena “penghakiman” sebuah film, yang seringkali hasil akhirnya bermuara pada dikotomi antara film bagus-film jelek. Padahal menelisik lebih dalam, kegiatan kajian film sebenarnya adalah menawarkan pengertian “lain” terhadap film dari sudut analisa, selain tentunya pengertian yang umumnya sudah terpenuhi sebagai pembacaan film dalam hubungan produksi-konsumsi (bioskop-eksebisi). Teknik kajian film sejatinya adalah upaya menganalisa teks (film) ataupun hal lain diluar teks (beyond), sehingga dia menjadi interteks demi menjelaskan film dari sisi lainnya –selain fimnya. Inilah pengertian yang tidak didapatkan ketika penonton berada didalam gedung bioskop.
Kesalahan memberi pengertian dalam mengkaji film ini karena sesungguhnya kurangnya modal “ilmiah” para kritikus pemula dalam memberi pengertiannya. Yang sebagian besar terjadi justru kritik-kritik film akan semakin mengibarkan kontestasi antara film production dengan film studies dengan segala elemen didalamnya. Paling nampak jelas adalah ketika kritik film justru seringkali menyerang film dari sisi industri –yang sebenarnya itu merupakan otonomi film production itu. Inilah kemudian yang melahirkan dikotomi jelek-bagus tadi –sangat berkaitan erat dengan industri film dalam tataran bisnisnya (laku terjual atau kurang laku terjual).
Perangkat dalam memulai kajian film terletak pada metode dalam mencapai pengertian/makna yang ingin diraih. Syarat mutlak metode itu adalah dengan melakukan penelitian. Penelitian film (ataupun media) sesungguhnya tidak hanya berkutat dalam persoalan film semata. Karena sesungguhnya dalam penelitian film bisa menggunakan pendekatan dari disiplin ilmu lain seperti sosiologi, psikologi, sejarah, antropologi dan sebagainya. Begitupun pilihan dalam metode penelitian pun bisa beragam. meneliti dalam sisi kuantitas (dengan menggunakan analisa statistik) ataupun meneliti dari sisi kualitas (berkepentingan dengan makna dan penafsiran). Pilihan untuk dianalisa dan dikaji pun bisa dilakukan pada penelitian teks ataupun diluar teks, seperti yang telah disebutkan diatas tadi. Inilah kemudian bisa dinyatakan bahwa pilihan dalam melakukan penelitian film sesungguhnya terbuka luas dalam kebebasan yang besar,
Keutamaan merintis penelitian adalah bagaimana sebuah topik dipilih. Topik ini nantinya ini akan berkaitan dengan tingkat kemampuan peneliti dalam mengutarakan semua hal yang akan mendukung topik yang dipilihnya. Untuk itulah dalam memulai sebuah penelitian (dalam hal ini film) pemetaan yang pertama harus dilakukan dalam melahirkan penelitian awal berkaitan dengan peneliti itu sendiri, tentang kajian yang akan dilakukan dan tentang subjek yang akan diteliti. Satu hal penting lainnya adalah objek analisa haruslah dapat dikelola dengan baik (manageable). Dari sinilah dipersyaratkan bahwa objek-objek pendukungnya harus tersedia (available) dan mudah diakses (accessible).
Yang tidak kalah pentingnya adalah semua persyaratan penelitian juga harus dituntaskan melalui pertanyaan penelitian, yang gagasan awalnya adalah dengan menjawab pertanyaan : apa yang akan diteliti, mengapa objek ini harus diteliti dan bagaiman melaksanakan penelitian itu. Ini menjadi pijakan awal sebelum melangkah lebih jauh dalam penelitian karena pertanyaan penelitian ini menjadi emacam “penjaga” topik agar tidak bias kearah yang tidak ditentukan.
Namun memang akhirnya kegiatan penelitian ini sering terbentur pada sikap apatis sebagian besar penggiat sinema Indonesia terhadap penelitian film. Hal ini terjadi karena sistem dan tata aturan sebuah penelitian yang nampak (dan memang) begitu rumit dan seolah-olah hanya bisa ditangani oleh para akademisi, dalam hal ini tentunya akademisi yang berkecimpung dalam bidang media.

****

Mengenai sinema Indonesia, begitu banyak tersedia materi untuk dijadikan objek penelitian –yang tentunya ini langkah awal sebelum kita merumuskannya sebagai bagian dari film critic itu nantinya. Salah satu objek yang mungkin menarik adalah penelitian pada sejarah perfilman Indonesia, atau dengan kata lain cikal-bakal kelahiran sinema Indonesia.
