Posts Tagged ‘Film Studies’

Film dan Penelitian

Posted: 3 November 2011 in Film
Tag:, ,

Dalam pemahaman yang paling umum, sinema cenderung dilekatkan pada sebuah pengertian yang seringkali diidentikkan dengan film production –artinya ketika berbicara tentang sinema selalu saja yang dibicarakan perihal kerja membuat film dengan siklus mata rantainya : pra produksi-produksi-pasca produksi. Atau dalam mata rantai yang lebih luar berupa produksi-distribusi-eksebisi. Padahal pengertian sinema di belahan dunia lain, ada sebuah perangkat lain yang dikenal dalam mengembangkan pengertian sinema, yaitu bagaimana sinema bisa didekati dengan kegiatan film studies (kajian film), yang nantinya mencetuskan aktifitas kerjanya sebagai film critic. Dari sanalah kemudian bisa dikenal nama-nama populer dalam film critic ini, seperti Andre Bazin, Christian Metz, Sergei Eisenstein, Laura Mulvey, Khrisna Sen dan sebagainya.
Di Indonesia kegiatan film critic ini cenderung terabaikan karena seperti terbelenggu dalam paradigma akan sebuah sikap apriori dalam perkembangan sinema Indonesia. Memang harapan masih ada dalam pengembangan film critic ini ketika kita masih bisa mengenal nama-nama yang seperti Seno Gumira Ajidarma, Marselli Soemarno, Eric Sasono, Budi Irawanto dan sebagainya. Bahkan tradisi analisa film ini sesungguhnnya sudah tergagas dalam sebuah ruang akademik ketika David Albert (D.A.) Peransi membawanya ke LPKJ (kini IKJ) pada era tahun 1970-an. Termasuk juga upaya FFTV-IKJ sebagai satu-satunya sekolah film di Indonesia kala itu yang berusaha mengembangkannya dengan mengadakan program film studies ini yakni dengan diselenggarakannya Program Studi Peminatan Kajian Film (Filmologi) sekitar tahun 1990-an. Namun akhirnya memang keberadaannya masih belum nampak sebagai kebutuhan yang mendesak. Representasi itu juga bisa terlihat dalam konteks komunitas film (sidestream) yang memang sebagian besar masih berkutat pada persoalan produksi, distribusi ataupun eksebisi film. Sehingga berdirinya Klub Kajian Film IKJ sekitar tahun 2008, yang juga merupakan bagian dari kontestan komunitas film Indonesia dengan program kajian filmnya, menjadi miniatur sinema Indonesia secara umum, betapa kajian film seperti berjalan diluar wacana sinema Indonesia –dengan arti lain, tidak berkontribusi langsung!
Ada kesan bahwa yang namanya kajian film, seolah-olah hanya sebagai arena “penghakiman” sebuah film, yang seringkali hasil akhirnya bermuara pada dikotomi antara film bagus-film jelek. Padahal menelisik lebih dalam, kegiatan kajian film sebenarnya adalah menawarkan pengertian “lain” terhadap film dari sudut analisa, selain tentunya pengertian yang umumnya sudah terpenuhi sebagai pembacaan film dalam hubungan produksi-konsumsi (bioskop-eksebisi). Teknik kajian film sejatinya adalah upaya menganalisa teks (film) ataupun hal lain diluar teks (beyond), sehingga dia menjadi interteks demi menjelaskan film dari sisi lainnya –selain fimnya. Inilah pengertian yang tidak didapatkan ketika penonton berada didalam gedung bioskop.