Dalam konteks perfilman Indonesia, klaim akan perfilman nasional justru paling mungkin ketika membicarakan kelahiran “perfilman Indonesia” itu sendiri. Kelahiran sebuah film nasional tidak lain karena dihubungkan oleh sejarah kelahirannya itu sendiri. Dan demikianlah adanya, bahwa perfilman Indonesia lahir dan dilahirkan demi menegaskan identitas kebangsaannya ditengah terjajahnya bangsa Indonesia oleh Belanda, termasuk film-film produksi Belanda yang masuk ke Indonesia. Ini bisa menjadi sebuah kajian yang menantang karena klaim yang terus menerus terhadap film Usmar Ismail Darah dan Do’a (1950) sebagai tonggak perfilman nasional bisa dipertimbangkan kembali jika ada penelitian yang bisa menjadi mengimbangi klaim itu. Karena kalau penelitian sejarah kelahiran film nasional yang dilakukan menggunakan (salah satunya) pendekatan teori yang dilahirkan oleh Jinhee Choi tentang National Cinema, berupa pendekatan a territorial account, a functional account dan a relational account dalam menilai sinema nasional, yang salah satunya menyebut bahwa cerita lokal yng diangkat sebuah film memungkinkan film tersebut dinamakan sebagai film nasional, maka bisa jadi kelahiran film cerita pertama di Indonesia (Loetoeng Kasaroeng -1926) patut dipertimbangkan sebagai kelahiran film nasional.
Namun harus diakui bahwa proses penelitian film di Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Terutama ketika kita dihadapkan pada berbagai ketersediaan data-data sebagai materi penelitian. Sinematek Indonesia, satu dari sedikit sumber penggalian data literatur teks dan visual juga tidak terlalu bisa terlalu diandalkan dan diharapkan dalam menyediakan data yang dibutuhkan. Keadaan ini mungkin ini bisa menjadi otokritik untuk diri kita sendiri atas ketidakmampuan kita mengarsipkan jejak rekam perjalanan sejarah perfilman kita.
Satu hal penting lainnya dalam menyelenggarakan penelitian adalah mengenai biaya penelitian. Konsekuensi yang paling logis dalam melaksanakan penelitian dengan sumber data yang begitu sulit tentu akan dihadapkan pada tersedianya biaya penelitian, yang tentunya tidak sedikit. Karena jika mengandalkan biaya mandiri tentu peneliti harus menyediakan biaya ekstra besar dalam proses penelitian, terutama menggali data yang harus ditempuh dengan penjelajahan ke berbagai tempat. Beberapa sumber pembiayaan penelitian yang ada sebenarnya “sedikit-banyak” bisa membantu merealisasikan proses penelitian. Biro PKLN Kemendiknas (Sekarang Kemendikbud) bisa menjadi solusi karena institusi ini juga menyediakan anggaran penelitian untuk pengembangan intelektualitas. Dampak kegiatan penelitian ini tentu dapat terjaganya optimisme keberlangsungan gairah akan aktfitas film studies ini, yang secara tidak langsung tentu juga berkontribusi terhadap perkembangan sinema Indonesia.
Akhirnya yang mesti dipahami bahwa penelitian dalam bidang film (media) memang membutuhkan konsistensi dan komitmen yang tinggi. Karena selain biayanya yang besar, penelitian dalam bidang film dan media belum dianggap sebagai sebuah kebutuhan mendasar bagi perkembangan sinema Indonesia –dan ini harus diperjuangkan dan dijaga keberlangsungannya. Karena sekali lagi, ketika membicarakan sinema (Indonesia), setiap orang lantas pula membicarakannya sebagai film production atau produksi film –dalam arti lain adalah melulu tentang orang bikin film. Padahal bukan itu saja! Lihatlah sejarah film Indonesia ketika produksi film dan analisa/kajian film berjalan beriring selaras lengkap-melengkapi melalui representasi Usmar Ismail dan Andjar Asmara ataupun Rosihan Anwar, meskipun sebagian besar masih dalam bentuk review film.
Ada pernyataan dalam kata pengantar Yvonne Michalik (editor) di buku Asian Hot Shots –Sinema Indonesia (2011), “Para sineas Indonesia-kecuali Garin Nugroho-hampir tak dikenal sama sekali…Ini jelas sebuah misteri!” (hal. xiv). Dari pernyataan ini sebenarnya bisa tergambarkan bagimana filmstudies-film critic sesungguhnya memiliki posisi untuk memberi pengertian sinema dalam kadar yang lain –bukan sekedar perihal produksi film/membuat sebuah film. Karena kalau disimak satu pernyataan lagi dalam kata pengantar ini semakin menegaskan betapa film studies di Indonesia keberadaannya belum berjalan dengan baik sebagai bagian dari sinema Indonesia, “Sialnya, film Indonesia selama ini terabaikan, bahkan juga dalam penelitian ilmiah tentang film” (hal. xix).
Institusi negara, baik melalui Direktorat Perfilman atau yang lainnya sudah waktunya bisa memfasilitasi keberlangsungan dan keberadaan film studies, sebagai bagian utuh dari sinema Indonesia.