Kesalahan memberi pengertian dalam mengkaji film ini karena sesungguhnya kurangnya modal “ilmiah” para kritikus pemula dalam memberi pengertiannya. Yang sebagian besar terjadi justru kritik-kritik film akan semakin mengibarkan kontestasi antara film production dengan film studies dengan segala elemen didalamnya. Paling nampak jelas adalah ketika kritik film justru seringkali menyerang film dari sisi industri –yang sebenarnya itu merupakan otonomi film production itu. Inilah kemudian yang melahirkan dikotomi jelek-bagus tadi –sangat berkaitan erat dengan industri film dalam tataran bisnisnya (laku terjual atau kurang laku terjual).
Perangkat dalam memulai kajian film terletak pada metode dalam mencapai pengertian/makna yang ingin diraih. Syarat mutlak metode itu adalah dengan melakukan penelitian. Penelitian film (ataupun media) sesungguhnya tidak hanya berkutat dalam persoalan film semata. Karena sesungguhnya dalam penelitian film bisa menggunakan pendekatan dari disiplin ilmu lain seperti sosiologi, psikologi, sejarah, antropologi dan sebagainya. Begitupun pilihan dalam metode penelitian pun bisa beragam. meneliti dalam sisi kuantitas (dengan menggunakan analisa statistik) ataupun meneliti dari sisi kualitas (berkepentingan dengan makna dan penafsiran). Pilihan untuk dianalisa dan dikaji pun bisa dilakukan pada penelitian teks ataupun diluar teks, seperti yang telah disebutkan diatas tadi. Inilah kemudian bisa dinyatakan bahwa pilihan dalam melakukan penelitian film sesungguhnya terbuka luas dalam kebebasan yang besar,
Keutamaan merintis penelitian adalah bagaimana sebuah topik dipilih. Topik ini nantinya ini akan berkaitan dengan tingkat kemampuan peneliti dalam mengutarakan semua hal yang akan mendukung topik yang dipilihnya. Untuk itulah dalam memulai sebuah penelitian (dalam hal ini film) pemetaan yang pertama harus dilakukan dalam melahirkan penelitian awal berkaitan dengan peneliti itu sendiri, tentang kajian yang akan dilakukan dan tentang subjek yang akan diteliti. Satu hal penting lainnya adalah objek analisa haruslah dapat dikelola dengan baik (manageable). Dari sinilah dipersyaratkan bahwa objek-objek pendukungnya harus tersedia (available) dan mudah diakses (accessible).
Yang tidak kalah pentingnya adalah semua persyaratan penelitian juga harus dituntaskan melalui pertanyaan penelitian, yang gagasan awalnya adalah dengan menjawab pertanyaan : apa yang akan diteliti, mengapa objek ini harus diteliti dan bagaiman melaksanakan penelitian itu. Ini menjadi pijakan awal sebelum melangkah lebih jauh dalam penelitian karena pertanyaan penelitian ini menjadi emacam “penjaga” topik agar tidak bias kearah yang tidak ditentukan.
Namun memang akhirnya kegiatan penelitian ini sering terbentur pada sikap apatis sebagian besar penggiat sinema Indonesia terhadap penelitian film. Hal ini terjadi karena sistem dan tata aturan sebuah penelitian yang nampak (dan memang) begitu rumit dan seolah-olah hanya bisa ditangani oleh para akademisi, dalam hal ini tentunya akademisi yang berkecimpung dalam bidang media.

****

Mengenai sinema Indonesia, begitu banyak tersedia materi untuk dijadikan objek penelitian –yang tentunya ini langkah awal sebelum kita merumuskannya sebagai bagian dari film critic itu nantinya. Salah satu objek yang mungkin menarik adalah penelitian pada sejarah perfilman Indonesia, atau dengan kata lain cikal-bakal kelahiran sinema Indonesia.
Dalam konteks perfilman Indonesia, klaim akan perfilman nasional justru paling mungkin ketika membicarakan kelahiran “perfilman Indonesia” itu sendiri. Kelahiran sebuah film nasional tidak lain karena dihubungkan oleh sejarah kelahirannya itu sendiri. Dan demikianlah adanya, bahwa perfilman Indonesia lahir dan dilahirkan demi menegaskan identitas kebangsaannya ditengah terjajahnya bangsa Indonesia oleh Belanda, termasuk film-film produksi Belanda yang masuk ke Indonesia. Ini bisa menjadi sebuah kajian yang menantang karena klaim yang terus menerus terhadap film Usmar Ismail Darah dan Do’a (1950) sebagai tonggak perfilman nasional bisa dipertimbangkan kembali jika ada penelitian yang bisa menjadi mengimbangi klaim itu. Karena kalau penelitian sejarah kelahiran film nasional yang dilakukan menggunakan (salah satunya) pendekatan teori yang dilahirkan oleh Jinhee Choi tentang National Cinema, berupa pendekatan a territorial account, a functional account dan a relational account dalam menilai sinema nasional, yang salah satunya menyebut bahwa cerita lokal yng diangkat sebuah film memungkinkan film tersebut dinamakan sebagai film nasional, maka bisa jadi kelahiran film cerita pertama di Indonesia (Loetoeng Kasaroeng -1926) patut dipertimbangkan sebagai kelahiran film nasional.
Namun harus diakui bahwa proses penelitian film di Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Terutama ketika kita dihadapkan pada berbagai ketersediaan data-data sebagai materi penelitian. Sinematek Indonesia, satu dari sedikit sumber penggalian data literatur teks dan visual juga tidak terlalu bisa terlalu diandalkan dan diharapkan dalam menyediakan data yang dibutuhkan. Keadaan ini mungkin ini bisa menjadi otokritik untuk diri kita sendiri atas ketidakmampuan kita mengarsipkan jejak rekam perjalanan sejarah perfilman kita.
Satu hal penting lainnya dalam menyelenggarakan penelitian adalah mengenai biaya penelitian. Konsekuensi yang paling logis dalam melaksanakan penelitian dengan sumber data yang begitu sulit tentu akan dihadapkan pada tersedianya biaya penelitian, yang tentunya tidak sedikit. Karena jika mengandalkan biaya mandiri tentu peneliti harus menyediakan biaya ekstra besar dalam proses penelitian, terutama menggali data yang harus ditempuh dengan penjelajahan ke berbagai tempat. Beberapa sumber pembiayaan penelitian yang ada sebenarnya “sedikit-banyak” bisa membantu merealisasikan proses penelitian. Biro PKLN Kemendiknas (Sekarang Kemendikbud) bisa menjadi solusi karena institusi ini juga menyediakan anggaran penelitian untuk pengembangan intelektualitas. Dampak kegiatan penelitian ini tentu dapat terjaganya optimisme keberlangsungan gairah akan aktfitas film studies ini, yang secara tidak langsung tentu juga berkontribusi terhadap perkembangan sinema Indonesia.
Akhirnya yang mesti dipahami bahwa penelitian dalam bidang film (media) memang membutuhkan konsistensi dan komitmen yang tinggi. Karena selain biayanya yang besar, penelitian dalam bidang film dan media belum dianggap sebagai sebuah kebutuhan mendasar bagi perkembangan sinema Indonesia –dan ini harus diperjuangkan dan dijaga keberlangsungannya. Karena sekali lagi, ketika membicarakan sinema (Indonesia), setiap orang lantas pula membicarakannya sebagai film production atau produksi film –dalam arti lain adalah melulu tentang orang bikin film. Padahal bukan itu saja! Lihatlah sejarah film Indonesia ketika produksi film dan analisa/kajian film berjalan beriring selaras lengkap-melengkapi melalui representasi Usmar Ismail dan Andjar Asmara ataupun Rosihan Anwar, meskipun sebagian besar masih dalam bentuk review film.
Ada pernyataan dalam kata pengantar Yvonne Michalik (editor) di buku Asian Hot Shots –Sinema Indonesia (2011), “Para sineas Indonesia-kecuali Garin Nugroho-hampir tak dikenal sama sekali…Ini jelas sebuah misteri!” (hal. xiv). Dari pernyataan ini sebenarnya bisa tergambarkan bagimana filmstudies-film critic sesungguhnya memiliki posisi untuk memberi pengertian sinema dalam kadar yang lain –bukan sekedar perihal produksi film/membuat sebuah film. Karena kalau disimak satu pernyataan lagi dalam kata pengantar ini semakin menegaskan betapa film studies di Indonesia keberadaannya belum berjalan dengan baik sebagai bagian dari sinema Indonesia, “Sialnya, film Indonesia selama ini terabaikan, bahkan juga dalam penelitian ilmiah tentang film” (hal. xix).
Institusi negara, baik melalui Direktorat Perfilman atau yang lainnya sudah waktunya bisa memfasilitasi keberlangsungan dan keberadaan film studies, sebagai bagian utuh dari sinema Indonesia.